Bani Quraizhah

Setiba di Madinah, Nabi mengetahui dengan yakin bahwa keberadaan Yahudi bakal menjadi penentang abadi atas kenabiannya.

Namun, beliau tetap berusaha menyambung hubungan damai dengan kaum Yahudi, sebelum akhirnya memang terbukti mereka berkhianat. Bani Qainuqa berkhianat. Bani Nadhir pun berkhianat. Kedua kaum Yahudi tersebut terusir dari Madinah.

Ketika diusir dari Madinah, Huyay ibn Akhthab, pemimpin Bani Nadhir, bersama Salam ibn Abi al-Haqiq dan Kinanah ibn ar-Rabi’, pergi ke Makkah untuk membalaskan dendam kepada Muhammad Saw.

Ya, saat itu, pada bulan Syawal tahun lima Hijriah, para pemimpin Bani Nadhir itu berhasil menghimpun sekutu-sekutu untuk melawan Rasulullah Saw. Mereka mendatangi kaum Quraisy dan meminta bergabung untuk berperang melawan sang Nabi Saw. Mereka juga pergi mendatangi Bani Ghathafan untuk bergabung.

Lantas, berangkatlah pasukan besar gabungan itu. Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan ibn Harb, Ghathafan di bawah pimpinan Uyainah ibn Hishn. Bersama pula orang-orang Bani Fazarah, Bani Murrah, dan Bani Asyja.

Mendengar kabar adanya pasukan besar gabungan yang diinisiasi Bani Nadhir, Rasulullah Saw. membuat parit (khandaq) untuk mengadang mereka memasuki kota Madinah. Rasulullah Saw. bersama pengikut akan bertahan di dalam kota.

Dari situ tampaklah, betapa Muhammad Saw. adalah seorang pemimpin, nabi, rasul, sekaligus panglima perang. Beliau merupakan panutan bagi pasukannya. Beliau ikut terjun dan terlibat aktif dalam penggalian parit. Beliau turut membawa pasir dari galian khandaq, dan menghantam batu dengan palunya. Intinya, beliau membaur bersama pasukannya.

Pada saat itu, Bani Quraizhah belum melepaskan perjanjian dengan Baginda Saw. Mereka sepertinya berhati-hati sekali untuk tidak bertindak ceroboh sebagaimana Bani Qainuqa atau pun Bani Nadhir.

Sementara, begitu Rasulullah Saw. dan umat Islam selesai membuat parit, Abu Sufyan tiba dengan membawa 4.000 pasukan. Ghathafan bersama warga Najd berjumlah 6.000 prajurit juga sampai tak lama kemudian.

Pasukan sekutu itu kaget dengan strategi militer Rasulullah Saw. yang sama sekali belum mereka ketahui sebelumnya. Kemudian, pemimpin ahzab (persekutuan besar Quraisy dan Arab) mengirim surat kepada Rasulullah Saw. untuk berperang dengan cara yang dilakukan orang Arab. Dan Nabi Saw. membalas surat itu yang isinya kurang lebih tak memenuhi permintaan lawan.

Sebelumnya tersebut, Bani Quraizhah masih mempertahankan kondisinya agar tidak bernasib seperti Bani Nadhir. Namun, perlu dicatat, bahwa titik lemah Madinah adalah Benteng Quraizhah. Dan hal ini diketahui baik oleh kaum Madinah maupun non-Madinah. Jika Bani Quraizhah membuka pintu mereka untuk ahzab dan memberikan dukungan untuk membela sesama Yahudi—Bani Qainuqa dan Bani Nadhir—maka, sungguh kabut genting pun bakal menyelimuti Madinah.

Dan Al-Waqidi maupun Ibnu Hisyam mengisahkan, Bani Quraizhah pun akhirnya berperilaku sebagaimana watak kaum Yahudi pada umumnya. Mereka memutus perjanjian dengan Nabi Saw. Mereka berpihak pada Bani Nadhir yang telah menghimpun ahzab. Mereka memutus perjanjian seperti yang termaktub dalam Piagam Madinah guna membantu Quraisy dan Ghathafan.

Sungguh, saat-saat yang sulit dan mendebarkan. Kaum Madinah dikepung selama 20 hari atau bahkan hampir sebulan oleh pasukan besar gabungan suku Quraisy dan Bani Ghathafan. Sementara dari dalam kota, kaum Yahudi Bani Quraizhah turut mengganggu kenyamanan pengungsi anak-anak dan perempuan.

Kaum Yahudi Bani Quraizhah menusuk dari dalam. Mereka tidak hanya menghina Nabi dengan ketus mengatakan, “Siapa Rasulullah itu? Kami tidak mempunyai perjanjian dengan Muhammad!” 

Mereka pun, sekali lagi, mengganggu keamanan anak-anak dan kaum perempuan Madinah yang ditinggal suami menjaga kota bersama Rasulullah Saw. 

Saat yang sedemikian kritis, Rasulullah Saw. menjalani strategi tipu daya. Beliau mengutus Nu’aim ibn Mas’ud untuk memecah belah pasukan gabungan musuh. 

Nu’aim, yang secara kebetulan telah mengikuti ajaran Rasulullah Saw. tetapi tidak diketahui keislamannya, baik oleh suku Quraisy, Bani Ghathafan, maupun Bani Quraizhah. Pertama, ia mendatangi kaum Yahudi Bani Quraizhah. 

Ia berbicara kepada mereka tentang sikap mereka dalam membantu kaum Quraisy dan Bani Ghathafan yang jelas-jelas bukan penduduk Madinah. Nu’aim menyarankan kepada mereka menolak untuk ikut membantu, kecuali mereka diberi jaminan berupa tokoh-tokoh Quraisy.

Kedua, Nu’aim menemui kaum Quraisy. Ia berpura-pura menunjukkan ketulusan membantu dengan memberitahu bahwa kaum Yahudi telah menyesali perbuatan mereka dan menuntut jaminan berupa tokoh-tokoh Quraisy untuk diserahkan kepada Nabi Saw. dan sahabat untuk dipenggal.

Ketiga, Nu’aim juga menemui pemimpin Ghathafan dan mengatakan hal yang sama persis seperti yang dikatakan kepada kaum Quraisy bahwa pemimpin Ghathafan mesti bersedia dijadikan jaminan.

Alhasil, Abu Sufyan dan pemimpin Bani Ghathafan mengecek ke Bani Quraizhah, dan benar adanya bahwa kaum Yahudi itu malas-malasan membantu pasukan gabungan, bahkan mereka menuntut agar para pemimpin Quraisy dan Ghathafan menyerah kepada pasukan Muslim. Apa yang dikatakan Nu’aim ternyata cocok dengan kenyataan, simpul mereka.

Dan buyarlah persekutuan pasukan besar itu, selain juga sebab angin kencang yang memporak-porandakan perkemahan mereka. Abu Sufyan bersama pasukannya meninggalkan Madinah. Pun dengan Bani Ghathafan yang sedari mula memang tak begitu berkepentingan menghancurkan Madinah selain janji kekayaan dari kaum Yahudi Bani Nadhir yang bersembunyi di Khaibar.

Kemudian tinggal nasib Bani Quraizhah. Rasulullah Saw. menyuruh Bilal untuk memberi tahu orang-orang, “Siapa yang mendengar dan taat maka janganlah shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraizhah.”

Singkatnya, Rasulullah Saw. dan pasukan Muslim berhenti di Bani Quraizhah dan mengepung mereka selama 15 hari (menurut keterangan Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, 25 malam), sampai mereka lelah dikepung dan menerima eksekusi mati bagi kaum laki-laki dewasa. Sementara anak-anak dan perempuan ditawan dan dijual ke pasar budak. Lebih detail, silakan baca Kitab Al-Maghazi karya Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi, atau Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam. 

Syahdan, petualangan Bani Quraizhah di Madinah berakhir. Mereka menuai nasib lebih mengenaskan ketimbang dua bani Yahudi sebelumnya. Karena mereka memang lebih menusuk pengkhianatannya. Mereka bak duri dalam daging saat kaum Muslim mesti berhadapan dengan pasukan ahzab.

Ungaran, 23 September 2024

Baca juga: Parit, Qainuqa dan Nadhir 

Post a Comment

0 Comments