Jadilah, kami berdua membunuh waktu malam Minggu dengan menyusuri kisah Sultan Sulaiman, sang kaisar Ottoman. Malam Minggu ini juga jadwal nobar anak-anak kami di pondok mereka di Bogor, tapi entah film apa yang mereka tonton, kami tak tahu.
“Ayah pasti langsung melotot begitu Hurrem tampil.”
“Ya iyalah, masak tidak. He he he ….”
Padahal, yang disebut istriku itu tidak menarik bagi diriku. Hurrem, atau yang lain seperti Gulfem, Mahidevran, atau pun Nigar Kalfa, tidak lagi menggairahkan semangatku. Aku lebih fokus pada sosok Sulaiman, sosok luar biasa yang dikesankan bak diktator. Melihat Sulaiman langsung tersambung dengan model kekuasaan Muawiyyah yang berhasil mengubah bentuk kepemimpinan Khulafaurrasyidin menjadi sistem kerajaan yang dinasti.
Terlebih di tangan Sultan Sulaiman, Kekhalifahan Turki Utsmani menjelma sebagai negara adikuasa pada abad ke-16 M. Kerajaan Ottoman itu sedemikian ditakuti oleh kerajaan-kerajaan di belahan Eropa, seperti Hongaria, Beograd, dan Austria. Beliau dijuluki Sulaiman Agung, Solomon the Great, ya, mirip penguasa Macedonia, Alexander the Great, abad ke-3 SM.
Namun, sosok Sulaiman yang diceritakan dalam film ini sangatlah berkuasa alias fasis. Cukup mengganggu bagi nalarku, lebih-lebih digambarkan sebagai laki-laki yang gila perempuan. Sosok raja yang gampang saja menunjuk siapa yang bakal menemaninya tidur.
Selagi istriku khusyuk menikmati intrik-intrik politik dalam istana Ottoman, aku justru terbayang dengan keagungan Baginda Rasul Muhammad Saw.
Menyaksikan sosok Sultan Sulaiman, yang menjadi representasi Islam abad ke-16, justru pikiranku berkelebat ke sosok manusia yang teramat manusiawi di abad ke-6 M. Apalagi memang, rasa-rasanya mustahil untuk meniru gaya hidup Sulaiman yang digambarkan suka mengancam tidak hanya terhadap mereka yang mengacungkan pedang padanya, tetapi terhadap siapa saja yang sekadar bersilang pendapat. Sampai-sampai anaknya sendiri, Mustafa, dibunuh, karena dicurigai bakal menggusur kebesarannya.
Sungguh jauh dengan Muhammad Saw. Ya, sosok Muhammad Saw, oleh Tuhan, Allah Ta'ala, ditunjuk sebagai role model sejak abad VI hingga akhir zaman. Beliau dilahirkan sebagaimana lazimnya semua manusia dilahirkan, lalu melewati masa kanak-kanak dan remaja. Beliau pun menikah, dan merasakan seperti yang dirasakan semua orang berupa kesedihan dan kegembiraan.
Beliau sedih tatkala kehilangan istri dan anak. Atau saat belia, beliau merasa sedih seperti kesedihan yang dirasakan anak-anak yatim-piatu.
Beliau juga merasakan kemenangan pada Perang Badar dan Fathu Makkah, pun merasakan kekalahan pada Perang Uhud.
Namun, justru itulah kebesaran Rasulullah Saw. Kebesarannya adalah keagungan, karena beliau itu manusia. Ayat-ayat Al-Quran menyebutkannya di lebih dari satu tempat, tiada lain supaya umat manusia bisa bersikap seperti beliau. Menjadikan beliau sebagai role model.
Bayangkan, bagaimana kita bisa meniru sekiranya nabi umat Islam itu malaikat! Sungguh mustahil diteladani, bukan. Sehingga, sangat jelas, keagungan seorang Muhammad Saw. lantaran beliau bukan malaikat, juga tidak seperti Isa a.s. yang lahir tanpa bapak serta keajaiban-keajaiban lain yang mustahil ditiru.
Keluarbiasaan nabi terakhir itu karena beliau sosok wajar sewajar-wajarnya, yang terdiri atas daging dan darah. Bahkan beliau pun terluka tatkala Perang Uhud. Ya, saat itu beliau dikeroyok orang-orang Quraisy. Utbah bin Abu Waqash berhasil menghantam penutup kepala beliau. Abdullah bin Syihab berhasil melukai dahi beliau. Selanjutya, Ibnu Qim’ah menyerang beliau sehingga hidung dan gigi seri patah, dan pada serangan keduanya, dia memukul pundak beliau dengan sangat keras, menyebabkan beliau jatuh ke dalam lubang.
Betapa ngeri membayangkannya. Berbanding terbalik dengan situasi Perang Badar yang menang telak. Dalam Perang Uhud itu, ketika kekalahan hampir menimpa kaum mukmin, mereka lari saat dikejutkan oleh pasukan kuda Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid.
Banyak yang mati syahid di kalangan kaum muslim. Rasulullah Saw. terluka parah. Pipi dan bibirnya mengalirkan darah. Beliau jatuh ke dalam lubang sehingga lututnya terluka dan berdarah.
Namun kemudian, Allah menolong orang-orang Madinah pada hari yang sangat kritis itu berkat ketabahan Baginda Muhammad Saw. di medan laga. Beliau tetap gigih berjuang, padahal maut jelas-jelas menyambut di depan mata.
Artinya, ketabahan, komitmen, dan karakter mulia seorang Muhammad Saw. benar-benar bisa diteladani. Tidak ada alasan tidak bisa, karena toh beliau adalah manusia yang manusiawi seperti kita. Maka pertanyaannya, adakah upaya dari kita untuk meneladani beliau? Entahlah!
Istriku begitu tertegun dengan tontonannya. Tampak di layar, pasukan Ottoman menyerbu Austria. Dan menang besar. Sementara pikiranku masih melayang pada Perang Uhud. Dari kisah Uhud, jelas sekali betapa komitmen Baginda Muhammad untuk berperang di luar kota Madinah, tidak mundur dari medan peperangan. Berbeda dengan Abdullah bin Ubay bersama 300 pasukan menarik diri sebelum tiba di Uhud.
Komitmen itu pula yang beliau tunjukkan tatkala beliau ke Thaif, komitmen untuk pantang bosan menyebarkan risalah ke segenap manusia. Padahal, kalau direnungkan secara mendalam, kita akan mengetahui bahwa apa yang diderita Muhammad Saw. dari perjalanan menuju Thaif lebih berat dibanding penderitaan yang beliau terima dari penduduk Thaif.
Dari catatan sirah yang ditulis Dr. Husain Mu’nis, perjalanan Makkah ke Thaif menempuh jarak 140 km. Negeri Makkah terletak pada ketinggian antara 1.700 m sampai 2.500 m. Dan perjalanan dari Makkah menuju Thaif mulai menanjak setelah menempuh setengah perjalanan.
Dan tanjakan itulah yang berat karena berupa bukit-bukit tinggi dan sulit. Jalan-jalannya sempit berbatu, kaki tidak bisa istirahat. Orang yang berjalan kaki menggunakan sepatu saja sama sekali tidak bisa terhindar dari luka, goresan, dan keselo.
Padahal beliau murni berjalan kaki, tidak mengendarai unta atau kuda. Beliau ditemani Zaid bin Haritsah. Beliau memikul karung di pundaknya yang berisi kurma dan wadah yang dipenuhi air.
Sungguh, beliau berjalan kaki mendaki gunung dengan berbekal iman sebagai bekal pokok mendapat rida Allah, sedangkan bekal dunia beliau hanyalah kurma dan air.
Beliau berharap kiranya di Thaif akan mendapati penduduk yang menerima ajarannya. Namun, yang beliau dapatkan hanyalah suatu harapan yang sia-sia, sambutan buruk, dan perkataan yang menyakitkan hati.
Penduduk Thaif mengadang Rasulullah Saw. dan Zaid bin Haritsah di jalan. Mereka berdiri dua baris. Ketika keduanya lewat, mereka melemparinya dengan batu sehingga kaki beliau dan Zaid berdarah dan akhirnya berlindung di sebuah kebun di ujung kampung. Bayangkan sekira itu menimpa Sulaiman, kalau merujuk cerita di film, besar kemungkinan penduduk Thaif akan digilas habis oleh sepasukan tentara Ottoman lengkap dengan meriam-meriamnya.
Sementara, apa coba yang dikerjakan Baginda Muhammad Saw., di situ, di sebuah kebun di ujung kampung, beliau bermunajat kepada Allah, sebuah untaian doa yang paling indah yang pernah dipanjatkan manusia dalam sejarah.
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia.
Ya Allah, Engkaulah yang lebih pengasih dari semua pengasih, Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku.
Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?
Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, semuanya itu tak kuhiraukan karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku.
Aku berlindung pada Sinar Cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau limpahkan kepadaku.
Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan menurut kehendak-Mu. Sungguh, tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”
Untaian doa yang tertera dalam Sirah Nabawiyah karya Abu Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi, itu sungguh bikin merinding. Untaian yang sama sekali jauh dari unsur dendam, apalagi dorongan hati macam penguasa lalim yang pengin membunuh seluruh penduduk yang jelas-jelas menolak kehadirannya.
Lantas sang Baginda Saw. yang diiring Zaid pulang ke Makkah, dan kaum Quraisy pun lebih keras dalam menentang dan memusuhi, menghina dan menertawakan.
Kulirik istriku makin khusyuk dengan jalinan cerita di layar Youtube, upaya Hurrem Hatun yang menginginkan putranya, Mehmet, menjadi pengganti Sulaiman. Padahal semestinya Mustafa, putra tertua Sulaiman dengan Mahidevran. Ah, mbuhlah!
Ungaran, 28 September 2024
Baca juga: Menjemput Berkah
0 Comments