Saya jamin, apabila Anda baca kisah-kisah Rasulullah Saw. di Makkah, Anda akan bertambah kagum dan cinta kepada beliau.
Sejarah mencatat itu berkali-kali. Beliau adalah sosok yang tidak mengenal putus asa dan tidak membiarkan seseorang datang kepadanya, kecuali beliau mengajaknya untuk masuk Islam.
Pernah suatu hari, Rasul mendatangi Abdullah bin Salul. Beliau membacakan Al-Quran kepadanya, tapi si Abdullah malah berkata kasar: “Hai Muhammad, tempatmu itu di rumahmu jika sekadar ingin memperdengarkan (Al-Quran) darimu. Maka, jangan mendatangi orang dan memaksanya untuk mendengarkan (Al-Quran) darimu.”
Rasulullah Saw. pun dengan tenang beranjak dari hadapan Abdullah bin Salul. Beliau tetap melanjutkan misi dakwahnya di tengah masyarakat Makkah. Meskipun penolakan demi penolakan, hinaan-hinaan bertubi, tetapi beliau pantang berputusasa.
Orang-orang Makkah pun menyakiti beliau. Tetapi beliau malahan memohonkan ampun untuk mereka dan terus berdakwah. Sehingga, musuh-musuhnya menjadi bingung dengan beliau, padahal hanya seorang diri di tengah banyak para penghina.
Dan perlu dicatat, jangan dikira orang-orang Makkah yang sombong itu semuanya bodoh dan orang kecil. Di antara mereka ada orang-orang yang memiliki akal luar biasa, memiliki pemahaman canggih, dan kemampuan menakwil mimpi-mimpi. Di antara mereka juga para pemuka Makkah. Dan para pemodal kaya.
Mereka tersebut kerap mengajak Rasulullah Saw. berdebat, dan tak jarang akhirnya mengakui kecerdasan dan kebenaran misi yang diemban Baginda Rasul Muhammad Saw. Namun, untuk menjadi pengikut, mereka masih enggan. Mereka tak mau di bawah Muhammad, yang menurut anggapan mereka dan memang sesuai tradisi saat itu, beliau bukanlah siapa-siapa lantaran terlahir sebagai yatim. Walau sehari-hari diyakini sebagai al-amin.
Abu Jahal, contohnya, yang selama ini kita menganggapnya sebagai orang yang bodoh dan dungu, padahal sesungguhnya ia pemuka jahiliyah yang memiliki akal yang luas. Kekurangannya hanyalah ia takut kehilangan kedudukan dan harta, begitu tampil Muhammad Saw. di tengah masyarakat Makkah.
Pun Abu Sufyan, yang secara usia sama dengan Muhammad Saw., juga dikenal tokoh cerdas dan disegani di suku Quraisy. Ia adalah kepala suku Bani Abdu Syams, salah satu dari cabang suku Quraisy, yang malahan berdiri berlawanan dengan Bani Hasyim, keluarga Baginda Rasul.
Namun, sekali lagi, Rasulullah terus-menerus berusaha mengajak mereka yang memusuhi untuk masuk Islam. Beliau berdoa kepada Allah supaya memuliakan Islam dengan salah satu dari dua Umar, yang pertama adalah putra Al-Khattab, yang kedua adalah Abul Hukmi ‘Amru bin Hisyam bin Al-Mughirah, yang dikenal sebagai Abu Jahal.
Menjelang hijrah ke Madinah, Rasulullah mendatangi Abu Jahal, “Tiba saatnya untukmu Wahai Abul Hukmi untuk membuka hati menerima keimanan.”
Abu Jahal dengan sengal mengatakan, “Tugasmu hanyalah menyampaikan dan engkau benar-benar telah menyampaikan. Aku tetap menentangmu.”
Artinya, dengan membaca sirah, kita bisa berkaca bahwa Baginda Nabi Saw. telah memberikan contoh kepada kita dalam hal merasa berkewajiban menjalankan tugas untuk meneguhkan nurani hanya bertuhankan Allah. Lantas, di mana posisi kita dibandingkan teladan yang agung itu? Kita mengklaim bahwa kita telah menjalankan sunnah Rasul, tapi mana sunnah Muhammad Saw. yang kita jalani?
Kemudian tatkala hijrah beliau ke Madinah, lebih-lebih hal ini merupakan pekerjaan berat untuk membangun umat, mendidik mereka, dan memberikan contoh teladan kepada umat soal keyakinan dengan sepenuh-penuh yakin akan Allah Swt.
Di Madinah, Rasulullah Saw. berusaha sekuat tenaga dalam kurun 10 tahun berperang atau mengutus tentara, brigade sebanyak 84 kali, rata-rata delapan kali perang dalam setahun. Jadi bisa dibayangkan betapa beratnya beliau.
Kita bayangkan bagaimana beliau mesti memerintahkan orang-orang untuk ikut perang. Bahwa beliau mesti memberikan contoh terlebih dahulu, bersiap berperang, bahkan acap keluar sendiri dan menunggu di luar kota Madinah satu hari agar orang-orang bergabung.
Apabila pimpinan pasukan diserahkan kepada sahabat, beliau adalah orang yang paling khawatir dan terus-menerus mengikuti kabar peperangan, serta nasib pasukan Muslim. Jika pasukan Muslim kembali dari peperangan, dan Rasul mengetahui siapa saja yang jadi syuhada, beliau mendatangi sendiri untuk bertakziah dan mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga korban.
Di tengah-tengah kesibukannya itu, Rasulullah Saw. juga tetap menerima dan menyampaikan wahyu, serta menjelaskan maksudnya kepada umat. Beliau bertindak sebagai penyeru, penjelas perintah-perintah langit.
Saat yang sama, sekiranya ada umat yang sakit, beliau langsung menjenguk. Ada yang meninggal, beliau akan mengiringi sang jenazah, dan menghadiri pemakamannya.
Terbayanglah, betapa benak beliau berada di ujung pulau atau di pojok-pojok dunia, karena merasa bahwa kewajibannya adalah memasukkan semua penduduk bumi ke dalam agama Allah, untuk hanya bertuhankan Allah, bukan tuhan-tuhan duniawi. Benak beliau benar-benar berisi suka duka umat.
Beliau adalah sosok yang sejak tiba di Madinah tidak tidur kecuali hanya tiga atau empat jam sehari. Diri beliau lebih banyak diperuntukkan bagi orang banyak daripada dirinya sendiri.
Namun, dalam hidup privat beliau tidak pernah mengeluh, ingin beristirahat, atau menginginkan makanan enak. Aisyah, sang istri tercinta, menceritakan betapa beliau mencukupkan dengan apa yang ada tanpa memaksakan diri.
Sekali lagi, kita yang mengklaim menjalankan sunnah Rasul, tapi mana sunnah beliau yang kita jalani?
Lebih terangnya kini, tidurnya hati. Begitulah kira-kira keadaan kita hari ini. Yang seakan lupa bahwa Islam yang diteguhkan Baginda Rasul Saw. adalah hati dan nurani. Betapa setiap sesuatu dalam Islam bergantung apa yang dikatakan hati.
Kita cermati, betapa iman adalah keimanan hati bukan keimanan lidah. Sehingga, amal perbuatan dalam Islam berdasarkan niat. Dan niat merupakan pekerjaan hati.
Kita berniat salat, puasa, dan haji, ukurannya adalah niat. Baru kemudian terkonfirmasi lewat ucapan, dan mewujud jadi perbuatan.
Inilah rahasia yang barangkali luput dari perhatian bahwa Islam adalah nurani yang terjaga. Bukankah nurani itu cahaya. Dan cahaya dalam diri yang terjaga niscaya mengingat Allah Swt. Sebab Dia-lah sumber cahaya. Dan kekuatan umat Islam: hati yang hidup, nurani yang terjaga, dan jiwa yang bersih.
Coba kita tengok dari Perang Ahzab, misalnya, ketika orang-orang Quraisy, Ghathafan, dan Asad dan kabilah-kabilah lainnya berkumpul dan beriringan hendak menghabisi umat Islam Madinah.
Rasul Saw. dengan sangat telaten mengajak orang-orang Madinah untuk menggali parit. Mereka sadar bahwa sebagian sisi kota Madinah dibentengi oleh rumah-rumah. Dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah membuat rapat rumah-rumah tersebut yaitu dengan cara menutup ruangan-ruangan yang kosong dengan parit.
Lantas pasukan besar yang merangsek ke Madinah sama sekali tak terlintas dengan kenyataan parit. Padahal kekuatan Islam bukan pada paritnya, melainkan kesatuan umat yang berada di belakang parit.
Mereka adalah umat yang memiliki kesadaran. Rasulullah Saw. berdiri di posnya di samping Gunung Sala’ sembari mengawasi pasukan kafir dan memperingatkan pasukan muslim. Baginda Rasul hampir tidak pernah tidur malam.
Orang-orang muslim dibagi dalam kelompok-kelompok, yang bersiaga di belakang parit. Apabila ada bagian parit yang perlu diperluas, hal itu dilakukan malam hari. Jika ada sekelompok musuh yang mencoba meloncati parit dengan kuda, pasukan muslim siap mengadang.
Kemudian bertiuplah angin yang keras, udara menjadi sangat dingin dan musuh-musuh menderita karenanya. Akan tetapi, kaum mukmin hampir tidak merasakan hal itu karena hati mereka betul-betul terjaga untuk mengerjakan pekerjaan yang besar, yang senantiasa merasa diawasi oleh Yang Mahabesar.
Dua minggu lebih di hadapan parit, Abu Sufyan pun akhirnya menyadari bahwa menembus Madinah adalah sesuatu yang mustahil. Ternyata, orang-orang muslim yang dikepungnya itu merupakan umat yang hidup semata demi Allah Swt. Sementara sekutunya dari Bani Ghathafan tidak ingin melakukan peperangan yang panjang tanpa hasil yang jelas.
Abu Sufyan berasa sendirian dengan beberapa orang Quraisy. Sebelum menyingkir kembali ke Makkah, ia menulis surat kepada Rasulullah. Surat ini dikirim melalui Usamah Al-Jasyami.
“Dengan namamu aku bersumpah demi Latta dan ‘Uzza. Sungguh aku telah berangkat bersama pasukanku untuk memerangimu. Kami tidak ingin kembali kepadamu untuk selamanya sampai kami berhasil membasmimu hingga ke akar-akarnya.
“Namun aku melihatmu enggan berhadapan dengan kami, kemudian kau membuat parit-parit seperti ini.
“Aduhai, siapakah yang mengajarimu seperti ini? Jika kami sampai kembali dari kalian, maka hari kalian seperti hari Uhud bagi kami, akan banyak wanita menjadi janda.”
Kemudian Rasulullah memanggil Ubay bin Ka’ab dan mendiktekannya. “Dari Muhammad, utusan Allah, kepada Abu Sufyan bin Harb, Amma ba’du. Sejak dari dulu kau selalu tertipu, terhadap Allah, oleh banyak tipuan.
“Apakah kau tidak ingat bahwa kau pernah memerangi kami dengan pasukanmu dan kau tidak ingin kembali hingga berhasil menghancurkan kami hinga ke akar-akarnya, namun perkara Allah menghalang-halangi antara dirimu dan keinginanmu itu.
“Sebaliknya, Allah menjadikan kemenangan itu berada pada pihak kami, hingga nama Latta dan Uzza tidak disebut-sebut lagi.
“Adapun perkataanmu, siapa yang mengajariku membuat parit?
“Maka, sesungguhnya Allah telah mengilhamkan itu kepadaku karena kebencianmu dan kebencian para pengikutmu kepada-Nya. Sungguh akan datang atasmu suatu hari di mana kau akan membelaku di ar-Rah, dan sungguh akan datang atasmu suatu hari di mana aku menghancurkan Latta, Uzza, Isaf, Na’ilah, dan Hubal. Aku peringatkan dirimu dengan hal itu.” (Al-Maghazi Al-Waqidi jilid 1).
Hal itulah yang membuat umat memiliki hati yang sadar dan nurani yang terjaga. Di tengah-tengah Perang Khandaq yang berlangsung sekitar 20 hari, tidak seorang pun dari kelompok-kelompok kaum muslim merasa tenang.
Mereka semua saling bantu. Hati yang sadar membuka benak yang tertutup. Sehingga setiap dari mereka ini berkreasi dan melaksanakan kreasinya. Rasulullah sebagai manusia dengan nurani yang sangat peka berada di tengah-tengah mereka, menenangkan dan mengarahkan.
Hal tersebut menunjukkan betapa poros kerja dalam risalah yang dibawa Baginda Nabi adalah hati dan nurani. Dan sesungguhnya kekuatan umat tidak akan tampak kecuali jika semua orang Islam satu hati dan satu nurani.
Maka, ide pembuatan parit itu adalah untuk menghalangi antara orang-orang kafir dan penerobosan Madinah. Dan sesungguhnya kaum kafir itu bisa menembus parit, tetapi pasukan gabungan itu tak sadar bahwa kekuatan yang sebenarnya terdapat pada umat Islam yang di belakang parit.
Ya, kekuatan iman yang tak lain adalah kesatuan hati dan nurani. Itulah barangkali sunah yang mesti kita ketengahkan kembali. Benar: nurani yang terjaga.
Ungaran, 13 September 2024
Baca juga: Parit
0 Comments