Bersahaja. Ya, tampak bersahaja lantaran tak banyak orang. Dan memang seperti sunnatullah, yang bergiat dalam komunitas literasi tidak akan lebih dari sepuluh orang. Misalkan lebih, pun maksimal 15 hingga 20 orang. Padahal, dalam daftar banyak anggota, di atas 50 orang.
Syahdan, kami berkumpul di ruang Audiovisual Perpustakaan Daerah Kabupaten Semarang, Ungaran. Kami yang berhimpun dalam Keluarga Literasi Ungaran (Kelingan), lagi-lagi yang bergiat tidak banyak, bikin Reading Class with Kelingan dengan menu utama bedah cerpen.
Format Reading Class ini saya adaptasi—walau tak sepenuhnya, karena toh di sana sini banyak polesannya—dari pengalaman Reading Group Sigit Susanto di Swiss. Dalam bukunya, Menyusuri Lorong-Lorong Dunia Jilid 2, Sigit menceritakan metode belajar sastra di belahan Eropa, Swiss, yang bak siput sawah. Ia sebut demikian, karena superlelet. Metode Reading Group adalah membaca novel bersama yang tak bersegera cepat tamat. Suatu format baca untuk melawan arus budaya yang serba cepat.
Saat itu, novel yang dibaca adalah Ulysses karya James Joyce setebal 600-an halaman dikhatamkan selama tiga tahun. Pembacaan yang sangat teliti dan jeli. Mengupas detail dari kalimat ke kalimat. Menyisir makna-makna.
Konsep membaca bersama di situ, bukan berarti membaca bergiliran satu per satu, melainkan masing-masing menyimak, dan mencoba memahami isi teks yang dibacakan oleh Fritz Senn, pakar Joyce di Yayasan James Joyce. Dalam konteks Kelingan, yang berlaku sebagai Fritz Senn adalah si penulis cerpen.
Sebuah proses pembacaan yang tak biasa. Bagaimana tidak, dari kalimat ke kalimat yang dikupas, mengandaikan adanya lalu lintas tanya jawab yang makin mempertajam pendalaman. Sigit memerincinya, pertama mendengarkan cerita dari CD, kedua dibaca teksnya, dan ketiga dibahas kembali secara detail.
Namun, dalam praktiknya, Reading Class with Kelingan tidak seberat seperti yang diselenggarakan Yayasan James Joyce. Mereka mengkaji novel, sedangkan Kelingan membedah cerpen. Di sana mereka membaca lambat, sementara di sini membaca secara cepat. Singkatnya, Reading Class belum sampai tahap pembacaan teks yang sedemikian teliti dan jeli, sebagaimana Reading Group.
Hanya saya meyakini, paling tidak dengan kelas membaca cerpen ini, yang diikuti oleh tidak banyak orang, pembacaan akan berlangsung cepat dan dengan keterlibatan penuh peserta kelas. Bahwa dengan memadatkan pembacaan cerita, dengan sesedikit mungkin waktu, besar harapan bahwa Keluarga Literasi Ungaran merupakan wadah yang menjadikan kegiatan membaca sebagai tradisi yang sedianya dipertahankan.
Saya berandai, dengan Reading Class with Kelingan, yang hadir menyadari bahwa bersungguh-sungguh membaca juga dapat memuaskan perasaan terhadap peristiwa-peristiwa dan karakter-karakter, siapa pun yang dihadapi. Sehingga legawa melihat keadaan.
Jadi, sedikit berbalik dari semangat Reading Group yang diselenggarakan Yayasan James Joyce, Reading Class yang dibawa Kelingan justru bersiteguh, “bacalah secara cepat dan dengan keterlibatan penuh”.
Kelingan mengidealkan, sebuah cerita harus dibaca hanya pada satu waktu, walaupun untuk novel yang panjang. Cuma untuk novel yang panjang, hampir tidak mungkin dibacakan dalam kelas membaca oleh punggawa Kelingan yang rata-rata sibuk, maka dipilihlah cerpen. Jadilah, Reading Class with Kelingan adalah membaca bersama cerpen-cerpen karya internal anggota Kelingan. Hal ini dimaksudkan untuk mengasah, sekaligus meningkatkan jam terbang menulis.
Nah, Reading Class with Kelingan edisi pertama, membedah cerpen karya Arie dan Alwi Hamidah, kebetulan keduanya merupakan Tim Inti Kelingan.
Arie dengan syahdu, membacakan Aku Salah. Lantas saya dan yang lain mendadak berasa sebagai murid yang kudu takzim, tak sekadar mendengarkan, tak hanya menyimak, tapi mencoba memahami. Bahkan turut hadir, masuk dalam imajinasi penulis. Ada yang menyadari sebagai pengamat, bahkan ada yang jadi anggota keluarga si tokoh-tokoh, bersedia berteman dengan karakter-karakternya, hingga bersimpatik dan mampu terlibat dalam peristiwa-peristiwanya.
Sepuluh menitan teks cerpen dibaca. Berikutnya, proses penajaman. Satu per satu bergiliran mengomentari isi cerpen. Macam-macam, ada yang mengungkap perasaan haru, menilai perilaku seperti apa yang mesti dilakukan terhadap penderitaan hati sang tokoh, mengamati tanda baca, gaya penulisan, dan seterusnya.
Cerpen kedua, Gang Maut, karya Alwi Hamidah. Berbeda dengan Arie, Hamidah membacakan cerpen dengan suara yang lebih tegas.
Lagi-lagi saya dan yang lain terlibat dalam cerita yang sunggup naratif itu. Malahan saya sendiri tergoda untuk mencerna, cerita dari Hamidah ini masuk akal tidak? Bagaimana coba, sedari awal Hamidah langsung menguras emosi pembaca. Cerita yang sungguh dramatik.
Berbeda dengan Arie, mungkin karena lebih panjang sehingga saya sempat resah menyimak Salah Aku seperti tidak jelas sejak awal. Sebenarnya, cerita apik itu memang tidak harus jelas, bukan. Tetapi, Hamidah, dengan fiksi mininya, langsung menggedor perasaan. Urut-urutan aksinya, kejadian demi kejadian bikin geregetan. Hingga di akhir cerita, o …ternyata.
Walhasil, membedah dua cerpen itu, setidaknya saya menangkap bahwa pikiran tak sadar kita pun mesti terpuaskan. Saat membahas tokoh, ketahuan bahwa kita lebih menyukai atau tidak menyukainya tanpa selalu yakin kenapa. Dan sepertinya tidak harus terjelaskan, mengapa kita suka atau tidak suka.
Dan pada akhirnya, kita sadar bahwa kehidupan yang kita alami ini adalah kebenaran. Sepenuhnya hadir lantaran kehendak-Nya. Hanya cara pandang kita yang acap mengalihkannya sebagai masalah. Kita terjebak memandang saat ini dengan mengaca masa lalu. Dengan parameter yang sudah terkubur waktu.
Begitulah. Kelingan yang bersahaja bikin kelas membaca cerpen: Reading Class with Kelingan.
Ungaran, 18 September 2024
1 Comments
Mantap dan lengkap ulasannya. Bikin saya terkesima. Sayang, saya nggak bisa hadir karena kesibukan. Salam sukses buat semuanya. Salam Literasi.
ReplyDelete