Sakratulmaut

 

Tiap Senin malam pekan kedua dan keempat, saya hadir di pengajian yang diampu Ustadz Baedhowi di Masjid Baitussalam, Ungaran.

Banyak yang hadir, dan mereka pun antusias menyimak tentunya. Pertanda, kajian agama masih ada tempat di hati khalayak Ungaran. 

Sebagai kota kecil, yang terkenal dengan deretan warung kuliner di sepanjang jalan protokolnya, ternyata tetap menyisakan adanya gerakan untuk mengkaji kitab-kitab agama di sela warung-warung tersebut. Persisnya dari masjid ke masjid yang kukuh berdiri di antara aneka tempat kuliner, bergema kajian-kajian yang mendaras dan memaknai kedalaman isi kitab.

Nah, sebagaimana biasa pula, dalam pengajian tersebut, 12 Agustus 2024, saya mencatat beberapa hal penting. 

Sang ustadz memaparkan betapa manusia, siapa pun dia, pasti akan mati. Dan menjelang kematian, ia mengalami sekarat, kesulitan-kesulitan atau rasa pedih yang tak terkira yang lazim disebut “sakratulmaut”. “Sakara” dalam bahasa Arab berarti mabuk, atau tidak ingat apa-apa.

Berikutnya, dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang menjelaskan hal itu.

Dan datanglah sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari.” (Qaf: 19).

…(Alangkah ngerinya) sekiranya engkau melihat pada waktu orang-orang zalim (berada) dalam kesakitan sakratulmaut, ….” (Al-An’am: 93).

Maka kalau begitu mengapa (tidak mencegah) ketika (nyawa) telah sampai di kerongkongan.” (Al-Waqi’ah: 83).

Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (Al-Qiyamah: 36).

Merujuk ayat-ayat tersebut, apakah kaum mukmin juga akan mengalami penderitaan sakratulmaut?

Dalam sebuah riwayat dituturkan, Rasulullah Saw. menjelang wafat, memasukkan tangan ke dalam bejana kecil berisi air, membasuh muka seraya berkata, “Laa ilaaha illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki sakratulmaut.” 

Hal itu menandakan betapa rasa sakit saat detik-detik terakhir beliau. Artinya, beliau pun mengalami sakratulmaut. 

Pelajarannya, menurut Ustadz Baedhowi, terutama buat kita hari-hari ini, agar tidak terlampau percaya diri dengan amal-amal kebajikan yang sesungguhnya tak seberapa ini. Sebab kita acap kali over pede dengan amal saleh, yang diandaikan telah cukup akan jadi modal menghadapi senjakala kematian. Padahal amal kita masih teramat sangat sedikit, yang berbanding terbalik dengan dosa yang kian menumpuk. 

Namun, tuturnya, mengenai dosa, apa pun dosa itu, sekira kita berusaha tentu akan dibersihkan. Dan ada skenario Allah Swt. terkait pencucian dosa.

Pertama, didatangkanlah musibah menjelang kematian. Maka, kerap kita saksikan justru kaum beriman matinya dipersulit. Sebaliknya, orang-orang kafir yang berbuat baik, matinya dipermudah.

Lagi-lagi ini pelajaran, kita dituntut husnuzan tatkala saudara kita kaum mukmin tengah melewati detik-detik terakhirnya, justru dalam kondisi tak berdaya di atas ranjang bertahun-tahun. Kita mesti berbaik sangka bahwa Allah telah membersihkan dosa si mukmin tersebut. Ini pula merupakan pencucian dosa yang tidak terlambat, karena masih di dunia, atau sebelum mati.

Kedua, pencucian dosa yang berlangsung di alam kubur. Maksudnya, karena dosa-dosa tertentu, orang tersebut akan mendapat siksaan di alam kubur. Dan ketiga, sekiranya tak cukup di alam barzakh, saking menumpuknya dosa, akan dibersihkan di neraka. 

Kedua skenario pencucian dosa tersebut, baik di alam barzakh maupun di akhirat, termasuk yang sudah terlambat. Dan penderitaan yang dialami pun akan jauh lebih dahsyat ketimbang saat di dunia.

Maka, mumpung masih hidup di dunia, kita tingkatkan kuantitas dan kualitas amal kebajikan. Perbaiki yang wajib, dan perbanyak yang sunah. Artinya, kita kerjakan segala yang bersifat kewajiban itu dengan serius, dengan tenanan, dengan yang terbaik. Serta kita kerjakan amalan sunah sebanyak-banyaknya. Jangan sampai, amalan sunah kita perlakukan sebagai wajib, kita kerjakan sedemikian rupa sungguh-sungguh. Sementara yang wajib malahan disepelekan.

Kemudian, kita juga jangan gegabah dengan doktrin bahwa Allah Maha Pengampun, yakni mengikuti cara setan menipu manusia dengan melalaikan dosa-dosa. Seolah, kita bebas melenggang dalam lumpur dosa karena yakin akan diampuni-Nya.

Padahal, pertanyaan mendasarnya, layakkah kita memperoleh pengampunan-Nya? 

Inilah pentingnya, Al-Ustadz mengingatkan, sekiranya kita patut mencurigai segala gerak-gerik kita sendiri, yang barangkali masih terselip noda yang luput dari perhatian. Karena yang jelas, kita akan mati, dan akan mengalami sakratulmaut.  

Berikut, ada tiga pertanyaan dari salah satu jamaah pengajian. Pertama, bagaimana cara mentalqin yang benar? Kedua, apakah kita bisa mengetahui kapan mati? Ketiga, apakah yang sering baca Al-Quran, Al-Quran akan menemani di alam kubur?

Tanggapan dari Ustadz, pertama, talqin atau ajarilah yang sedang sakratulmaut dengan la ilaha illallah. Soal bagaimana yang benar dalam men-talqin, lihat siapa objeknya. Kalau orang yang di-talqin sudah membaca sebaiknya tidak diulangi lagi.

Kedua, ada rule: manusia tidak tahu apa yang dilakukan besok, dan tidak tahu di mana akan mati. Jadi kalau ada manusia biasa yang mendaku tahu kapan mati, dan ternyata benar, itu kebetulan saja. Ndilalah pas. Sebab, kematian adalah rahasia. Dan rahasia ini, hanya yang dikehendaki Allah saja yang mengetahui, para wali, contohnya. Artinya, kemungkinan kita tahu akan mati, kemungkinannya sangatlah kecil.

Ketiga, ya, sekiranya kita di dunia menjadi sahabat Al-Quran, niscaya Al-Quran akan menemani kita di mana pun berada, termasuk di alam kubur. Maka, sekali lagi, mumpung kita masih berkesempatan menghirup udara segar di muka bumi, kita benar-benar menjadikan Al-Quran sebagai bacaan utama. Kita tunjukkan pada semesta bahwa kita serius menempatkan kitab tersebut sebagai menu utama dalam mengisi album literasi harian.

Begitulah, saat itu, paparan dari Al-Ustadz mengenai sakratulmaut.

Ungaran, 3 September 2024

Post a Comment

0 Comments