![]() |
(instagram: jerusalem.city) |
Palestina adalah negara khayalan, ungkap Faisal Assegaf di suatu podcast bersama Arie Untung, dan wawancara di NusantaraTV.
Faisal menjelaskan poin-poin kenapa Palestina merupakan negara khayalan. Ada faktor internal, dan faktor eksternal.
Faktor Internal
Pertama, tidak adanya persatuan Palestina. Semua upaya untuk memerdekakan Palestina bakal menjadi mentah selagi bangsa Palestina belum bisa bersatu.
Kenyataannya sampai sekarang Palestina terbelah. Kelompok-kelompok perjuangan belum bersepakat mengenai negara merdeka dan berdaulat seperti apa yang mereka impikan. Oleh karenanya, Palestina mesti menggelar referendum untuk menyaring keinginan semua rakyat Palestina tentang negara diimpikan.
Ada dua konsep yang ditawarkan: solusi satu negara atau solusi dua negara. Nah, referendum itulah yang akan memutuskan mana sesungguhnya pilihan rakyat Palestina.
Artinya, referendum ini harus diikuti oleh oleh semua rakyat Palestina dari berbagai kalangan. Entah Islam, Nasrani, atau pun Yahudi, semua mesti berpartisipasi. Termasuk yang pernah menetap di Palestina sebelum Deklarasi Balfour pada 1917, yakni para pengungsi dan keturunan mereka yang tinggal di luar negeri.
Berikutnya, soal persatuan ini juga tak mudah mengingat Israel telah menerapkan blokade pada Juni 2007, sehingga praktis wilayah Palestina terbelah. Jalur Gaza terpisah dengan Tepi Barat. Selama blokade masih berlangsung, tidak akan pernah ada yang namanya persatuan Palestina. Karena itu, para pemimpin negara Arab dan muslim dibantu masyarakat internasional harus mendesak negara Zionis itu untuk segera mencabut blokade.
Kita tahu dari media-media, akibat blokade itu hampir dua juta warga Palestina di Gaza kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup lantaran semuanya diatur dan dibatasi oleh Israel. Blokade ini membikin warga Gaza putus asa dan kehilangan harapan. Dan yang pasti, tidak adanya hubungan langsung antara warga Gaza dan Tepi Barat.
Belum lagi soal Hamas dan Fatah, faksi perjuangan terbesar Palestina. Hamas mendominasi Gaza sedangkan Fatah berkuasa di Tepi Barat.
Kedua kelompok itu berbeda haluan dalam menghadapi Israel. Hamas berideologi tidak akan pernah mengakui dan bahkan bersumpah menghancurkan negara Zionis yang dibentuk pada 14 Mei 1948. Mereka juga menolak konsep negara Palestina dengan wilayah sebelum Perang Enam Hari pada 1967.
Sedang Fatah memilih strategi berkompromi dengan Israel walau tidak pernah mencapai hasil memuaskan. Fatah sepakat solusi dua negara dengan wilayah negara Palestina yang hanya meliputi Tepi Barat dan Jalur Gaza, sesuai teritori sebelum Perang 1967.
Singkatnya, kedua faksi itu sulit untuk rekonsiliasi, apalagi Hamas pernah dikhianati. Hamas mestinya memimpin pemerintahan seusai memenangi pemilihan umum pada Januari 2006, tetapi diboikot Fatah, Amerika Serikat, dan Israel.
Kedua, konflik agama. Sangat keliru kalau ada yang bilang isu Palestina merupakan persoalan nasionalisme semata. Jelas-jelas, persoalan penjajahan Palestina oleh Israel lebih kental konflik agamanya.
Sedari awal berdiri 14 Mei 1948, Israel menjadikan agama sebagai dasar. Negara Zionis ini merasa berhak mendiami wilayah milik bangsa Palestina dengan dalih sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan. Alhasil, beragam upaya mereka untuk mempertahankan dan bahkan makin memperluas wilayahnya merupakan tugas suci atas perintah Tuhan.
Dan nuansa agama ini kian kental terkait isu Yerusalem, atau Baitul Maqdis dengan kompleks Masjidil Aqsa-nya kalau dalam kacamata Islam.
Israel menegaskan Yerusalem secara keseluruhan, termasuk Yerusalem Timur menjadi ibu kota. Yerusalem sebagai ibukota abadi Israel dan tidak dibagi dua. Klaim sepihak ini sudah dituangkan dalam Hukum Dasar Yerusalem yang disahkan oleh Knesset (parlemen Israel) pada 1980. Israel bahkan meyakini sebelum ada Masjidil Aqsa, tadinya berdiri Kuil Suci Yahudi, Kuil Sulaiman.
Pun di pihak Palestina, termasuk bahkan umat Islam di seluruh dunia tentu tidak akan pernah rela sekira Masjidil Aqsa dirobohkan demi mewujudkan cita-cita Israel mendirikan Kuil Suci ketiga. Masjidil Aqsa merupakan tempat ketiga paling disucikan oleh kaum muslim sejagat setelah Masjidil Haram di Kota Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Masjidil Aqsa pernah menjadi kiblat kaum muslim sebelum beralih ke Ka’bah. Masjidil Aqsa juga merupakan lokasi istimewa karena menjadi landasan Baginda Muhammad Saw. naik ke Sidratul Muntaha, yang kemudian turun perintah salat wajib lima waktu.
Artinya, baik Palestina maupun Israel, merebut dan mempertahankan Yerusalem adalah kewajiban atas nama agama dan itu tidak dapat dikompromikan. Konflik bernuansa agama kini kian meruncing, karena IDF berkuasa penuh mengatur dan menyeleksi siapa saja yang boleh ke Masjidil Aqsa.
Apalagi memang, Yerusalem atau kota Baitul Maqdis ini adalah kota bergengsi, bukan saja dalam konteks agama, melainkan juga politik, dan ekonomi. Palestina dan Israel sama-sama menyadari siapa bisa menguasai kota tersebut, merekalah pemenang dari konflik berkepanjangan ini.
Kita tahu, Baitul Maqdis atau Yerusalem memiliki status seperti Makkah dan Madinah di Arab Saudi: sama-sama kota suci. Kalau Makkah dan Madinah hanya kota suci bagi umat Islam, Yerusalem merupakan kota suci bagi tiga agama: Islam Yahudi, dan Nasrani.
Bisa dibayangkan potensi keuntungan ekonomi dari wisata religi di Yerusalem. Pemeluk ketiga agama itu sama-sama diperintahkan berkunjung ke Yerusalem: Islam salat di Masjidil Aqsa, Yahudi merapat ke Tembok Ratapan, dan Nasrani menziarahi Gereja Makam Yesus.
Palestina sudah merelakan hanya menjadikan Yerusalem Timur, tidak termasuk Yerusalem Barat, sebagai calon ibukota negara mereka. Namun Al-Aqsa, Tembok Ratapan, dan Gereja Makam Kudus itu sama-sama berada di Yerusalem Timur.
Dan sekali lagi Israel sedari dini telah mengeklaim Yerusalem secara keseluruhan adalah ibukota abadi mereka, tidak dapat dibagi dua dengan Palestina.
Ketiga, ada dua isu lagi terkait wilayah sebelum Perang Enam Hari 1967, dan pemulangan pengungsi Palestina.
Berdasar solusi dua negara yang turut diamini pemerintahan Palestina—faksi Fatah—yang dipimpin Mahmud Abbas, negara Palestina yang dibentuk ini meliputi wilayah sebelum Perang Enam Hari 1967. Artinya negara Palestina nantinya hanya akan terdiri dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, ini yang tidak dimaui oleh Hamas dan segenap pendukung one-state solution: Palestina.
Dan isu terkait wilayah ini makin teramat sangat sulit diselesaikan selama Israel memblokade Gaza, sehingga wilayah seluas setengah lebih sedikit dari Jakarta (360 kilometer persegi) ini terpisah sama sekali dari Tepi Barat.
Terlebih negeri Bintang Daud itu memang tidak ingin mencabut blokade selama masih ada Hamas, yang nyata-nyata berkuasa penuh di Gaza dan sedari awal tidak mau mengakui eksistensi serta berkompromi dengan Israel.
Lagian Tepi Barat pun tidak bisa sepenuhnya menjadi wilayah negara Palestina lantaran masih ada permukiman Yahudi di sana. Karena keberadaan permukiman Yahudi inilah yang membuat militer Israel saban hari melancarkan operasi keamanan, membatasi pergerakan rakyat Palestina dengan mendirikan sekitar 650 pos pemeriksaan dan blokade jalan. Ditambah lagi dengan berdirinya tembok pemisah di Tepi Barat sepanjang lebih dari 700 kilometer.
Isu berikutnya adalah pemulangan pengungsi Palestina. Saat ini terdapat sekitar 7,2 juta pengungsi Palestina di seluruh dunia. Dari jumlah itu, lebih dari 4,3 juta pengungsi dan keturunannya terusir dari rumah mereka pada 1948 yang terdaftar untuk mendapat bantuan kemanusiaan dari PBB. Sedangkan 1,7 juta pengungsi dan keturunannya, juga terusir dari kampung halaman mereka pada 1948, tidak terdaftar di PBB. Dan masih sekitar 355 ribu warga Palestina dan keturunan mereka yang tinggal di wilayah sekarang yang menjadi negara Israel.
Ketika Israel menganeksasi Tepi Barat dan Jalur Gaza pada 1967, ada 200 ribu orang Palestina lari dari rumah mereka. Jumlah mereka dan keturunannya saat ini sekitar 834 ribu orang. Akibat dari pengahncuran rumah, pencabutan izin tinggal, dan pembangunan permukiman Yahudi merampas tanah-tanah penduduk asli, paling tidak terdapat 57 ribu warga Palestina menjadi pengungsi di tanah sendiri.
Bayangkan kalau pengungsi-pengungsi itu balik ke kampung halaman! Apakah Israel dan masyarakat internasional bersedia mengumpulkan dana untuk biaya pembangunan kembali permukiman bagi pengungsi Palestina?
Faktor Eksternal
Sokongan kuat dan berkepanjangan dari Amerika Serikat (AS) terhadap Israel adalah faktor utamanya. Negara adikuasa itu selama ini membuktikan sebagai pembela sejati Israel.
Dukungan AS ini sudah terlihat sejak negara Zionis itu dibentuk. AS menjadi negara pertama mengakui eksistensi Israel. Pengakuan ini diberikan Presiden Harry Truman hanya sebelas menit setelah David Ben Gurion, kemudian menjadi perdana menteri pertama Israel, mendeklarasikan berdirinya negara Bintang Daud pada 14 Mei 1948.
Sokongan politik dan militer AS ini membikin Israel makin digdaya di panggung politik internasional dan sebaliknya mengakibatkan Palestina tidak berdaya. Bukan hanya itu, Israel pun kian arogan dan terang-terangan membunuh, menyiksa, menangkapi, mempermalukan, serta merampas tanah dan rumah kepunyaan rakyat Palestina. Israel dengan pongah melanggar setiap resolusi PBB.
Berkat AS, tidak saja kian membuat warga Palestina kehilangan kenangan dan putus asa, tapi negara-negara Arab dan muslim kehabisan akal. Alhasil, selama AS setia di belakang Israel, peluang Palestina menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat kian menipis.
Begitulah bahwa dalam melihat penjajahan di Palestina, kita mesti berparadigma realis, bukan idealis. Bahwa tantangan terbesar dalam membantu bangsa Palestina meraih kemerdekaan dari penjajahan Israel adalah bagaimana mencegah agar Palestina bukan sekadar negara khayalan. Terang sudah, realitasnya hari ini: Palestina belum menjadi negara merdeka dan berdaulat.
Dan kita, yang berada jauh dari wilayah konflik, harus terus merawat nyala keberpihakan kepada Palestina. Terutama nanti, dan saat ini pun sudah kita rasakan, adanya isu-isu pemusnahan global seperti krisis iklim, pandemi global, dan sebagainya.
Demikian yang bisa saya rangkum dari Faisal Assegaf, jurnalis sekaligus analis Timur Tengah.
Ungaran, 21 Februari 2025
0 Comments