Dari Muslim Pertama

Dia agnostik. Dan gejala itu pun kini tampak kian mengemuka, tidak menyangkal secara mutlak keberadaan Tuhan, tetapi ada tiadanya tak penting, karena tak bisa dibuktikan. Bahkan yang mendaku beragama (Islam) pun tak sedikit yang masih enggan menomorsatukan Tuhan. Serasa Tuhan mulai ada dan dibutuhkan hanya saat mendapat masalah, menerima bala, tengah terpuruk, dan lain sebagainya dan seterusnya.

Ya, dia terang-terangan mendaku agnostik. Sehingga, di titik ini, saat membincang ketuhanan, saya berseberangan dengan dia. Namun, ketika ia mengurai kisah Baginda Nabi Saw. terasa kejujurannya. Ia bersimpati kepada beliau sebagai sosok sejarah yang tiada dua, tiada banding. Ia menggambarkan sang Baginda Muhammad dalam bingkai cerita yang hidup.

Dalam Muslim Pertama, Lesley Hazleton, itulah namanya, menyatakan bahwa mengidealkan seseorang, dalam arti tertentu, acap kali dengan menghilangkan kemanusiaannya. Itu yang kemudian mendasarinya untuk menampilkan Baginda Muhammad jauh dari kisah-kisah yang penuh ajaib, penuh mukjizat. Ia justru telaten menyusuri sisi kemanusiaan Sang Nabi, dengan segala kompleksitasnya.

Menurutnya, yang menarik dari Muhammad Saw. malahan bukanlah yang ajaib, melainkan apa yang mungkin secara manusiawi. Kehidupan Nabi Muhammad adalah salah satu dari kehidupan langka yang lebih dramatis dalam kenyataan ketimbang dalam legenda. Dan itu yang masih problem di benak sebagian umat Islam, memandang Nabi Saw. sebagai legenda, bukan sosok nyata yang manusiawi.

Hazleton mengajak pembaca untuk memandang Muhammad Saw. dengan jernih. Memahami bagaimana beliau menuntaskan perjalanannya dari ketidakberdayaan menuju kekuasaan, dari bukan siapa-siapa menjadi orang ternama. Dari sosok yang remeh menjadi sosok yang berpengaruh sepanjang masa.

Misal, dalam aline di bab enam, Hazleton membantah anggapan bahwa Muhammad Saw. menikahi Khadijah sebagai sindrom “janda kaya”, bahwa mustahil seorang Muhammad tertarik pada istrinya itu selain demi harta.

Jurnalis Timur Tengah ini juga menampik anggapan, Muhammad Saw. merindukan pengganti sosok ibunya, sehingga memilih menikahi Khadijah yang jauh lebih tua.

Hazleton memandang, hubungan antara Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah sama sekali tidak bersifat pragmatis sebagaimana dua anggapan itu. Ia meyakinkan, pernikahan monogami mereka yang berlangsung lama sebetulnya sudah bisa jadi bukti bahwa kedua sosok mulia itu memiliki ikatan cinta dan kasih sayang mendalam.

Khadijah mencintai Muhammad Saw. karena sosok Muhammad itu sendiri, bukan karena pengandaian akan sosok kenabiannya. Bukan karena kisah-kisah mukjizat yang dilaporkan Maisarah tatkala menemani Muhammad Saw. menjalani kafilah dagang ke jurusan Damaskus.

Khadijah mengagumi pemuda Muhammad karena melihatnya sebagai sesosok lelaki yang tidak memiliki kepentingan sendiri untuk diperjuangkan. Khadijah telah mendengar reputasi Muhammad Saw. yang mengagumkan dalam masa kerjanya dengan Abu Thalib.

Bahwa Muhammad Saw. tidak pernah mengambil potongan tambahan untuk dirinya secara sembunyi-sembunyi atau memalsukan laporan pengeluaran. Komisi apa pun yang diperolehnya, beliau bagi-bagikan sebagai sedekah kepada kaum miskin.

Sikap yang aneh, dan dianggap bodoh oleh para saudagar di Makkah. Betapa Muhammad Saw. tak berhasrat untuk menaikkan kedudukannya dalam masyarakat. Namun justru yang demikianlah, Khadijah melihatnya sebagai sesuatu yang mengagumkan.   

Dan kemudian Muhammad Saw. tidak pernah melupakan Khadijah di tahun-tahun periode Madinah. Betapa beliau seketika pucat oleh dukacita saat mendengar suara apa pun yang mengingatkannya kepada sang istri yang wafat sebelum hijrah.

Bersama Khadijah, Muhammad Saw. memang telah menjadi laki-laki yang bahagia. Namun, beliau tetaplah Muhammad Saw. yang tidak nyaman menyaksikan ketidakadilan masyarakat Makkah. Dan ternyata Khadijah pun merasakan gelisah yang sama seperti suaminya.

Sehingga keseharian mereka pun tetap sebagai hari-hari yang bersahaja. Mereka mengenakan kain tenun rumahan, bukan sutra berbordir rumit yang biasa dikenakan kalangan kaya. Mereka menjahit pakaian bukan beli yang baru. Mereka pun memberikan sebagian besar pendapatan untuk bersedekah, turut meringankan derita kaum lemah.

Karena kesamaan nilai itu, Khadijah mengizinkan Muhammad Saw., mulai tahun 605 M, menekuni praktik para hanif untuk menyepi di Gua Hira. Ya, Muhammad Saw. berencana untuk menjalani sebentuk meditasi asketis yang biasa dipraktikkan oleh para hanif. Waraqah, sepupu Khadijah, yang paling senior di antara para hanif

Beliau menemu kedamaian untuk bebas berpikir dalam keheningan, bertemankan desau angin di sela bebatuan gua. Benaknya berpikir dan merenung soal desas-desus kehidupan Makkah dengan segala perselisihan memperebutkan uang dan kekuasaan, segala perilaku memperbudak pihak lemah. Termasuk gaya hidup yang mendudukkan perempuan bak materi tak berjiwa.

Nah, Lesley Hazleton mengajak untuk merenungkan bahwa Muhammad Saw. sebetulnya telah menjadi laki-laki nyaman di samping Khadijah. Tetapi kenapa memilih ke Gua Hira? Jadi, apa yang beliau lakukan sendirian di atas salah satu pegunungan itu? Mengapa seorang lelaki yang bahagia dengan pernikahannya malah mengisolasi dirinya sendiri bertafakur sepanjang malam?  

Mengapa rasa puas saja tidaklah cukup? Apakah kenyataan bahwa rasa itu diraihnya dengan usaha yang begitu gigih, sehingga membuatnya tak bisa menerima perasaan itu begitu saja? Membuatnya tak pernah tenteram akan haknya atas rasa itu? Lantas apa yang membuatnya tenang? Apa yang sedang beliau cari?

Hazleton mendedah sejenis kedamaian yang Muhammad Saw. cari dalam larik-larik bukunya ini, Muslim Pertama, yang menggiring saya untuk memeriksa sirah-sirah lain yang ada di rak pustaka saya. Artinya, saya tergoda membandingkan tafsir sejarah nabi yang disajikan para penulis sirah, seusai menyuntuki Hazleton. 

Namun satu hal yang pasti, belajar dari Hazleton: Muhammad Saw. sungguh terkejut menghadapi kebesaran sesuatu yang beliau alami tepat pada malam itu, lailatul qadr pada 610 M. Hal ini juga dibenarkan oleh Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy, Baginda Muhammad Saw. sama sekali tak tebersit untuk ditunjuk sebagai nabi. Sehingga, sesudah ditemui Jibril a.s., Muhammad Saw. bergegas menghentikan penyendiriannya di Gua Hira. Beliau menggigil dan meminta sang istri untuk menyelimutinya.


Lantas bagaimana setelah jadi nabi? Hazleton menelisik dari kitab-kitab tepercaya, bahwa Muhammad Saw. dan Sayyidah Khadijah sudah menjadi suami-istri selama 15 tahun, “tetapi Khadijah tidak pernah mendengar Muhammad berbicara dengan keindahan seperti itu sebelumnya. Perkataannya biasanya singkat dan terkendali.

“Namun, bahkan saat kata-kata itu memasuki pikirannya, Khadijah menyadari betapa luar biasa kata-kata itu. Bukan hanya untuk lelaki yang dicintainya, tetapi untuk seluruh dunia. Apa pun itu, dia langsung memahami satu hal: ini merupakan akhir kehidupan yang tenang dan hampir bersahaja yang telah mereka jalani hingga kini. Semuanya tak akan sama lagi.” 

Ungaran, 3 Oktober 2024

Baca juga: Penaklukan Khaibar

Post a Comment

0 Comments