Berjubah Sastrawi

Sejenak, seusai membacakan Amanat, Selasa siang, 5 November 2024, di ruang Audiovisual lantai 1 kantor Dinas Perpustakaan Kab. Semarang, saya terdiam. Tak sengaja saya menarik nafas lega. Saya berasa terbebas dari beban, padahal hanya membacakan. Ah, ada yang tak beres.

Saya sadar kemudian, ketika Hamida bertanya, “Apa yang Mas Kafha rasakan saat membaca?” 

Benar, saya ngos-ngosan. Dalam menuliskan Amanat, tanpa saya sadari, terlampau banyak anak kalimat. Di sana sini berlimpah tanda koma. Padahal, sedari awal saya paham, dalam menulis cerita pendek sedianya tak berpanjang-panjang kata. Lagian sebagai pembaca, saya pun bosan dengan kalimat yang terlalu panjang.

Kemudian tanda baca. Selama ini saya berusaha disiplin mengenai tanda baca. Bahkan sekadar menuliskan pesan di WhatsApp, saya hati-hati supaya tepat membubuhkan tanda baca. Namun, ternyata sang khilaf pun tak bisa dilawan. Tetap saja, dalam Amanat, saya salah menaruh “titik” yang semestinya menjadi privilese “koma”. Dan Ika Febri jeli menyingkap kesalahan saya tersebut. 

Namun, saya terhibur. Secara garis besar, cerita yang saya tulis Selasa dini hari itu, mendapat apresiasi dari peserta reading class. Daffa, misalnya, menandaskan bahwa cerita pendek Amanat ini, sejak pembukaan langsung cepat mengikat pembaca. Ia tak bertele-tele, dan langsung bicara pada pokok masalah.  

Pun demikian Feiruzi Rufida—sebagai bentuk rasa hormat, saya panggil dia Mbak Yosi—salah seorang pemangku kebijakan Dinas Perpustakaan, yang turut menyertai kelas baca. Mbak Yosi mengaku sangat menikmati isi cerita. Amanat penuh pesan nilai. Ia mengadon masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Begitulah cerita Amanat. Selanjutnya beralih cerita Ronald Si Belalang Congkak yang ditulis Uniek Kaswarganti. Berhubung si penulis tidak hadir, tidak banyak yang bisa didiskusikan. Saat itu mentok, karena ini cerita anak, pada pertanyaan mendasar, “Cerita Ronald ini untuk level usia berapa?”

Sekiranya jelas usia anak yang disasar, maka kalimat “Sepertinya jeritan itu seperti sedang ketakutan” tak perlu ada. Hamida janggal dengan kata “sepertinya” dan “seperti” tersusun dalam satu kalimat. Juga dengan kata yang sama ditulis setelah tanda titik, “… Ronald perlahan-lahan mendekati Petty. Petty pun mengulurkan belalainya ….” 

Kendati demikian, yang hadir saat itu menyadari bahwa memang tidak gampang menulis cerita anak. Ia terbentur dengan kategori umur yang meniscayakan tingkatan materi bacaan yang berbeda. Usia batita tentu berbeda dengan usia Taman Kanak-Kanak, usia Sekolah Dasar, dan seterusnya.

Terkait bacaan anak, ingatan saya pun melesat pada situasi dua remaja saya saat masih kecil. Ketika batita, mereka suka sekali memandangi gambar pada buku cerita yang saya bacakan. Artinya, gambar-gambar dan tulisan yang mencoloklah yang memicu imajinasi mereka. 

Saat usia TK, mereka mulai senang memilih buku untuk dibacakan. Dan buku-buku Beatrix Potter, pilihan mereka. Masuk usia SD, pilihan bacaan jatuh pada Seri Rumah Kecil (Laura Ingals), Dongeng Andersen, Heidi, Jungle Book, Charlotte's Web, Oliver Twist, Robinson Crusoe, dan lain-lain.

Walhasil, asupan intelektual anak berkembang seiring tumbuh kembangnya. Alam bawah sadarnya menyimpan pesan dan petuah dari buku-buku berkualitas yang telah dibacakan kepadanya.

Dan saya termasuk yang berkeyakinan, seorang anak bergantung kepada orangtuanya. Pikiran-pikirannya terpantik berkat peran orangtua. Hasrat-hasrat yang akan ia pupuk, perasaan-perasaan yang akan ia izinkan, sekali lagi, terpantik oleh orangtua.

Betul sekali, memang anak terlahir dengan takdirnya masing-masing, dengan kecenderungan-kecenderungan yang akan membentuk masa depannya. Namun, tiap kecenderungan itu ibarat jalan yang bercabang-cabang, bisa berujung baik atau buruk. Nah, amanah buat orangtua, menempatkan anak di jalur yang tepat agar terwujud berbagai peluang yang tersimpan di dalam dirinya.

Guna memantik proses tersebut, buku-buku terbaik, yang menawarkan ide-ide inspiratif, gagasan-gagasan besar, yang harus kita bukakan bagi anak-anak kita. Dan pendidikan, mestinya menjadi perjamuan besar buku-buku bermutu. Kita berharap, semoga kementerian pendidikan yang baru ini peka dengan kebutuhan itu. 

Buku-buku berbobot yang seperti makanan segar yang sarat dengan enzim. Yang menyehatkan pikiran, berenergi, dan penuh vitalitas. Lantas, bagaimana rupa buku itu? Inilah yang menjadi ujung obrolan kawan-kawan yang hadir pada reading class #4 kemarin.

Buku-buku yang sedianya terungkap dengan mutu sastra yang pas dan indah, dengan cara penuturan yang baik. Buku yang memuat nilai, menyajikan sikap moral, tapi tanpa sikap menggurui yang cerewet. Dan buku-buku tersebut tak melulu karya prosa. Seperti kumpulan esai-esai Goenawan Mohamad yang terhidang dalam jubah sastrawi.

Dan saya senang, Hamida serta Kirachusnul berambisi menjadi penulis cerita anak yang demikian. Cerita yang sarat nilai, tapi tidak garing. Cerita yang tidak “gampangan”, dan misalkan dibaca audiens dewasa pun tetap menarik. 

Saya berkaca, tahun 70-80-an, bangsa kita melahirkan sejumlah sastrawan, dan pemikir besar yang telah menulis berbagai karya bermutu, yang layak dan perlu dibaca anak-anak kita. Namun sayang, banyak buku bermutu itu yang sudah tidak beredar di pasaran, tidak dicetak ulang. Kalau pun beredar, harganya pun selangit, karena tersiar sebagai buku langka. 

Sebagai pengelola pustaka, saya merasakan kebanyakan buku bagus yang ditulis oleh penulis dalam negeri masih bersegmen audiens dewasa, bukan pembaca anak. Sebab karya sastra anak di negeri ini, yang beredar, masih didominasi oleh karya-karya sastra terjemahan.  

Ya, bagaimana lagi. Entahlah!

Ungaran, 6 November 2024 

Baca juga: Seusai Reading 

Post a Comment

0 Comments