Aku menggerutu. Bus tidak boleh parkir dekat masjid. Akibatnya, aku dan semua rombongan tur mesti berjalan yang lumayan jaraknya dari tempat pemberhentian bus. Padahal sebelumnya, kami telah terjebak macet, Ungaran-Solo, hampir enam jam.
Baru kemudian, mulai Sragen menuju Batu terbilang lancar. Namun kini, aku kesal. Beruntung di sebelahku, Rahma, istriku, sangat sabar dan pintar bikin aku tertawa. Sehingga, perjalanan dari tempat turun dekat tugu selamat datang kota, yang ternyata memakan waktu seperempat jam menuju masjid tak berasa lelah. Entah yang lain, karena tampak banyak dari rombongan yang tersaruk-saruk kelelahan.
Setelah berjalan lima belas menit, akhirnya sampai di masjid. Lumayan besar. Kami bebersih bergantian, dan berikutnya salat subuh berjamaah.
Seusai subuhan, Ihsan, kepala rombongan membagi dus sarapan. Kami dibebaskan mencari tempat senyaman mungkin di sekitar masjid sembari sarapan. Aku dan Rahma memilih tempat dekat menara.
Sambil sarapan, saat cahaya emas di ufuk mulai mengintip, entah ada apa, tiba-tiba aku terbayang, Abu Thalib kaget sekaget-kagetnya ketika memergoki Ali, putra kandungnya, mengikuti gerakan salat yang dijalankan Muhammad Saw.
Abu Thalib sangat terganggu oleh apa yang telah dia saksikan. Baginya, gerakan salat yang diperagakan keponakan dan putranya itu tidak wajar.
Abu Thalib menyaksikan kening mereka menempel di permukaan tanah, lengan diulurkan, dan pantat terangkat tinggi. Menurut Abu Thalib itu adalah gaya tawanan yang takluk di hadapan penakluk. Sebuah postur penyerahan total.
Kaum Muslimin hari ini tentu tidak heran dengan gerakan salat. Saban hari melakukannya. Dan konteks tawanan atau postur seorang tahanan hari ini pun berbeda jauh dengan postur tawanan klasik.
Sekarang, seorang tawanan masih merasa sebagai manusia. Sementara pada saat itu, masih era klasik, seorang tawanan benar-benar seseorang yang berkedudukan rendah, atau bahkan tanpa hak eksistensi. Seorang yang turun derajat kemanusiaannya. Ia tidak lagi merasa sebagai seorang manusia.
Tentu saja Abu Thalib tak menginginkan putranya berlaku demikian. Abu Thalib terguncang membayangkan putranya menjadi seorang tawanan yang menyerah total di kaki sang raja pemenang.
Aku bisa membayangkan apa yang kemudian berkecamuk di benak Abu Thalib ketika melihat ritual baru yang sungguh aneh itu. Bagaimanapun Abu Thalib seorang pemuka Bani Hasyim, bukan kasta rendahan yang sedemikian gampang merunduk pada orang lain.
Semula dia senang saja mengirim Ali untuk tinggal bersama di rumah Muhammad dan Khadijah. Karena memang Muhammad yang meminta. Muhammad hendak turut meringankan beban kehidupan keluarga Abu Thalib, yang mulai goyah semenjak ditinggal Muhammad.
Namun, Abu Thalib jelas sama sekali tak menyangka bahwa ritual dari ajaran yang dibawa Muhammad itu menyimpang dari tradisi leluhur. Abu Thalib bergegas mendatangi rumah Khadijah dan mempersoalkannya langsung kepada sang keponakan.
Bagi sang paman, adat istiadat leluhur itu terlalu suci dan sungguh tak beradab sekira meninggalkannya. Tradisi yang berakar dalam di masyarakat Quraisy yang sedemikian menghormati ayah dan leluhur sebagai inti kehormatan.
Nah, ritual sembahyang yang dibawa Muhammad sangat berasa bagi sang paman, seolah meminta pelaku untuk meninggalkan kesucian leluhur suku Quraisy.
Dalam masyarakat Quraisy, para leluhur begitu dimuliakan. Dan mungkin termasuk hari ini, sebagian besar dari kita berpandangan, orang-orang yang telah mati diberi kekuatan oleh Sang Pemelihara untuk menjadi perantara. Tak pelak, makam orang-orang mulia dan berkuasa jadi kuil, menjadi destinasi ziarah religi, dan sebagainya.
Sang keponakan, Muhammad, dengan lembut menjelaskan perihal sembahyang yang diperolehnya dari pengajaran langsung oleh Allah lewat Jibril. Kemudian, seluruh anggota keluarga Muhammad menjalankan ritual baru tersebut, termasuk Ali dan Zaid yang tinggal serumah.
Muhammad menuturkan bahwa di hadapan Allah, Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta, eksistensi manusia itu tidak ada bedanya dengan seluruh ciptaan-Nya: sesama hamba Allah. Artinya menemukan diri sebagai hamba Allah sama dengan menemukan yang lain juga sebagai hamba Allah.
Sebagai hamba Allah berarti pula ia tidak lagi sebagai anak bumi: orang Makkah, suku Quraisy, suku Badui, dan seterusnya.
Dan memang Allah sungguh tak terbandingkan, sungguh tak terjangkau. Bahkan akal manusia yang konon sebagai sebaik-baik ciptaan pun tidak sanggup menembus-Nya.
Maka, di hadapan dzat yang demikian, manusia bak seorang tawanan yang menyerah total pada ampunan dan karunia dari suatu kekuatan yang jauh lebih besar. Di hadapan-Nya, manusia menjadi bukan siapa-siapa, dan tidak bisa apa-apa. Hanya bisa berpasrah total sepenuh pasrah.
Manusia yang menghayati salat akan tampil tanpa mempertahankan martabat dan harga dirinya, dan tidak pula bersandar pada apa yang telah dimilikinya, baik harta, kekuasaan, maupun prestasi-prestasinya.
Ia tak lagi terpesona oleh apa pun, tidak pula meminta sesuatu pun, dan bahkan—yang telah meraih derajat tinggi—tidak pernah mengadukan perihal apa pun. Ia tak lagi jinak kepada apa dan siapa, karena telah mendapatkan Allah Ta’ala yang tak tertandingi oleh apa dan siapa.
Dan Muhammad mengajak segenap anggota keluarganya bahwa kepatuhan kepada-Nya bukan kepatuhan yang terpaksa, melainkan penerimaan yang ikhlas dan sukarela.
Secara konsep Abu Thalib menerima penuturan keponakannya. Dan lega putra kandungnya menjadi bagian keluarga sang keponakan. Meskipun sedih juga bahwa akhirnya secara praktis Ali bukan lagi putranya, melainkan putra Muhammad.
Abu Thalib setuju dengan kebenaran ajaran yang dibawa Muhammad, tetapi ia pun belum bisa menanggalkan tradisi leluhur. Sebab yang dikotbahkan Muhammad itu jauh mengatasi identitas pribadi, melampaui ikatan tradisional keluarga, kabilah, suku, dan lantas bersatu dalam kesetiaan baru hanya kepada Tuhan yang Esa.
Tak pelak, apa yang sebelumnya menjadi persoalan Abu Thalib, kemudian berkembang menjadi masalah bagi seluruh elite Makkah. Mereka tidak bisa menoleransi ketika khotbah Muhammad mulai tampak mengancam kemapanan mereka.
Bahwa ajaran hanya bertuhankan Allah dalam ritual salat niscaya menggeser kedudukan para pemuka Makkah menjadi setara dengan budak rendahan. Salat meneguhkan adanya kesetaraan. Dan elite Makkah belum siap menerima risalah baru itu.
“Kok melamun sih, Yah?”
“Ah, nggak,” aku terperanjat dan menjawab asal seraya menatap wajah bundarnya.
“Sarapan Bunda dah habis lho. Ayah masih banyak. Malah mendoannya masih utuh.”
Sekali lagi, aku hanya menatap rona muka Rahma yang bening. Senyumnya mengembang, dan berkelebat senyum manis Khadijah pada suaminya, Muhammad Saw.
Ungaran, 3 November 2024
Baca juga: Masa Depan, Sosok Asing
1 Comments
Ngangeni tulisan panjenengan kangmas🙏👍
ReplyDelete