Menunda Kiamat

Tetangga kompleks baru saja beli mobil. Dari obrolan dengan dia, saya berkesimpulan, mobil itu akan meringankan beban hidupnya. Ya, bisa jadi demikian: memudahkan hidup.

Tapi, belajar dari yang sudah-sudah, barang-barang yang beraroma modern itu justru lebih banyak melenakan ketimbang bersiap siaga. Hasil produksi yang jadi simbol kemajuan itu kerap melengahkan kita dari kebutuhan primer. 

Tidak salah memang, bisa jadi sungguh-sungguh butuh. Saya juga tidak alergi dengan segala atribut kemajuan, segala yang berornamen modern, pascamodern, dan seterusnya. Hanya, kita patut waspada untuk tidak kehilangan orientasi: mana keinginan, mana kebutuhan.

Apalagi kita paham, segala produksi benda-benda “ajaib” saat ini, apa pun itu, tidak lebih sebagai permainan kapitalisme. Kita juga tahu, sekira menyerah pasrah padanya, niscaya tertelan. Karenanya, tepatlah sikap para leluhur agar kita bisa mendayagunakan kreatifitas, bahwa segala yang ada ini mesti ditangankanankan.

Bahwa pelbagai pajangan sihir-sihir dari kemajuan kapitalisme akan tetap tinggal sebagai pajangan, tak sampai menyentuh hati, apalagi melekat, jika kita tempatkan sebagai sarana saja yang memang kita butuhkan. Bukan sebagai bagian dari diri yang apabila hilang, hilang pula harga diri. Bukan.  

Apalagi memang, sejarah telah membuktikan bahwa umat manusia tidak membutuhkan sesuatu dari luar untuk dapat melejit ke langit ketinggian. Justru evolusi spiritual dari dalam dirilah yang terpenting. Sebuah laku, yang oleh para ulama dari zaman ke zaman direspon sebagai jalan meniti diri.

Sebuah jalan untuk mendapatkan situasi “bebas dari” kendala asesoris-asesoris duniawi, dan menggapai “bebas untuk" bermakna di tengah lingkungan. Maka, status hamba Allah yang dicapai dengan ketaatan kepada Tuhan akan bisa turut mewarnai hidup, dengan memfungsikan konsep kekhalifahan, wakil Tuhan.

Nah, fungsi kekhalifahan itulah, yang tampaknya mulai vakum di benak bangsa-bangsa maju, yang nota bene mengusung ideologi kapitalisme. Mereka terlalu dini mengklaim sebagai polisi yang berhak membatasi bangsa lain. Berhak membanjirkan hasil produksi ke negara berkembang. Bangsa-bangsa maju, berambisi menjadi pihak penentu dan memperlakukan umat manusia di negeri macam Indonesia sebagai objek pasar, sebagai benda mati yang serba terima beres.

Kapitalisme, yang melatari watak negeri-negeri kaya, hanya mengacu kepada pemilikan sarana secara berlimpah. Berorientasi keruangan, yang kolonialis, yang imperialis, yang mengeksploitasi bumi hingga keropos. Dan, teknologi canggihlah yang menjadi andalan mereka. Bahkan saking mantap dengan pusaka andalan yang telah melumpuhkan alam, telah membabat kehidupan harmoni hutan-hutan, mengubah lahan produktif menjadi kawasan industri, selanjutnya didayagunakan untuk menguasai manusia.

Puji syukur saya mengenal Muhammad Zuhri, sufi dari pantai utara Jawa Tengah, yang melihat orientasi sains dan teknologi sebagai kementahan spiritual. Beliau mewanti-wanti bahwa kemajuan teknologi hingga fenomena AI, akan gagal memandu umat manusia sebagai satu keluarga besar bangsa manusia. 

Dan saya merasa, pada saat begini ini, hidup di tengah kemajuan sains, saya bersetuju untuk mengkaji-ulang jalan sufi yang pernah melahirkan individu-individu besar yang berkualitas universal. Sehingga tak berlebihan, Muhammad Zuhri mengatakan, merekalah yang sebenarnya lebih pantas disebut pionir globalisasi ketimbang filsuf-filsuf modern dari bangsa maju yang gagal menawarkan hakikat diri.

Sebab, para sufi itu lebih tulus dalam menyikapi sesama manusia, tanpa pamrih selain rida Allah Swt. Mereka tak kenal putus asa dalam upaya turut mengembangkan kualitas hidup umat manusia, agar menjadi pribadi penuh arti dengan menemukan jalan pulang, dengan menjaga keselarasan semesta.

Lagian, terang Muhammad Zuhri, metode sufi berbeda dengan tawaran Barat yang konon sebagai modern dan berpikir global itu. Bahwa dalam meng-Allah tidak seperti mencari informasi keilmuan, tetapi dengan menyelami diri. Tidak dengan meneropong obyek di luar, tapi penghayatan pantang bosan sang subyek pencari itu sendiri.

Karena secara fitri, kita, dalam kadar tertentu, sesungguhnya telah terlatih merealisasi fungsi kekhalifahan (jalan tasawuf) di lingkungan kecil. Misal, sikap perlindungan seorang ayah kepada anak, sikap ramah dan manis kepada yang lebih muda, sikap hormat yang muda kepada yang lebih tua, dan seterusnya dan sebagainya.

Jadi, sebetulnya yang dibutuhkan adalah bagaimana sifat-sifat luhur yang sejak dini telah disemaikan Allah itu bisa tumbuh optimal dan menyemesta. Yakni menggarap diri seakurat mungkin. Sehingga, tak perlulah mengadopsi metode dari mana pun, termasuk mengimpor sihir-sihir yang justru meluruhkan harga diri.

Dari buku Lantai-Lantai Kota, Muhammad Zuhri mengatakan, “Binatang saja cemas meninggalkan anak-anaknya di dalam sangkar yang tak aman. Tetapi manusia yang berakal bisa tenang melihat masyarakatnya nyaris terancam bencana.”

Artinya, Muhammad Zuhri menuding kita yang berhenti hanya di ranah dogma, dan tak beranjak untuk memasuki makna terdalam ajaran Ilahi. Puasa misalnya, mesti dilihat sebagai sarana teknis menghayati keadaan Tuhan. Bahwa Tuhan itu tidak makan, tetapi memberi makan. Puasa merupakan sarana menyerap sifat Tuhan. 

Berpuasa semestinya menyadarkan keberadaan kita di tengah semesta alam. Bahwa alam harus terus dijaga dari kepunahan, dengan cara memungut fasilitas alam seminimal mungkin. Karena sesungguhnya fasilitas alam tak selayaknya diperebutkan dengan mengorbankan pihak lain, atau dihambur-hambur demi memanjakan nafsu. Alam mesti dimanfaatkan seefisien mungkin demi kelestarian hidup bersama. Kelestarian bumi.

Muhammad Zuhri menganalogkan berpuasa seperti kisah Musa, dalam pengembaraan hingga di bukit Sinai, yang mesti menanggalkan kedua terompah untuk dapat berdialog dengan Tuhan. Dua terompah “kanan” dan “kiri” adalah simbol dari kedua pijakan manusia: jiwa dan raga. Allah tidak berkenan berkomunikasi dengan hamba-Nya, selama baju eksistensialnya (jiwa dan raga) belum dilepaskan. Allah Ta’ala tak menerima kehadiran seorang hamba selagi keinginan jiwa dan raga masih sedemikian melekat di hati.

Menanggalkan dua terompah, sama artinya memberi kesempatan yang lain untuk menikmati. Kita tidak lagi ingin berebut. Tidak ingin turut mereguk fasilitas alam seenak sendiri. Sebab sadar, sumber daya alam ini kian tipis makin langka. Dan, kita tidak mau kiamat segera datang.

Dengan demikian, tawaran Muhammad Zuhri kepada kita hari ini, sedianya umat Islam tidak tega meninggalkan masyarakat dunia terancam bencana. Artinya, di mana pun saja, kaum muslim mesti menegakkan puasa, yakni menunda datangnya kiamat.

Itulah, betapa keinginan memiliki sesuatu, mestinya berorientasi sebagai kebutuhan untuk menunda datangnya bala, datangnya musibah. 

Ungaran, 13 September 2024

Post a Comment

0 Comments