Entah, hari-hari ini saya tertarik kembali untuk merunut kisah kaum Yahudi pada era Nabi Saw. Tepatnya kaum Yahudi di Madinah, kaum yang pantang lelah berusaha menjatuhkan Baginda Nabi Muhammad Saw.
Adalah Bani Qainuqa, kaum Yahudi pertama yang memerangi Rasulullah Saw. Saya merujuk Al-Maghazi yang ditulis al-Waqidi, kitab klasik yang dianggap paling otoritatif terkait peperangan-peperangan yang dialami Baginda Nabi Saw. Juga mengulik dari Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam.Al-Waqidi mencatat, begitu nyata adanya kedengkian besar dalam dada kaum Yahudi Bani Qainuqa terhadap kaum Muslim.
Dan kedengkian serta kebencian tersebut mulai mereka kobarkan setelah kaum Muslim memenangi Perang Badar, sebuah kemenangan telak yang tak mereka duga sebelumnya.
Semenjak itu, api kedengkian tak terbendungkan. Mereka tak menemu cara memadamkannya selain memulai tindak permusuhan. Mereka mencibir kemenangan kaum Muslim di Badar, “Jangan bangga dulu karena kalian menang melawan sekelompok Quraisy yang tidak cakap berperang. Andai kami mau memerangi kalian, kalian pasti takkan sanggup melawan kami.”
Padahal, seandainya saja kaum Bani Qainuqa itu mau menghormati perjanjian dengan Rasulullah Saw, niscaya mereka takkan menemukan seorang Muslim pun yang menyakiti perasaan mereka.
Namun, mereka mengabaikannya. Mereka memilih untuk berbuat onar. Seperti tindakan kasar beberapa orang Yahudi terhadap seorang perempuan Muslim agar membuka cadar mukanya di hadapan mereka.
Nah, insiden Bani Qainuqa yang tak menghargai perempuan Muslim itulah, satu dari sekian wujud rasa dengki mereka terhadap syariat yang dibawa Rasulullah Saw. Dan saya yakin masih banyak lagi peristiwa yang menunjukkan bahwa kaum Yahudi itu tak dapat melepaskan diri dari watak berkhianat terhadap kesepakatan yang tertera di Piagam Madinah.
Hanya memang, saya tidak telaten membuka-buka riwayat yang menunjukkan peristiwa di balik pengusiran Bani Qainuqa. Sebab tak mungkin pula Baginda Rasulullah Saw. bertindak tanpa sebab dan perhitungan yang tepat.
Ya, Rasulullah Saw. langsung mendatangi perkampungan Yahudi Bani Qainuqa, begitu ketahuan mereka melakukan pelanggaran dan memutus perjanjian. Rasulullah Saw. mengepung benteng mereka selama 15 malam.
Mereka pun menyerah di bawah keputusan Nabi. Beliau memerintahkan al-Mundzir ibn Qudamah untuk menangkap dan meringkus mereka dengan sangat ketat.
Abdullah ibn Ubay melewati mereka dan meminta, “Lepaskan mereka!”
Al-Mundzir menjawab, “Apakah kalian akan melepaskan kaum yang diringkus dan diikat oleh Rasulullah Saw. Demi Allah, tak seorang pun yang berani melepaskan mereka kecuali aku akan memenggal lehernya.”
Kemudian Abdullah ibn Ubay mendatangi Rasulullah Saw. “Wahai Muhammad, perlakukan para rekan-rekanku itu dengan baik!” kata Ibn Ubay sembari menarik baju Nabi dari arah belakang.
“Celaka kau!” sabda beliau. “Lepaskan aku!”
“Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau memperlakukan mereka dengan baik.” Jawab Ibn Ubay.
Karena permintaan Abdullah ibn Ubay tersebut, Rasulullah Saw. melepaskan dan memerintahkan Bani Qainuqa agar meninggalkan Madinah. Mendengar perintah Nabi, Abdullah ibn Ubay kembali menuntut agar mereka dibiarkan tinggal di rumah-rumah mereka.
Melihat pembelaan Abdullah ibn Ubay, orang-orang Bani Qainuqa berteriak, “Wahai Abu al-Hubab, kami tidak akan tinggal di sebuah negeri yang telah menimpakan celaka kepadamu, sementara kami tidak mampu membelamu.”
Sebelumnya Abdullah ibn Ubay memerintahkan mereka agar berlindung di dalam benteng mereka. Awalnya mereka mengira Abdullah ibn Ubay akan masuk ke dalam benteng bersama mereka. Namun Abdullah ibn Ubay ternyata mengelabuhi mereka, sehingga mereka harus diam di dalam benteng.
Memang demikian sikap munafik. Abdullah ibn Ubay seolah tampak baik tapi menjerumuskan. Ia pun tampil bak pahlawan buat kaum Bani Qainuqa di hadapan Rasulullah Saw.
Dalam benteng Yahudi Bani Qainuqa, tak satu pun anak panah yang mereka luncurkan dan tak satu pun dari mereka yang mengadakan perlawanan. Mereka benar-benar tunduk menyerah kepada kaum Muslim. Tatkala benteng terbuka, Muhammad ibn Maslamah dan Ubadah ibn Shamit adalah yang bertugas mengusir dan menyita harta mereka.
Orang-orang Yahudi itu berkata, “Wahai Abu al-Walid dari Aus dan Khazraj, dan kami adalah teman dekatmu, apakah pantas kau melakukan ini kepada kami?”
“Ketika kalian memerangi Rasulullah Saw., maka di antara kita sudah berlepas tangan.” Jawab Ubadah. Ya, pada masa sebelum Nabi Saw. hijrah, Ubadah ibn Shamit ini merupakan sekutu Bani Qainuqa.
Ubadah meminta Bani Qainuqa segera pergi meninggalkan Madinah. Namun, mereka minta kesempatan lagi. Dan Ubadah memberi mereka waktu tiga hari untuk beberes.
Tatkala tiga hari berlalu, Ubadah membuntuti mereka dari jarak yang lumayan, Ubadah berteriak lantang, “Pergilah jauh dan yang paling jauh.”
Kemudian dari riwayat ar-Rabi’ ibn Sabrah, tanpa sengaja dalam perjalanan dari Syam, ia bertemu dengan rombongan Bani Qainuqa ini. Mereka membawa anak-anak dan kaum wanita di atas unta, sedang mereka sendiri berjalan kaki.
Ibn Sabrah bertanya ke mereka, dan mereka menjelaskan, “Muhammad telah mengusir kami dan merampas harta kami.”
“Lalu kalian mau ke mana?” tanya Ibn Sabrah.
“Kami akan ke negeri Syam.”
Tatkala mereka sampai di Wadil Qura dan tinggal selama sebulan, Yahudi Wadil Qura memberikan kendaraan kepada yang berjalan kaki dan memberikan perbekalan, hingga mereka sampai dan menetap di Andzri’at.
Begitulah nasib kaum Yahudi Bani Qainuqa, yang terusir dari Madinah kala 20 bulan Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah. Padahal sebelumnya, mereka telah terikat perjanjian damai dengan Rasulullah Saw. yakni mereka tidak membantu musuh mana pun untuk memerangi Madinah.
Syahdan, Bani Qainuqa terusir dari Madinah setelah Perang Badar. Pun demikian dengan kaum Yahudi Bani Nadhir, yang mengalami nasib serupa seusai Perang Uhud.
Ibnu Hisyam menceritakan, suatu hari Sabtu di bulan Rabiul Awal tahun 4 Hijriah, Rasulullah Saw. dengan ditemani Abu Bakar, Umar, dan Ali, datang ke perkampungan Bani Nadhir, untuk menyelesaikan persoalan uang tebusan atas kematian dua orang Bani Amir. Antara Bani Amir dan Bani Nadhir terdapat persekutuan dan perjanjian.
“Baiklah, Abu Al-Qasim. Kami akan memenuhi keinginanmu,” ucap Bani Nadhir kepada Rasulullah Saw.
Sementara, beberapa orang dari Bani Nadhir berbisik dan merencanakan pengkhianatan. Amr ibn Jihasy berkata, “Aku yang akan naik ke atap rumah dan melemparkan sebongkah batu ke arahnya (maksudnya arah Rasulullah Saw.).” Saat itu, Rasulullah Saw. sedang duduk tepat di sisi dinding rumah salah seorang dari mereka.
Rasulullah Saw. mendapat kabar dari langit tentang rencana orang-orang Bani Nadhir itu. Seolah tengah memerlukan sesuatu, beliau segera pergi meninggalkan tempat, balik ke Madinah. Para sahabat pun menyusul tak mengerti kenapa Rasul Saw. tiba-tiba pergi.
Sesampai di Madinah, mereka bertanya heran, “Engkau sudah berdiri dan pergi tanpa kami sadari.”
“Orang-orang Yahudi itu telah merancang pengkhianatan, dan saat Allah memberitahuku soal itu, aku langsung pergi,” sahut Baginda Rasul Saw.
Itulah peristiwa kedua pengkhianatan yang dilakukan kaum Yahudi. Artinya, fakta historis itu bukti betapa kaum Yahudi tak pernah suka dengan kehadiran Rasulullah Saw. Apalagi setelah kemenangan Perang Badar yang kian mengukuhkan kedengkian mereka. Maka, setelah Perang Uhud pun Rasulullah Saw. dan pasukannya bergerak menuju perkampungan Bani Nadhir.
Sebelumnya, Bani Nadhir telah bersekongkol dengan kaum Quiraisy, menunjukkan titik-titik kelemahan kaum Muslim Madinah, jelang Perang Uhud. Ya, Ka’ab ibn Asyraf, salah seorang pemuka Bani Nadhir, tidak siap menerima berita kemenangan kaum Muslim di Badar, ia pergi ke Makkah menemui Abu Sufyan.
Singkatnya, setelah dikepung selama enam hari, kaum Yahudi Bani Nadhir menyerah dan memohon agar Rasulullah Saw. mengizinkan mereka keluar Madinah. Mereka semua pergi menyebar, ada yang ke Syam, ada yang ke Khaibar. Hanya dua orang dari mereka yang bersedia memeluk Islam dan tetap diberi hak kepemilikian utuh, Yamin ibn Amir (sepupu Amr ibn Jihasy) dan Abu Sa’d ibn Wahb.
Dari peristiwa dengan Bani Nadhir itu juga terbaca bahwa berita yang disampaikan Allah kepada Rasulullah Saw. tentang rencana makar orang-orang Yahudi merupakan salah satu dari sekian kejadian di luar nalar yang kerap dialami Nabi Saw.
Kejadian di luar nalar itu menunjukkan bahwa Muhammad Saw. tetaplah sebagai pribadi berpredikat nabi yang dikaruniai mukjizat. Beliau bisa melihat langsung sosok malaikat, termasuk Jibril, dengan mata kepala, bukan mata batin atau lewat mimpi. Sebagaimana kali pertama menerima wahyu di gua Hira, sang nabi didekap langsung oleh Jibril.
Alhasil, pribadi kenabian Muhammad Saw. merupakan asas utama bagi eksistensinya, selain tentunya sifat personalnya yang tiada duanya.
Ungaran, 22 September 2024
Baca juga: Tak Mengandalkan Keajaiban dan Bani Qainuqa
0 Comments