Masa Depan Besar Terhampar

Berasa dingin. Ya, Ambarawa termasuk kota dingin. Lebih dingin daripada Ungaran. Dari kaca bus, aku melihat kepadatan pasar. Karena masih pagi, lebih kurang pukul tujuh, pasar masih dipadati oleh penjual sayur hingga bahu jalan. Bus yang kutumpangi ini pun terpaksa berjalan pelan, merayap bak siput. 

Sambil menikmati pemandangan pasar, pikiranku menerawang jauh ke sosok remaja, 12 tahun, yang menyertai pamannya pergi berdagang ke Syam. Sosok remaja itu adalah Muhammad Saw. 

Dari literatur yang kubaca, semenjak tahun 578, artinya baru berusia delapan tahun, Muhammad tinggal bersama keluarga Abu Thalib. Dan aku tidak bisa tidak, membayangkan betapa kikuk dia. Bagaimanapun, Muhammad lebih sebagai tambahan mulut yang mesti disuapi, daripada sebuah bagian penting dalam keluarga besar Abu Thalib.

Sebab Abu Thalib bukanlah keluarga berada yang akan begitu enteng menerima tambahan anggota keluarga. Hal itu terkonfirmasi kemudian, Muhammad mesti menggembala kambing milik para kalangan kaya demi turut meringankan beban hidup keluarga Abu Thalib. Dan Muhammad turut menjalankan karir perniagaan hingga ke Damaskus. Sampai kemudian dipercaya oleh saudagar wanita mulia, Khadijah, untuk mewakilinya ke luar Makkah.

Awal menetap di keluarga pamannya, Muhammad dipekerjakan sebagai bocah pelayan rendahan untuk mengurus unta. Tentunya, Muhammad sangat mahir mengendalikan unta, berkat pengalamannya bersama suku Badui, Bani Sa’ad.

Muhammad mengurus unta-unta dalam pekerjaan kafilah dagang yang ditangani pamannya. Dan yang paling populer, perjalanan niaga yang mengarah ke Syam ketika ia berusia 12 tahun.

Saat rombongan menyusuri dataran tinggi menuju wilayah timur Sungai Yordan, di sebuah reruntuhan dinding bekas perang antara Bizantium dan Persia, Abu Thalib meminta rombongan beristirahat.

Di dekat rombongan yang tengah beristirahat, ada bangunan yang dihuni pertapa tua, Bahira. Seorang pertapa yang sudah sekian turun temurun mengabdikan hidup untuk menjaga kitab. 

Bahira ini tidak pernah memperhatikan kafilah unta yang lewat, entah dari mana pun kafilah tersebut. Namun, tatkala rombongan Abu Thalib yang lewat, Bahira membaca tanda alam yang menaungi salah seorang dari rombongan. 

Persisnya, Bahira melihat sebuah awan kecil di atas langit tak berawan, melayang rendah di atas satu titik tertentu di tengah-tengah kafilah. 

Bahira melanggar kebiasaan, ia jadi menaruh perhatian terhadap rombongan kafilah, bahkan mengundang mereka untuk singgah.

Abu Thalib dan semua yang bersamanya, selain Muhammad yang setia menjaga unta, masuk menerima undangan Bahira. 

Bahira merasa ada yang belum masuk, tetapi Abu Thalib bersikeras bahwa tak ada yang tertinggal kecuali seorang anak kecil yang mengurus unta. Dan Bahira meminta Abu Thalib agar si anak itu pun disuruh serta menikmati jamuan.

Setelah semua tanpa kecuali tengah menikmati hidangan, Bahira mendekati Muhammad. Ia memeriksa dengan seksama tubuh bocah 12 tahun itu. Bertanya ini itu, dan Muhammad yang tak tahu menahu menjawab sepenuh hati setiap pertanyaan.

Dan sampailah pada kesimpulan, “Masa depan besar terhampar di hadapan keponakan Anda ini.” ucapnya kepada Abu Thalib.

Aku membayangkan, Abu Thalib seketika menahan geli atas ocehan pertapa tua itu. Abu Thalib sama sekali tak terpikir akan masa depan bocah yatim piatu yang diasuhnya. Yang ia tahu, ia mesti merawat Muhammad, putra tunggal saudaranya, Abdullah, sebagai amanat dari ayahnya Abdul Muthalib. 

Namun sejarah menceritakan, Muhammad adalah keponakan Abu Thalib yang sangat taat dan cepat belajar. Ia pintar membawa diri. Seorang bocah yang pada lima tahun awal, telah menghabiskan hari-harinya bersama kaum Badui di perkampungan Bani Sa’ad. Di sanalah Muhammad menghirup kehidupan gurun. 

Aku tersentak saat bus mengerem, karena mobil sedan yang di depan juga mengerem mendadak. Ada bocah gelandangan tiba-tiba menyeberang. Lamunanku buyar. Aku tersenyum kecut, di mana dan sedang apa kira-kira orangtua yang tega membiarkan bocah sekecil itu. 

Aku merogoh saku, mengambil ponsel, mengabarkan posisiku yang tengah meninggalkan Ambarawa ke istri. Sebentar kemudian istri membalas, “Nanti kalau dah di Soka ngabari, Bunda jemput. Cium sayang.”

Aku memasukkan kembali ponsel ke saku. Bus masih merayap padat, mungkin karena masih pagi, berbarengan dengan mobil-mobil pribadi yang hendak ke kantor atau tempat karir lainnya.

Sambil memandang hamparan hijau lereng Ungaran, muncul kembali bayangan sesosok Muhammad kecil. Muhammad yang dalam pengasuhan pamannya itu benar-benar tahu bagaimana turut meringankan kebutuhan keluarga pamannya. Dan sepertinya Abu Thalib terhitung telat menyadari, betapa sang keponakan ada di dekatnya ketika diperlukan, dan menghilang saat tidak dibutuhkan. Artinya, Muhammad kecil ini tahu diri, berusaha tak merepotkan sekaligus tanggap apa yang mesti dilakukan. 

Sugguh, Muhammad Saw. mengalami percepatan berpikir dan berempati. Dari seorang bocah Badui, yang dipekerjakan mengurus unta oleh pamannya, lantas kerap menggembalakan kambing-kambing milik para juragan Makkah, kemudian menjadi sosok yang sangat dihormati di jalur perdagangan.

Lagi pula, Damaskus menjadi tempat pendidikan yang sangat baik baginya. Jauh lebih baik ketimbang pendidikan sekarang yang hanya dibatasi oleh ruang kelas dan layar komputer ataupun ponsel. 

Pada saat itu, abad ke-6, berdagang adalah melebur dengan berbagai negeri yang disinggahi. Dan Damaskus menjadi titik pertemuan di kawasan barat jalur sutra. Ia mempertemukan orang-orang dari India, Yunani, Persia, Afrika, Asia, orang berkulit terang atau pun gelap, dan berbagai bahasa.

Muhammad Saw. sigap menjalankan niaga pamannya. Ia menempuh ritual negosiasi yang lambat dan panjang lebar. Ia membetahkan diri menjadi pelancong yang singgah dari satu tempat ke tempat lain. Dan tak jarang ia berdiskusi dengan orang-orang di sinagoge, di gereja, di pasar-pasar, dan penginapan. Ia bersemuka dengan pengkhotbah, penyair, pendeta, dan filsuf.

Tempo itu pula, menekuni perdagangan berarti mengetahui informasi terkini baik tentang politik maupun budaya, baik dalam perjalanan maupun di tempat tujuan.

Dengan demikian, mustahil kiranya Muhammad tidak memahami peta sepanjang pengelanaan. Mustahil juga kalau hanya jaringan yang luas, tanpa diiring oleh pengetahuan yang rinci tentang perpolitikan di kawasan-kawasan yang bakal disinggahi dan yang dituju.

Jadi, aku yakin banget bahwa Muhammad Saw., jauh sebelum diwisuda jadi nabi, tahu dengan pasti sumur mana yang memiliki air paling segar. Paham benar, saat bagaimana beristirahat dan memanjakan unta. Bagaimana bersapa dengan kaum nomaden, menghindarkan atau bahkan mendamaikan konflik, dan seterusnya.

Maka, dari pelbagai persinggahan dan obrolannya dengan banyak kalangan, serta negosiasi yang acap alot, turut meneguhkan gagasan yang telah mengeram di benak Muhammad. Bahwa ia kian tenggelam dalam pemikiran mengenai keadaan sosial yang mengitarinya, dan ikhtiar perbaikan tata kehidupan yang berlaku di masyarakatnya. Benar-benar, kenyataan sosial yang penuh ketimpangan di kota Makkah saat itu sangat menggetarkan hati Muhammad.   

Lamunanku kembali buyar, bus berhenti di terminal Secang. Kesumpekan mulai berasa. Sudah pukul sembilan, jelang siang. Pengasong dengan teriakan-teriakan khas menghiruk-pikuk, ikut berjejalan dengan calon penumpang. Rokok, minuman, tahu, pisang, kacang godog, buku tuntunan salat, semua ditawarkan. 

Kemudian, naik seorang pengamen dengan suara parau melantunkan lagu Joko Tingkir, lumayan menghibur. 

Bus berjalan lagi, setelah penambahan penumpang yang bikin sesak, sumpek. Aku pun berdiri, merelakan seorang ibu sepuh untuk duduk di tempatku semula. Dan pengamen itu telah menuntaskan lagu ketiganya untuk kemudian berjalan dari depan ke belakang menagih receh penumpang.

“Kiri-kiri! Ya, turun-naik, tunggu-tunggu!” teriak kernet lantang.

“Gila! Sudah empet-empetan begini, masih juga ditambah.” gerutu seorang bapak di sebelahku.

Aku membatin saja. Ya, mau bagaimana lagi. Naik bus umum, apalagi non-AC, ya begini ini resikonya. Penumpang yang tak kedapatan tempat duduk berasa dipanggang. Pengap. Gerah. Apalagi kini, penumpang dijejal, sehingga yang berdiri benar-benar tak memiliki keleluasaan bergerak.

Guna menghibur diri, agar tak ikut-ikutan menggerutu, pikiran aku layangkan pada rombongan kafilah dagang Makkah yang melintasi gurun menuju Damaskus. Keadaan diriku yang naik bus ini jelas tak sebanding dengan kondisi Muhammad muda yang membawa barang-barang niaga Khadijah.

Rombongan niaga itu mesti menyusuri perjalanan panjang di bawah terik yang tingkat panasnya di atas rata-rata di sini. Tidak hanya terhadap panas, mereka juga harus berhitung agar tak kehabisan bekal, tidak mati kehausan. Tidak terjebak badai, atau tersesat yang malahan mengantar kepada gundukan-gundukan pasir yang bakal menyerap mereka ke dalam timbunan.

Belum lagi oleh debu-debu yang berhamburan, yang mengganggu pandangan, atau bahkan bikin wajah perih. 

“Tit …tit …tit ….” bunyi nada dering ponselku. “Ya, Bun. Ini masih di Magelang. Tiga jam lagi insya Allah sampai Soka.”

Ungaran, 4 Oktober 2024

Baca juga: Role Model

Post a Comment

0 Comments