Menjemput Berkah


Setelah makan malam di angkringan di Terminal Sisemut, aku dan istri kembali berkendara sepeda motor ke Ambarawa, tepatnya menuju lapangan Tambakboyo. Kami hendak menghadiri majelis shalawatan bersama seorang habib terkenal dari Pekalongan. 

Malam cerah. Tampak purnama mengiring putaran roda sepeda motor yang aku naiki. Aku mengendarainya pelan, lagian istriku, Rahma, memang tidak suka aku berkendara kencang. Berkebutan atau bersaing dengan pengendara lain, seolah rebutan jatah sembako. 

Sepanjang jalan, karena Rahma diam entah sedang memikirkan apa atau sedang melamunkan cicilan, aku pun membayangkan kehidupan Nabi Muhammad. Benakku terbang ke Jazirah Arab. Ya, secara geografis, Jazirah Arabia sangat kondusif. Terletak di bagian tengah peradaban, sehingga tepat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang moderat.

Dan memang takdir, Muhammad Saw. sebagai penutup para nabi, lahir di tengah peradaban tersebut. Seolah menjadi kabar, Islam adalah penyempurna syariat dan akhlak. Mengingat, secara umum ajaran para nabi itu berdasar: aqidah, syariat, dan akhlak. 

Aqidah para nabi sama, dari Adam hingga Muhammad adalah mengimani Allah dan Hari Akhir, dan berbuat kebajikan atau berakhlak. 

Sedang syariat, yaitu penetapan hukum yang bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan pribadi, setiap masa kenabian berbeda, karena perkembangan zaman dan tuntutan kemaslahatan satu dengan yang lain berbeda.

Nah, Muhammad Saw. menyiarkan syariatnya semata upaya menyempurnakan akhlak umat manusia.

Aku dan Rahma masih di atas jok sepeda motor, masih lumayan jauh untuk sampai lokasi acara, masih di Karangjati. Dan, terkait masa kecil Muhammad Saw., bukan suatu kebetulan jika beliau dilahirkan dalam keadaan yatim. Selang bertahun-tahun berikutnya, beliau kehilangan ibu dan kakek. Lengkap sudah keyatimannya. Tuhan memilihkan pertumbuhan demikian, lagi-lagi seolah kabar bahwa sedari dini beliau tumbuh dan berkembang jauh dari asuhan bapak, ibu, dan kakeknya. Jauh dari orang-orang terkemuka pada zamannya.

Kemudian, beliau diasuh oleh Abu Thalib, pamannya yang notabene miskin. Pertanda beliau sungguh jauh dari tangan-tangan yang memanjakan kasih sayang dan limpahan harta. Dalam hal ini, terbit perasaan syukur dan tenang di hatiku, karena kehidupan kami masih dicukupkan oleh-Nya dengan adanya sepeda motor ini, punya papan nyaman untuk berteduh, tidak menumpang tetangga. Cicilan di warung pun masih wajar, tak sampai ratusan juta yang bikin tidur tak nyenyak.

O ya, sebelumnya beliau disusui Halimah. Karena tradisi kota Makkah saat itu, bayi lahir tak sepenuhnya dalam susuan ibu kandungnya, tetapi disusukan kepada orang lain dan tinggal jauh di pedesaan. Muhammad Saw. tinggal di perkampungan, dalam pengasuhan keluarga Halimah yang juga notabene keluarga miskin. 

Namun, para ahli sejarah sepakat bahwa ladang-ladang Halimah kembali menghijau, usai kekeringan panjang, setelah mengasuh bayi Muhammad hingga usia lima tahun. Hal itu mengabarkan, kehadiran dan keberadaan beliau menjadi sebab utama datangnya keberkahan dan pemuliaan Ilahi. “Dan, Kami tidak mengutus kamu kecuali sebagai rahmat bagi segenap alam.”

Ya, Muhammad Saw. adalah pembawa rahmat, meski jauh dari keberlimpahan harta. Inilah alasan utama aku dan Rahma berela menyusuri jalanan padat Ungaran-Ambarawa: menjemput berkah dari majelis yang mengusung cinta kepada beliau. Terlepas dari pro-kontra eksistensi habib, karena yang terpenting adalah adanya majelisan yang mengupas fragmen kehidupan nabi.


Bersama Halimah di pedalaman Bani Sa’ad, ada peristiwa pembelahan dada yang dialami Muhammad. Saat itu beliau berusia lima tahun. Dan, peristiwa tersebut diriwayatkan oleh banyak sahabat dan dengan periwayatan yang sahih.

Tujuannya jelas, bukan untuk mencabut “kelenjar kejahatan” di dalam jasad Muhammad, melainkan sebagai “operasi pembersihan spiritual”. Sebuah pengumuman bahwa sedari kecil Muhammad Saw. telah dipersiapkan untuk mendapatkan pemeliharaan dan wahyu dari Tuhan. 

Lagian begini, jika kejahatan itu memang sumbernya terletak pada kelenjar yang ada pada jasad atau pada gumpalan yang ada pada salah satu bagiannya, nisacaya orang jahat pun seketika menjadi baik bila menjalani operasi bedah. Tetapi toh tidak demikian faktanya.  

Memasuki usia remaja, dalam pengasuhan Abu Thalib, Muhammad Saw. berusaha mencari rezeki dengan menggembalakan kambing untuk meringankan sebagian beban nafkah dari pamannya. 

Barangkali hasil yang diperolehnya tidak begitu banyak dan penting bagi paman dan bibinya, tetapi upaya Muhammad Saw. ini merupakan akhlak yang menandakan rasa syukur, kecerdasan watak, dan kebaikan perilakunya.

Aku rasa hal itu menjadi pengabaran hari-hari ini bahwa harta yang terbaik adalah harta yang diperoleh dari usaha sendiri dan imbalan “pelayanan”, bukan yang diperoleh tanpa bersusah payah atau tanpa imbalan kemanfaatan kepada orang lain, kepada masyarakat.

Yang demikian juga sebagai “kritik”, sedianya para aktivis Islam tidak bergantung pada pemberian gratis atau sedekah dari masyarakat. Artinya, para aktivis mencari nafkah melalui usaha sendiri. Atau sumber yang mulia yang tidak mengandung unsur meminta-minta, agar terbebas dari “utang budi”.

“Ayah melamun?”

Aku menghindar menjawab, “Menikmati perjalanan, Bun.”

Kami kembali terdiam. Dan aku lanjut merunut dari buku-buku biografi yang sempat terbaca. Bahwa saat Muhammad Saw. masih remaja, Tuhan melindunginya dari semua bentuk penyimpangan. Kendati belum mendapat wahyu, beliau telah mendapat perlindungan yang tersamar yang menghalanginya dari memperturutkan nafsu. 

Riwayat-riwayat menceritakan bahwa beliau tidak pernah menitipkan kambing gembalaannya kepada temannya untuk turun ke kota Makkah, turun berhura-hura di suatu pesta. Tidak pernah. Dan sedari itu beliau dikenal sebagai al-Amin, seorang yang terpercaya.

Berkat kejujuran dan kemuliaan pribadi Muhammadlah, Khadijah, seorang wanita pedagang yang mulia dan kaya, mengaguminya. 

Khadijah memercayakan perniagaan ke luar kota Makkah kepada pemuda Muhammad. Khadijah terkejut dengan keberkahan yang diperolehnya dari perniagaan yang dijalankan Muhammad Saw. Khadijah akhirnya benar-benar tertarik pada kejujuran pemuda ini. Khadijah menyatakan hasratnya untuk menikah dengan beliau melalui sahabatnya, Nafisah binti Muniyah. 

Sehubungan dengan pernikahan yang ditempuh Muhammad bersama Khadijah, aku mendapat pelajaran penting bahwa Muhammad sama sekali tidak memerhatikan faktor kesenangan jasadiah. Hal yang sepenuhnya belum bisa kujalani. Padahal sebagai pemuda yang berusia 25 tahun, apalagi beliau terkenal gagah dan rupawan, beliau gampang saja mencari gadis yang lebih muda atau minimal yang tidak lebih tua darinya.

Biduk keluarga mulia itu pun berlangsung hingga Khadijah meninggal dunia pada usia 65 tahun, sementara Muhammad telah mendekati usia 50 tahun, yang selama itu beliau monogami. Padahal usia antara 25 sampai 50 tahun merupakan masa bergejolaknya kecenderungan untuk menambah istri.

Dan, seandainya Muhammad Saw. mau memadu Khadijah, jelas adat atau kebiasaan masyarakat Makkah saat itu tidak menentangnya. Terlebih, Muhammad Saw. menikahi Sayyidah Khadijah yang berstatus janda dan jauh lebih tua. Selisih 15 tahun, bayangkan. Aku saja hanya berselisih tiga tahun, Rahma seniorku.

Pada rentang usia 25-50, persisnya usia 40 tahun, Muhammad kerap tenggelam dalam penyendirian di Gua Hira. Dan, suatu hari dalam sendirinya itu, Muhammad Saw. dikejutkan oleh Jibril yang berkata, “Bacalah!” Hal ini bukti pula bahwa fenomena wahyu bersumber dari luar, yang tak berkaitan dengan inspirasi, pancaran jiwa, atau intuisi si penempuh.

Dekapan Malaikat terhadap Muhammad Saw., kemudian melepaskan hingga tiga kali yang setiap kalinya mengatakan “bacalah” merupakan penegasan terhadap hakikat wahyu Al-Quran. 

Timbul rasa takut dan cemas dalam diri Muhammad Saw. ketika mendengar dan melihat Jibril, hingga beliau pun memutuskan berhenti bersendiri dan segera pulang. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Muhammad Saw. sungguh gundah, mengira makhluk Jin tengah merasuki dirinya.

Dari situ tergambar, betapa beliau sama sekali tak tebersit akan mendapatkan wahyu. Tidak pernah merindukan risalah. Wahyu juga tidak datang bersamaan atau untuk menyempurnakan usaha Muhammad Saw. dalam beruzlah. 

Sesampai di rumah, beliau menggigil dan meminta Khadijah menyelimutinya. Beliau benar-benar mengalami rasa takut, karena berdiam di Gua Hira sama sekali tak berpikir hendak menjadi seorang nabi. Beliau menjalani uzlah bukan lantaran ambisi supaya diangkat sebagai rasul. Sama sekali tidak.

“Bib Ali Zaenal dah di panggung, Yah.”

“Sepertinya begitu, Bun. Atau itu hanya suara dari Youtube yang diudarakan, kan masih jam segini.” Ya, samar-samar suara merdu sang habib dari Pekalongan itu terdengar. Dan, sepeda motor kami baru mau menyusuri satu-satunya jalan menuju lokasi.

Aku bersenandung mengikuti dendangan sang habib yang terdengar sayup-sayup. “Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin thibbil qulubi wa dawa-iha. Wa ‘afiyatil abdani wa syifa-iha. Wa nuril abshari wa dhiya-iha. Wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallim.” 

Ungaran, 26 September 2024

Baca juga: Penaklukan Khaibar, dan Sayyidah Khadijah

Post a Comment

4 Comments

  1. Masya Allah, mas Ardi dan istri tercinta motoran untuk mengikuti majelis shalawatan untuk menyimak ceramah habib terkenal dari Pekalongan. Nabi Muhammad SAW menggembalakan kamibng demi membantu pamannya supaya beban lebih ringan. Ahklak beliau baik sekali ya. Banyak kisah diceritakan dalam kegiatan ini dan menambah keimanan dan rasa bersyukur kita sebagai umat Islam aamiin.

    ReplyDelete
  2. Bukti cinta umatnya kepada Rasulullah, motoran berdua jauh-jauh untuk mendendangkan salawatan pada Rasulullah...rindu sekali ya pada beliau yang sangat mencintai umatnya..

    ReplyDelete
  3. Menghadiri majelis dan sholawatan menambah keimanan kita terhadap Alloh Swt, dan menjadikan nabi Muhammad Saw sebagai panutan kita.

    ReplyDelete
  4. Semoga kelak kita dipertemukan dengan Rasulullah di tempat terbaik, surga firdaus..Aamiin

    ReplyDelete