Sekolah atau Mondok

 

“Jadi kita sepakat.” 

“Sebentar, jawab dulu pertanyaan Bunda: kenapa Isa perlu mondok?”

Ah! Ditanya malah balik bertanya. Kebiasaan mempersulit masalah. “Ya, memang saatnya mondok kan!” aku jawab sekenanya. Terus terang aku belum siap dengan pertanyaan itu. Perlu perenungan lebih dalam. Padahal aku tak biasa memikirkan pertanyaan-pertanyaan "mengapa". Sementara istriku hobi sekali. Hobi mempersulit diri.

“Nah, kan! Ayah sendiri enggak jelas. Enggak punya konsep. Ingat lho, Ayah enggak boleh main-main! Isa itu tititpan Tuhan, bukan milik kita.”

“Ya, kalau itu Ayah paham.”

“Kalau sudah paham, mestinya enggak sembaranganlah memilihkan Isa mau belajar di mana?”

“Lah, dimasukkan ke pondok kan tak asal memasrahkan ia belajar di mana?”

Sesaat kami terdiam. Lagi-lagi kebiasaan istriku. Masih pagi telah mengajak debat. Memang aku kesulitan menemukan titik temu dengan istri kalau menyangkut pendidikan anak. Aku lirik jam di dinding. Masya Allah! Sudah setengah tujuh pagi. Aku harus siap-siap ke Masjid Istiqomah. Hari Minggu pekan ketiga adalah jadwal rutin pengajian bersama Ustadz Badawi. Aku memilih ke Istiqomah, meski rada kantuk, karena begadang semalam, jadwal ronda soalnya. 

***

Di masjid sudah banyak jamaah pengajian menempatkan diri. Ada yang di bawah pohon, di emperan ruko, dan di sebelah payung-payung darurat. Dan aku memilih duduk bersandar di tiang pojok masjid, di bawah kipas angin. Mungkin karena sepoi dari luar masjid, dan dudukku yang persis di bawah pendingin itu, aku pun tak kuasa menahan kantuk.

Samar-samar dan kian jelas, tampak seorang ibu melepas kepergian anaknya yang masih bayi. Sang ibu itu tak sanggup membendung air mata, berkali-kali mengusapnya. 

Aku mendekat dan akhirnya tahu, ia harus menyerahkan anak tunggal kesayangannya itu yang hanya setelah beberapa bulan bersamanya. Bocahnya yang terang masih bayi, terlahir yatim lantaran suaminya meninggal dalam perjalanan dagang di negeri orang. Sang mertua, kepala suku dan sangat disegani kaumnya, merangkul si ibu bayi agar ikhlas melepas demi kebaikan putra semata wayangnya.

Ibu itu menerawang dengan sembab yang terus merinai, menatap rombongan kecil, terdiri suami-istri dan satu anak, berkendara keledai kurus dan unta yang juga kurus, kini ditambah beban satu bayi mungilnya, terus menjauh dari kota, menembus badai pasir yang kian pekat dan sunyi.

Aku pun mengikuti mereka dari jarak yang lumayan, sebelum akhirnya turut tinggal bersama mereka. Sang suami menuntun keledai, mungkin tak tega karena kurusnya, sehingga tidak terus-terusan menungganginya. Sedang si istri tengah mendekap dua bocah, tetap di dalam sekedup di punggung unta, berjalan tersuruk-suruk, mengiring keledai yang dituntun si suami.

Waktu pun berjalan cepat. Aku turut serta tinggal bersama bocah kota itu selama lima tahun di perkampungan Bani Sa’d. Ya betul, tahu-tahu sudah lima tahun aku turut membersamai bocah itu menghirup kehidupan gurun yang belum tercemari oleh desakan akan kebutuhan menaikkan neraca timbangan. Kebutuhan akan laba dan perdagangan. 

Aku termangu dan terbit perasaan tak tega, bocah kecil itu menghabiskan hari-harinya bersama kaum Badui. Jauh dari kota, tempat tinggal aslinya. Jauh dari keluarga besar yang mestinya membesarkannya. Jauh dari saudara dan kawan karib, teman seiring bermain di halaman rumah, atau pekarangan luas.

Ia kini bersahabat karib dengan deru angin, debu-debu halus beterbangan, yang meliuk-liuk dan membentuk pusaran yang bergerak tak tentu arah. Ia akrab dengan suara gemuruh gurun yang bak paduan suara milyaran serangga. Padahal, aku yang dewasa saja tak sanggup bertahan di tengah gurun, terlebih memang di negeriku tidak ada gurun.

Tetapi, barangkali kemurnian gurunlah yang membentuk bocah itu untuk tidak bermanja diri. Ia memakan menu sebagaimana yang dimakan suku Badui: menu sederhana untuk cara hidup yang juga sederhana. Tiada kemewahan, tapi justru merupakan kehidupan yang sehat.

Di gurun tersebut, aku melihat bocah itu belajar tentang kekuatan alam dan seni hidup. Bagaimana mengukur waktu yang tepat untuk berpindah dari musim dingin ke musim panas. Bagaimana mengatur tenda agar bisa menyesuaikan suhu, baik siang maupun malam. Atau bagaimana menemukan air di tempat yang tampaknya tidak ada air.

Bocah itu, sungguh masih berusia lima tahun, terlatih mahir dengan tangannya sendiri untuk menangani unta-unta. Ayah angkatnya, aku tahu kemudian namanya Harits, acap mengawasinya dari kejauhan, dan akan dengan sigap mendekap tatkala bocah itu terjerumus kubangan pasir, atau tergelincir, dan jatuh.

Sang ibu angkat, yang juga kukenal kemudian namanya Halimah, makin sayang padanya. Putra angkatnya itu mendapat perhatian penuh kasih seorang ibu. Masih jelas dalam benakku, dua tahun awal, Halimah membawanya ke mana-mana. Dia menggendong bayi itu di punggungnya sembari bekerja mengurus hewan ternak, menenun kain untuk dijadikan tenda, mempersiapkan makanan, mengumpulkan kayu bakar dan air. 

Setelah bisa berjalan, bocah kecil itu tertatih-tatih membawa kendi berisi air dari sumur, mengikuti Halimah meletakkan kendi di kepala. Saat malam, ia ikut duduk-duduk di sebelah kakak angkatnya, Hudzafah, menunggui api unggun sembari memandang langit yang bertabur bintang. 

Lain saat, kerap aku saksikan bocah kecil itu dengan sabar menunggu di dekat sumur selagi unta-unta minum seolah tanpa henti. Ia menahan kantuk saat berjaga malam, menjaga kawanan ternak itu dari endusan singa gunung yang berkeliaran diam-diam di dekatnya.

Bocah itu, lagi-lagi, tampak suka memandang atap bertatakan bintang-gemintang yang mahaluas. Dan bersama saudara-saudara sesusuan, ia bermain bebas di padang pasir. Ia bermanja di hadapan kakak angkatnya, Syayma. Tapi juga siap sebagai pekerja tekun sebagaimana bocah-bocah Badui yang lain. Sungguh bertolak belakang dengan kehidupan yang dialami Isa dan kawan-kawan sebayanya di kompleks perumahan, yang lebih mengasyiki game online, dan tak peduli dengan pekerjaan rumahan.

Ah, pagi ini, persisnya menjelang siang, sendiri dalam tenda aku hanya tidur-tiduran. Malas rasanya untuk mengikuti irama perkampungan yang sangat jauh dengan gaya hidup di negeri tenggara Asia sana. Di sini, acap kali harus berpindah tempat, menyesuaikan keadaan gurun pasir. Keadaan air. Dan kapan badai gurun. Aku sendiri tidak tahu persis bagaimana cara membaca cuaca gurun, padahal sudah lima tahun turut menjejakkan kaki di sini. Melancong jauh meninggalkan keluarga dan handai taulan.  

Tetiba, “Om, Om… ayo, Om! Kasihan anak kota itu. Ia dibawa dua pria aneh. Mereka meringkus Muhammad yang meronta-ronta.” Abdullah, saudara sesusuan bocah kota itu menarik-narik lenganku.

Sontak aku terperanjat. Tergugah, dan ternyata ruangan masjid nyaris sepi. “Ha ha ha…Njenengan angler olehe sare, Pak.” tawa bapak membangunkanku. “Pengajianipun sampun kelar.” lanjutnya. 

***

Hari-hari ini, berada di rumah serasa sumpek. Apalagi malam hari. Para tetangga pada berkumpul di teras rumahku. Teras yang sebetulnya kecil. Namun karena tak berpagar, bapak-bapak kompleks suka menghabiskan senja dan malam di sini. Mengobrol santai terutama soal anak-anak. Tentang kenakalan dan sekolah mereka. Tentang cita-cita atas anak-anak. Tentang masa depan dan koneksi lapangan kerja. Sementara aku, hanya diam mendengarkan obrolan mereka. Ya, sampai hari ini anakku belum jelas akan di mana. 

“Kalau saya sudah mantap dengan Assalam lho.” kata Roby, tetangga depan rumah. “Bebas dari aturan zonasi pokoknya.”

“Sama, Pak. Malah Mamanya Rian juga berencana, setelah lulus SMP langsung diteruskan ke SMA Assalam.” timpal Pak Wanto.

“Al-Qomah juga bagus kok!” sahut Pongky tak mau kalah.

Riuh mereka berceloteh. SMP Assalam bagus. Al-Qomah juga. Aku tertarik. Namun, hati kecilku masih yakin bahwa kedua lembaga sekolah itu kurang manusiawi. Sekolahnya robot, kata Munif Chatib. Malah ada yang menyebut, sekolah para bebek. Namun, istriku tak sepaham. Ia masih melihat tetap ada sisi positif dari lembaga persekolahan. 

Sementara aku memandang, lembaga pesantren, di mana anak nge-camp dua puluh empat jam bersama kiai, jauh lebih baik ketimbang sehari-hari di rumah bareng orangtua. Anak dipasrahkan dan hidup berjarak dari lingkungan keluarga besarnya. Ya, mirip bunga tidurku kemarinlah, bahwa saat Nabi masih kecil pun diasuh oleh Halimah, tinggal jauh dari kota Makkah. 

Bapak-bapak itu masih betah mengobral sekolah di serambi rumahku. Tuhan! Aku pengin memondokkan Isa. Tapi Rahma tak setuju. Dan provokasi obrolan para bapak ini, pasti terdengar pula oleh Rahma, dan akan jadi amunisi untuk mengoceh, sepeninggal mereka nanti. Rahma pasti akan memetakan SMP-SMP swasta di sekitar Ungaran. Atau sekolah alam. 

Ya, kalau sekolah alam agak mendekati apa yang menjadi dambaanku. Namun biayanya mahal. Tak ada armada antar-jemput. Dan jaraknya pun sangat jauh dari rumahku. Aku tak yakin istriku sedia mengantar, selagi aku ke luar kota. 

“Ayah! Isa sekolah bareng Yardan ya? SMP Al-Burhan.” tiba-tiba, anakku berteriak dari halaman. Membuyarkan lamunanku dan memecah keriuhan bapak-bapak.

Ungaran, 19 September 2024

Baca juga: Tak Kehilangan Inti

Post a Comment

0 Comments