Bersemuka Wajah Tuhan

Tatkala menatap realita, kita mesti memuji-Nya, alhamdulillahirabbil’alamin. Kenapa? Karena sesuatu yang ada ini, memiliki kekuatan untuk ada, yang berupa kodrat, sebab, kesempatan, dan lain sebagainya, dan seterusnya. Jadi, tidak ada sesuatu yang ada kecuali ada dalam kondisi sebaik-baiknya. Berada dalam keadaan sebagus-bagusnya. 

Nah, semua yang ada (realita) ini hadir dari amrullah, perintah Allah. “Sesungguhnya amr Allah, tatkala Ia menghendaki sesuatu, cukup Ia perintahkan: Jadilah, maka jadilah sesuatu itu.” (Yasin: 82).

Kemudian, dari realita itu, salah satunya yang memiliki kualitas tertinggi, diangkat oleh Allah menjadi wakil-Nya di muka bumi. Ia memiliki kualitas tertinggi, karena tidak hanya maujud sebagai realita, yang spesifik tersusun dari komposisi tanah semata, tetapi memiliki konstruksi rumit yang tidak ada pada makhluk lain. Konstruksi rumit dan paling sempurna di antara segenap makhluk itu tiada lain berupa otak yang berada dalam tubuh manusia. 

Anugerah khusus berupa otak inilah yang mengantar manusia menerima “amanat”, di mana langit, bumi, dan gunung-gunung menolaknya. Otak yang berdaya intelek dan berkehendak bebas telah memuluskan manusia untuk terjun berperan sebagai khalifatullah.  

Di dalam memerankan kekhalifahan di muka bumi, manusia sebetulnya terikat dengan iradah rububiyah-Nya, kehendak untuk melindungi dan mengembangkan semesta. Sebagaimana pernah diteladankan Nabi Saw. yang mengemban identitas keterwakilan dalam rangka rahmat untuk semesta alam (Al-Anbiya: 107). 

Namun, ternyata iradah nafsiyah, kehendak diri, lebih kuat mendominasi langkah kebanyakan manusia, sehingga larut dalam kelaliman. Cenderung menggunakan wewenang tanpa mengindahkan tanggung jawab keberadaban. "Mereka mempunyai hati yang tiada digunakan untuk mengerti, mereka punya mata yang tiada digunakan untuk melihat dan mereka punya telinga yang tiada digunakan untuk mendengar. Seperti binatanglah mereka, bahkan lebih sesat lagi. Mereka tergolong orang yang lalai (terhadap amanat yang dipikulnya).” (Al-A'raf: 179).

Sebetulnya, pertarungan dua kekuatan, antara iradah rububiyah dan iradah nafsiyah, itu sungguh mustahil terelakkan. Sebab, dari dasarnya memang dalam diri manusia ada kompetisi dua kepentingan, roh hayati dan roh idhafi. Roh hayati merupakan kekuatan yang melatari iradah nafsiyah. Kekuatan yang menumbuhkembangkan, yang lahir seiring hadirnya realita. Ia ada karena amrullah. Ia adalah roh ciptaan, yang akan selalu beregenerasi dan selalu ingin abadi di bumi. 

Sementara roh idhafi bukan ciptaan, melainkan Diri Tuhan yang ditiupkan ke dalam tubuh manusia. “Aku sungguh akan menciptakan manusia dari tanah kering dari lumpur hitam, Ketika Aku menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan roh dari Aku ke dalamnya, …” (Al Hjir: 28-29). Maka, roh idhafi itu adalah roh titipan, yang melandasi iradah rububiyah, yang bersifat ingin kembali kepada Tuhan. 

Walhasil persinggungan dua kecenderungan atas kenyataan itu mewujud sebagai khalifatullah, wakil Tuhan di tengah semesta raya. Tinggal pilih saja, kehendak mana yang akan kita menangkan.

“Surat Al Fatihah, seusai bacaan basmalah, mengingatkan sekaligus menuntun kita untuk bisa jernih menatap kenyataan sebagai pagelaran hamdallah.” terang Muhammad Zuhri, dalam buku Lantai-Lantai Kota

Benar-benar sebuah pagelaran puji Tuhan, karena kalau kita jujur niscaya bisa melihat alam semesta ini tampil dalam keadaan baik yang unik. Keindahan yang unik, dan kesempurnaan yang unik.  Di sana sini kita bakal kesulitan menemu cacat-cacat. Sehingga, betapa puji Tuhan yang telah mengurus semesta, dan yang senantiasa mencipta realita. Betapa setiap objek realita yang kita saksikan itu adalah finalnya sesuatu di dalam proses menjadi atau sesuatu yang masih berada di dalam proses menjadi. 

“Dan, karena realita itu lahir dari Perintah Tuhan, maka sudah otomatis di balik realita mengandung perintah-Nya. Maka, selaku wakil-Nya, kita wajib merespon perintah-Nya bukan realitanya.” pinta Muhammad Zuhri dalam kesempatan ngobrol santai di serambi rumahnya, akhir 2005, di ujung utara Jawa, Pati. 

Lagian, sifat perintah Allah yang tampil di balik kenyataan yang kita hadapi itu teramat tunggal dan tak berulang. Karena hakekat perintah di balik realita itu adalah Wajah-Nya. Sekira kita tidak segera merespon saat Ia datang di benak kesadaran, Ia akan pergi dan tidak mau balik lagi. Sungguh, betapa sayang kiranya kita absen dari kesempatan bersemuka dengan Wajah Tuhan. 

Itu pulalah yang kerap disitir oleh Emha Jayabrata dalam presentasinya pada Diskusi Sastra A.A. Navis Membaca Zaman di Balai Bahasa Jawa Tengah, 15 September 2024. Syukur, saya berkesempatan menghadiri perhelatan tersebut. 

A.A. Navis, menurut Emha, adalah pengamat kenyataan yang baik. Ia sanggup membaca bahwa ada Wajah Tuhan di balik setiap yang ada. Sehingga, tak sedikit pun niat untuk melukainya. Karena di situ ada Tuhan, termasuk dalam bersastra. 

Hal itu terbaca dari kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami, di mana ia selalu mengaitkan bahwa kesadaran ketuhanan mesti bersanding dengan kesadaran kemanusiaan. Tidak bisa tidak. Bahwa selalu ada kesadaran profetik yang terselip di setiap karya sastranya.

Tak pelak, menyimak paparan Emha dalam membaca A.A. Navis, saya berasa duduk di lingkaran zawiyah tasawuf. Bahwa bukan lagi persoalan syariat yang dikaji, melainkan kedalaman hikmah di balik setiap dogma agama. Bahwa beragama, sedianya menyelami kedalaman spiritual dalam ibadah ritual, merasakan kehadiran Tuhan dalam beramal, dan menemukan esensi dari setiap fenomena yang tergelar.

Syahdan, A.A. Navis mengamarkan bahwa seyogianya kita sanggup menerobos rutinitas keberagamaan dengan pendalaman makna ibadah, menggarap diri tiada henti, dan yang terutama, menangkap wajah Allah di segala langkah dan peristiwa. 

Dari tokoh Haji Saleh, dalam Robohnya Surau Kami, A.A. Navis mewanti-wanti pembaca agar bisa menemukan makna kehadiran kita di tengah semesta kehidupan. Supaya kita sanggup menghidupkan kembali beragama sebagai upaya bersemuka dengan Wajah Tuhan. 

Demikian kira-kira.

Ungaran, 16 September 2024 

Post a Comment

1 Comments

  1. Merespons perintah-Nya. Nah, memang untuk bertakwa kepada Allah SWT itu sudah-susah gampang. Bisa jadi memulainya mudah nakum ketika beristiqomah sulitnya minta ampun. Aamiin, semoga kita dapat bersemuka dengan wajah Tuhan.

    ReplyDelete