Suka Menghitung Musibah, Lupa Nikmat

Masih dari pengajian tafsir tematik di Masjid Baitussalam, Ungaran. Adalah Ustadz Baedhowi mengetengahkan adanya fakta bahwa musibah tidak lebih banyak ketimbang kenikmatan. Namun, perilaku kebanyakan manusia menunjukkan, mereka justru gemar mengingat musibah dan melupakan nikmat. 

Persis dengan ungkapan Imam Hasan Bashri atas surah Al-Adiyat ayat 6, "Sungguh, manusia itu sangat ingkar, (tidak bersyukur) kepada Tuhannya." Sang Imam memaknai “kanud” dalam ayat tersebut adalah, “manusia itu terus menghitung-hitung musibah, tetapi melupakan betapa banyak nikmat yang telah Allah beri.”

Gambaran manusia yang sudah mati rohaninya. Yang tak pernah berterima kasih kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta dan Maha Menghidupkan. Yang tak bersyukur kepada Tuhan yang setiap saat memberi berkah dan karunia kepada umat manusia.

Orang yang mati rohani akan dengan gampang melupakan atau mengingkari Tuhan dan segala kebaikan-Nya, dengan menyalahgunakan pemberian-Nya, atau menyakiti sesama makhluk.

Ustadz Baedhowi menjelaskan riwayat ayat tersebut yang membahas perilaku orang kafir, yakni membahas Walid bin Mughirah yang memang terbukti kafir. Kemudian ia membedah sifat-sifat kanud ini, yang merupakan tipikal orang kafir.

Pertama, Allah Swt. menandaskan, “Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu ….” (Al-Baqarah:122).

Allah Swt. menasihati kaum Yahudi yang hidup di masa turunnya Al-Qur'an, dan mengingatkan mereka akan berbagai nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada para leluhur mereka. Allah Ta’ala menyelamatkan mereka dari cengkeraman Fir’aun, menurunkan manna dan salwa, mengutus para rasul dari kalangan mereka, dan sebagainya. 

Namun, sejarah mencatat perilaku buruk kaum Yahudi pada masa Rasulullah Saw. Betapa mereka mengufuri nikmat dan tidak mensyukurinya. Dan kenyataan, watak itu pun bercokol pula dalam diri kaum Muslim. Kita yang muslim kerap enggan membiasakan diri untuk mensyukuri nikmat. Kita sedemikian gampang hanyut pada apa yang dilakukan, sehingga sulit untuk berpikir positif terhadap sesuatu (kenikmatan) yang telah berlalu. Kita lalai dengan kenikmatan. Kita mengingkarinya.

Kedua, dalam surah Adh-Dhuha, Nabi Muhammad Saw. pun diingatkan akan nikmat Allah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, dan seterusnya, tapi kemudian Allah membanggakan Nabi Muhammd Saw. dengan menempatkannya di puncak keagungan makhluk-Nya. 

Ketiga, Rasulullah Saw. mengkritik orang yang tidak pandai mensyukuri nikmat. Dari peristiwa Isra-Mi’raj, Nabi Saw. mengalami pengalaman spiritual. Beliau melihat bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah kaum wanita yang tidak mensyukuri nikmat dari suaminya. Hal ini bukan bias gender, tapi perilaku mengufuri nikmat, entah kaum laki-laki, entah perempuan, sama saja. Bahwa setiap mendapatkan kenikmatan, ia justru menjadi lalai, hatinya keras, dan wataknya menjadi angkuh.

Dan Nabi Saw. mengingatkan, ada dua kenikmatan, tapi kebanyakan kita lagi-lagi memilih kufur nikmat, sebagaimana sabda beliau, “Ada dua nikmat yang manusia sering lalai, yakni nikmat sehat dan sempat.”

Dari situ pula, kita patut belajar dari Nabi Ayub a.s. Beliau mendapat ujian bertubi-tubi, tetapi dalam benaknya tetap yang terpatri adalah kenikmatan-kenikmatan dari Allah. Beliau sabar menerima keputusan “musibah” dari Allah, apa pun itu. Lantaran, yang beliau ingat adalah nikmat-nikmat sebelumnya. Bukan meratapi musibah.

Nah, sebetulnya tipikal kanud itu adalah sifat dan perilaku orang kafir. Namun demikian, kita perlu waspada. Tatkala susah, jangan diingat-ingat, tetapi disabari. Memang nalar tidak begitu saja terima, tetapi iman yang bersemayam di hati mesti kita naikkan. Kita bersegera menyadari bahwa tetap ada nikmat di balik sesuatu.

Sebab sekali lagi, kanud merupakan perilaku yang suka mengingat-ingat musibah dan melupakan kenikmatan. Mengufuri nikmat, dan tidak mensyukurinya. Lebih suka ingkar, dan enggan bersyukur. Dan sebagai Muslim, otak bawah sadar ini mesti segera di-install: yang begini ini tidak boleh!

Muncul pertanyaan, kenapa kita mesti dikasih musibah? Dan, bagaimana supaya tidak masuk golongan kanud?

Perlu dipahami, terang sang ustadz, musibah itu sunnatullah. Musibah adalah bagian dari hidup manusia. Musibah merupakan kehidupan itu sendiri.

Allah Swt. berfirman, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155). 

Jelas bahwa Allah Swt. pasti akan menguji, mengirim bala kepada umat manusia. Maka, dalam urusan dunia seyogianya biasa saja. Kita jangan kaget, karena dunia merupakan permainan, dan musibah bagian dari itu.

Terus, supaya terhindar dari virus kanud, kita mesti menata mindset, bahwa sesungguhnya musibah hanyalah persepsi. Maka, tak bisa tidak, kita harus berilmu. 

Merujuk surah Al-Baqarah di atas, sedianya sadar bahwa Allah pasti mendatangkan rasa takut. Allah menguji dengan bencana kelaparan, kekurangan harta, dan seterusnya. 

Artinya, musibah itu pasti. Maka, sedari kini kita latih untuk memperkecil nilai dunia, tidak mementingkan ego duniawi, dan tidak memanjakannya. 

Walhasil, kita tata mindset. Bahwa benih kanud itu jangan sampai dipupuk. Karena sesuai tabiatnya, manusia itu pastilah mengufuri kenikmatan, sering mengingkarinya dan tidak mengakui hal yang mengharuskannya untuk bersyukur kepada Allah Swt.

Padahal, sedianya kita waspada bahwa "Sungguh manusia tak bersyukur kepada Tuhannya," (Al-‘Adiyat: 6). 

Demikian yang saya tangkap dari paparan Al-Ustadz Baedhowi pada 26 Agustus 2024.

Ungaran, 10 September 2024

Baca juga: Sakratulmaut

Post a Comment

0 Comments