Tak Mengandalkan Keajaiban

 

Betul, dengan segala kemuliaan, dan keagungannya, Nabi Saw. tetaplah manusia biasa. Sisi kemanusiaan beliau tampak jelas begitu baca banyak buku sirah.

Sebut saja Syama’il Muhammad karya Imam at-Tirmidzi, bahwa beliau pun layaknya manusia yang juga tetap makan, minum, tidur, capek, berjalan di pasar, lapar, haus, bahkan juga acap mandi bareng dengan Aisyah, istri beliau.

Artinya, “Aku hanyalah manusia biasa,” sabda beliau. Allah Swt. pun menegaskan hal ini, seperti dalam surahb al-Isra’ ayat 93, “Katakanlah, ‘Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanyalah manusia yang menjadi rasul?’

Atau, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini manusia sepertimu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Sesungguhnya Tuhanmu adalah Tuhan Esa.’” (al-Kahfi: 110).

Juga pernah suatu saat seorang Badui hendak menemui Muhammad Saw. Namun, ketika melihat wibawa beliau, ia ketakutan sehingga beliau bersabda, “Janganlah takut, aku hanyalah putra seorang perempuan yang makan (daging) dendeng di Makkah.”

Seperti manusia lain, beliau juga pernah sakit. Pernah beliau berbekam setelah mencicipi makanan yang dibubuhi racun oleh orang Yahudi di Khaibar. Nabi Saw. pula pernah kena sihir orang Yahudi, Labid ibn al-A’sham, sampai akhirnya Allah Swt. melindungi beliau dengan mewahyukan al-Falaq dan an-Nas.

Dalam al-Maghazi karya al-Waqidi, diceritakan bahwa ketika berunding untuk mempersiapkan Perang Badar, Nabi Saw. menyarankan agar pasukan Muslim mengambil posisi di tempat yang jauh dari sumur.

Namun, Hubab ibn al-Mundzir mengusulkan pindah ke tempat yang lebih dekat dengan sumur, dan beliau menerima usulan tersebut dengan legawa.

Begitulah sifat manusiawi Baginda Nabi Muhammad Saw. yang justru sama sekali tidak menodai citra kenabian dan tidak mengganggu tugas kerasulannya.

Nabi Muhammad Saw. memang manusia biasa tapi yang sungguh luar biasa. Karena beliau manusia yang sanggup memanusiawikan manusia. Beliau manusia biasa, tapi berkedudukan sebagai nabi dan rasul.

Walaupun, tidak hanya sekali beliau menegaskan agar kaum muslim tidak menempatkan beliau melebihi kedudukannya, sebagai manusia biasa yang mendapat wahyu dari Allah. “Jangan puji aku seperti Isa ibn Maryam.”

Namun demikian, tetap bahwa beliau adalah sosok manusia yang penuh keagungan, penuh kemuliaan. Beliau sedemikian percaya penuh kepada Allah.

Benar-benar Rasulullah Saw. teramat percaya kepada Allah, selalu tawakal kepada-Nya dalam segala situasi. Kepercayaannya teguh dan tak tergoyahkan sedikit pun.

Dari riwayat-riwayat jelas tertera, beliau tak pernah mengendurkan semangat meskipun menghadapi situasi yang sangat sulit dan memiriskan hati. Ketika kaum Quraisy mengepung beliau saat hijrah, Nabi dapat pergi dengan tenang melewati dan menjauhi mereka dan kemudian bersembunyi di gua Tsur.

Abu Bakar yang menemani sangat ketakutan bahwa keberadaan mereka akan diketahui. Tetapi sang Rasul Saw. menenangkannya bahwa Allah selalu bersama mereka. Allah akan menolong mereka. Dan tidak akan menganiaya mereka.

Keyakinan itu pun tampak pula dalam Perang Badar, Nabi Saw. menghimpun doa dengan sepenuh yakin bakal diberi perlindungan, diberi kemenangan. Dan benar adanya, kaum Muslim memenangi pertempuran di Badar, walau dalam jumlah yang tak seimbang.

Nah, jelaslah, watak utama Rasulullah adalah tak pernah mundur dari garis depan membela dan mempertahankan kebenaran dalam meyakini sepenuhnya akan Allah. Dan keteguhan Nabi Saw. dalam memegang kebenaran tergambar nyata dalam pernyataannya saat dibujuk kaum Quraisy untuk berhenti berdakwah.

Ketika itu kaum Quraisy mengirim duta kepada Abu Thalib dan membujuknya untuk menghentikan gerakan keponakannya.

Dan apa yang terjadi, tatkala Abu Thalib meminta Nabi untuk berhenti menyebar risalah kebenaran, justru dengan lantang beliau bersabda, “Demi Allah, wahai Paman, andai mereka menaruh matahari di tangan kananku, bulan di tangan kiriku agar aku mundur dari urusan ini, niscaya aku tidak akan mundur. Biarlah aku binasa karenanya, atau Allah memberiku kemenangan.”

Sekali lagi, memang sosok manusia biasa, tetapi Baginda Rasul begitu teguh memegang kebenaran. Baginda Saw. percaya penuh kepada Allah. 

Ya, hanyalah manusia biasa tapi sungguh tawakal dan penuh yakin kepada-Nya.

Nah, hari-hari ini, di mana skala kekerasan di Palestina yang kian brutal, tak kunjung mengendur, saya terusik untuk menyuntuki sejarah peperangan Rasulullah Saw.

Dan Al-Waqidi sedemikian terang merekam peperangan demi peperangan yang ditempuh Nabi Saw. bersama para sahabat, guna menegakkan keagungan Islam di mata dunia saat itu.

Meskipun ada banyak penulis Sirah Nabi, tetapi yang menulis tentang ekspedisi militer Rasulullah Saw. secara lengkap, setahu saya, adalah Muhammad bin Umar bin Waqidi (wafat 822 M), yang akrab disebut Al-Waqidi. Selain Al-Waqidi merupakan penggalan-penggalan singkat yang seolah berdiri sendiri, tidak berkait satu dengan yang lainnya.

Dari Al-Maghazi, kitab klasik karya Al-Waqidi, kita baca suatu rangkaian kegiatan militer dan politik dalam rangka penyebaran dan ekspansi kekuatan Islam. Sebagai satu kesatuan yang menjadi basis kekuatan penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia.

Mulai dari Perang Badar hingga berujung pada pembebasan Makkah, akan tampak sebagai satu kesatuan dengan perencanaan matang, bukan asal aksi reaktif seperti yang ditulis Mohamad Jebara dalam Muhammad the World Changer.

Pembebasan Makkah merupakan pintu utama bagi masuknya jazirah Arabia ke pangkuan Islam. bahwa seluruh jazirah Arab bergerak dalam satu barisan menuju Islam secara sukarela dan damai.

Namun, untuk masuk tahun berbondong-bondongnya penduduk Arab mengakui Islam, bukanlah jalan mudah. Rasulullah Saw. bekerja tiada henti seiring perencanaan dan strategi yang amat tinggi, serta perhitungan yang begitu akurat.

Kita telisik sekilas, misalnya, operasi-operasi sebelum pecah Perang Badar, sebagaimana terekam dalam Al-Maghazi Al-Waqidi. Pertama, operasi Saif Al-Bahr, Maret 623, dipimpin Hamzah bin Abdul Muthalib dengan kekuatan 35 orang. Operasi ini menyisir jalur pantai yang dilalui rombongan dagang Makkah 300 orang yang dipimpin Abu Jahal.

Kedua, operasi Rabigh, April 623, dipimpin Ubaidah bin Al-Harits bin Abdul Muthalib untuk melakukan pencegatan terhadap 200 orang rombongan Quraisy yang dipimpin Ikrimah bin Abu Jahal.

Ketiga, operasi Kharar, Mei 623, dipimpin Sa’d bin Abi Waqqash bersama 20 orang Muslimin untuk membuntuti rombongan dagang Quraisy hingga batas lembah Kharar.

Keempat, Perang Abwa, Agustus 623, dipimpin langsung Rasulullah Saw. untuk mencegat rombongan dagang Quraisy. Tidak ada kontak senjata. Dan beliau mengadakan perjanjian pertahanan dengan Bani Dhamrah.

Kelima, Perang Buwath, September 623, dipimpin oleh Rasulullah Saw. bersama 200 orang, dan Sa’d bin Abi Waqqash sebagai pemegang bendera. Sasaran mereka adalah rombongan dagang Quraisy yang dipimpin Umaiyah bin Khalaf berjumlah 100 orang dan 2500 ekor unta.

Keenam, Perang Badar pertama, September 623, Rasulullah Saw. mengejar gerombolan Kurz bin Jabir Al-Fihri yang merampok peternakan Madinah di Jamma’, sekitar 5,5 km tenggara Madinah. Pengejaran dilakukan sampai ke daerah Badar, mereka lolos dari kejaran, dan beliau kembali ke Madinah.

Ketujuh, Perang Dzatul ‘Usyairah. Rasulullah Saw. memimpin pasukannya bergerak ke Dzatul ‘Usyairah untuk mengadang rombongan dagang Quraisy yang kembali dari Syam. Mereka adalah rombongan yang dibuntuti pada Perang Buwath saat menuju Syam, tetapi tak terkejar. Tak terjadi kontak senjata, tetapi beliau berhasil mengadakan perjanjian pertahanan dengan Bani Mudlaj dan para sekutunya dari Bani Dhamrah.

Kedelapan, operasi Nakhlah, Januari 624. Nakhlah terletak di perbatasan utara Makkah. Operasi ini dipimpin Abdullah bin Jahsy, dan turut bersamanya Ukasyah bin Muhsin, Waqid bin Abdullah, Utbah bin Ghazwan, dan Sa’d bin Abi Waqqash. Dalam misi ini, Rasulullah Saw. tak memerintahkan perang, tetapi kontak senjata tak terelakkan. Kontak senjata di Nakhlah tersebut merupakan pendahuluan menuju Perang Badar.

Nah, dari delapan serangkaian itu diketahui ada empat operasi pengintaian: Saif Al-Bhar, Rabigh, Kharar, dan Nakhlah. Dan empat operasi penyerbuan: Abwa, Buwath, pengejaran gerombolan Kurz Al-Fihri, dan Dzatul ‘Usyairah.

Kemudian, enam di antaranya dimaksudkan untuk mengamankan perbatasan Madinah dan pendekatan terhadap suku-suku Arab yang bermukim di sekitar perbatasan terutama suku Dhamrah. Dua operasi lainnya sebagai pemantauan dan pengejaran gerombolan perampok.

Rasulullah Saw. pun tampak berasa perlu memimpin langsung operasi pengejaran, karena beliau sangat concern dengan keamanan perbatasan dan pusat-pusat logistik Madinah. Begitu mendengar ada perampokan, beliau langsung bergerak bersama beberapa orang yang ada saat itu untuk segera melakukan pengejaran.

Juga dari delapan rangkaian tersebut terbaca bahwa misi beliau diarahkan untuk menguasai pesisir laut di sebelah barat (Saif Al-Bahr). Yakni mengikuti jalur perdagangan dengan tujuan meyakinkan suku-suku yang bermukim sekitar wilayah tersebut akan pentingnya bergabung ke dalam perjanjian Madinah.

Hal itu nyata, Rasulullah Saw. paham betul bahwa saat itu Quraisy merupakan penguasa yang tak tersaingi di wilayah-wilayah tersebut.

Beliau juga paham misi membangun masyarakat baru berdasar risalah yang diemban, suatu sistem kehidupan bermasyarakat yang belum pernah dikenal oleh bangsa Arab dan bangsa-bangsa mana pun. Yakni sistem kesatuan umat yang bersaudara dengan kedudukan sama dalam struktur sosial, harga diri, dan tanggung jawab tanpa menghapus loyalitas kesukuan.

Dan menuju ke sana, Rasulullah Saw. tak berpangku tangan mengandalkan keajaiban. Bahwa sekali lagi beliau bekerja tiada henti seiring perencanaan dan strategi jitu, serta perhitungan akurat.

Ungaran, 7 September 2024

Baca juga: The World Changer

Post a Comment

2 Comments