Kejadiannya begitu mendadak. Tiada penyakit berkepanjangan yang mempersiapkannya. Dan orang-orang pun terus berdatangan. Woro, adikku, lebih tegar ketimbang aku, apalagi ibuku, tengah menyambut para pelawat.
Di ruang tengah, hatiku kian teriris. Pedih, tapi tidak sampai keluar suara tangis. Berbeda dengan Ibu, duduk di seberang berhadapan dengan aku, ditemani Bulik dan Budhe dari saudara Bapak, isak tangisnya mengalun liris, seakan diorbitkan dalam putaran yang ritmis.
“Cepet bali, Le. Bapakmu wes ….”
Teringat suara Ibu tercekat. Ya, dua setengah jam lalu, ibu menelpon, ketika aku tengah bertafakur di depan layar komputer, menyelesaikan deadline tulisan untuk Media RekamJejak.
Aku pun buru-buru menyudahi. Tulisan yang belum sempurna langsung aku kirim ke Lukni, redaktur RekamJejak, sembari meminta maaf padanya. Lukni pun memahami kepanikanku.
Aku bersiap. Kemudian mengabari Rahma, istriku, bahwa pukul setengah dua siang tidak bisa jemput seperti biasa, tidak menanti di halaman parkir Yayasan Assalam. Aku pun tidak memberi tahu padanya, kenapa mesti bersicepat ke Sragen.
Berkendara sepeda motor, aku benar-benar seperti berebut lintasan dengan pengguna lain. Benar, para pengendara roda dua tampak bersaing, unjuk diri siapa yang terdepan. Kesal, memang. Belum lagi bus-bus yang kerap memaksa kendaraan kecil untuk mengalah, bahkan hingga turun dari aspal masih saja dipepet.
Woro masih setia duduk di kursi di barisan menuju pintu masuk rumah. Aku yakin hatinya pun tersayat, tapi berusaha tampak wajar di hadapan para pelayat. Worolah yang selama ini telah menemani Bapak, turut mengajar anak-anak di madrasah.
Kini, tepat di tengah-tengah ruangan, jasad Bapak terbaring. Tertutup kain warna hijau bertuliskan La ilaha illa Allah. Kalimat persaksian, agar jenazah mendapatkan jalan lapang. Tapi aku yakin, tanpa simbol warna dan tulisan itu pun, Bapak pasti lempeng jalannya.
Di desa ini, Bapak dikenal sebagai pensiunan guru agama dan pakar biografi nabi. Mengisi hari tuanya, dia mengajar fiqih dan Sirah Nabi di madrasah yang telah dirintisnya bersama Ibu. Bahkan konon, keberadaan madrasah itu merupakan kado 10 tahun usia pernikahan mereka yang didedikasikan sebagai tempat belajar agama buat anak-anak desa.
“Mas, Bapak mau diberangkatkan ke pesarean kapan? Itu Pak Modin sudah datang,” tanya Woro mengagetkan aku.
“Terserah Ibu saja.”
“Ibuk manut Njenengan kok.”
“Ya wes setengah jam maneh.”
Jujur, aku belum siap menghadapi kehilangan. Aku masih ingin berlama-lama menatap jenazah Bapak. Aku ingin mengadu sekaligus menahan haru atas kepulangannya. Sungguh, aku tidak siap kehilangan Bapak.
Sebagai anak mbarep, aku merasa bersalah, tidak ada di samping Bapak pada detik-detik terakhirnya. Memberikan genggaman saat tarikan napas penghabisan. Bagiku, dan aku yakin Woro rasakan pula, Bapak adalah sumber kebaikan untuk anak-anaknya. Ia santai, terbuka, dan tidak terlalu ketat, dalam mendidik kami.
Masih jelas dalam benakku, saat aku dan Woro masih remaja, Bapak tidak melarang kami nonton TV. Bapak mengizinkan Woro naik motor ke SMA-nya. Bapak tak menuntut aku hanya belajar mengaji. Singkatnya, Bapak benar-benar menyervis kami bak tuan, yang selalu menanyai perihal apa yang kami mau, termasuk pilihan sekolah.
Tapi kini, aku terteror percakapan terakhir dengan Bapak, dua Minggu sebelumnya. “Kalau aku mati, siapa yang mau menggantikan mulang Sirah?”
Saat itu aku menjawab enteng, “Halah gampil, kula saged. Menawi mboten kula, guru-guru sanes tasih kathah.”
“Ya, penginku kowe sing neruske. Adimu ra isa, soale melu bojone. Ibumu ben anteng nang omah wae, ora diribeti urusan madrasah.”
Dan sekarang Bapak benar-benar berpulang ke pangkuan-Nya. Itu sama artinya aku harus hidup di sini untuk bisa saban hari mengajar Sirah. Woro jelas tak mungkin, bulan depan ia berangkat mengikuti karir suaminya yang dipindahtugaskan ke Manado. Sementara Rahma, ah, aku tak yakin ia rela berlepas karir dari Ungaran.
Sebenarnya Ungaran-Sragen hanya dua jam perjalanan, tapi kalau mesti pergi-pulang saban hari, ya, remuklah ragaku ini.
Dan pertanyaan Bapak dua Minggu lalu itu kian kencang menindihku. Aku seperti orang kehilangan orientasi. Aku memprotes, kenapa Bapak begitu cepat pulang kepada-Nya? Tidak ada hujan, tiada badai, kenapa mendadak? Benar, Bapak sakit sebelum ini. Tapi sakit biasa, hanya batuk pilek. Sakit yang tak menuntun kami bakal berpikir tentang kematian. Sedih, jengkel, bahagia, campur aduk mengadon di pikiranku.
Setelah Bapak pensiun, aku belum pernah mendengar ia sakit yang aneh-aneh. Dia tipe orang yang sedemikian disiplin menjaga kesehatan. Setiap pagi, usai subuhan di masjid, ia lanjut jalan-jalan memutari lapangan sepakbola, selatan masjid, hingga cahaya kuning matahari melesat-lesat, membias, dan membelai rambutnya yang tak sepenuhnya beruban. Ia mengitari lapangan paling tidak lima putaran.
Sore hari, setelah asar, begitu koin emas di langit tak terlalu menyilaukan, Bapak rutin menyapu halaman madrasah, yang luasnya tiga kali ukuran tanah rumahku di Ungaran. “Ini semata agar tangan dan kakiku terus bergerak,” katanya begitu aku menegur.
Ah, Bapak! Sungguh, ikhlas tak ikhlas, bagaimanapun kepulangan Bapak ini begitu mudah. Tanpa harus melalui proses yang merepotkan Woro beserta Erwin, suaminya, dan terutama Ibu. Kini aku lihat Ibu masih seperti tak percaya, suami tercintanya telah mendahului bercengkerama dengan para malaikat di kampung barzakh.
Menjelang tengah hari ini, para pelayat terus berbondong. Sedangkan aku masih seperti Umar yang tiba-tiba kehilangan Baginda Nabi Saw. Aku masih berharap bahwa kematian Bapak ini tidak nyata.
Dan aku baru menyadari, dua Minggu lalu itu, sebelum bertanya siapa pengganti dirinya, Bapak bercerita mengenai detik-detik akhir Rasulullah. Tidak seperti masa lalu, bukan kepala Aisyah yang berbaring di pangkuan Rasulullah, melainkan kepala Rasulullah yang berbaring di pangkuan Aisyah, ungkapnya.
Pada saat demikian, terang Bapak, Jibril a.s. datang menemui Baginda Nabi, dan menyodorkan dua pilihan: Rasulullah dapat hidup selamanya, yakni sepanjang dunia ini ada, atau, memilih meninggalkan dunia ini dan berada bersama Sahabat Tertinggi.
Rasulullah memilih untuk bersama Allah, Sahabat Tertinggi. Rasulullah menengadah dan mengucap berulang-ulang, “Aku memilih Sahabat Tertinggi.”
Sayidah Aisyah menyebutkan bahwa Rasulullah terus mengucapkan itu sampai tangannya turun dan jiwanya meninggalkan raga. Sontak Aisyah menangis dan menjerit.
Bapak mengajakku merenung, membayangkan seandainya aku berada di masjid pada hari wafatnya Baginda Nabi, duduk dan beribadah tanpa suara. Kemudian tiba-tiba aku mendengar jerit-tangis Aisyah. Orang-orang dari kamar Rasulullah berkata, “Rasulullah telah wafat! Rasulullah telah wafat! Rasulullah telah wafat!”
“Tentu kita akan benar-benar syok, kan. Dan seluruh tubuh mati rasa. Bayangkan!” ajak Bapak.
Ya, aku bayangkan semua orang pasti kaget dan sulit percaya. Orang saling pandang, berharap mendapat penjelasan logis bahwa Rasulullah masih hidup. Orang-orang menatap tirai kamar Aisyah, dan berharap Rasulullah muncul dari baliknya.
Saat itu para sahabat banyak yang tak percaya. Umar yang paling frontal. Umar yang begitu emosional, menegur keras siapa pun yang berani mengatakan bahwa Rasulullah telah wafat. Dalam pandangan Umar, Rasulullah Saw. tidak mungkin meninggal, sehingga siapa pun yang mengatakan Rasulullah sudah wafat itu munafik. Umar tidak mampu menerima kenyataan, bahwa Rasulullah pun tetap seorang manusia yang dibatasi perannya di muka bumi ini.
Dan di ruang tengah itu, raga Bapak terbaring. Jiwanya pasti telah berada bersama Sahabat Tertinggi di sana, sebagaimana damba Baginda Nabi. Bersama Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, yang memegang kekuasaan mutlak atas segala yang ada.
“Piye, Le, gelem ta ngganteni Bapak mulang sirah? Ini amanat!” Tiba-tiba sosok Bapak berdiri di hadapanku. Dia mengangguk. Wajahnya semringah. Ia tersenyum bahagia. Ia menenteng kitab yang lamat-lamat seperti Sirah Ibnu Hisyam.
“Mas, Mas! Ayo melu mikul jenazah Bapak! Itu sudah ada aba-aba dari Pak Modin.” Woro menarik-narik lengan kiriku.
Gelagapan. Tersentak sadar. Lamunanku bubar. Kedua mataku terkejap-kejap. Dan, sesosok dengan wajah semringah bahagia itu pun lenyap dari pandangan. “Tuhaaan …! Amanat itu. Amanat itu.”
Ungaran, 05 November 2024
0 Comments