Uzlah

Masih bersama Dr. Muhammad Said Ramdhan Al-Buthy bahwa kegiatan menyendiri yang kerap dilakukan Rasulullah Saw. ini terjadi menjelang kenabiannya. Ini merupakan pertanda yang sangat agung dan memiliki nilai penting bagi kehidupan kaum Muslim secara umum dan para juru dakwah secara khusus.

Aktivitas Nabi Saw. ini menjelaskan bahwa seorang Muslim tidak sempurna keislamannya, meskipun dia telah menghiasi diri dengan berbagai ibadah, sebelum melakukan kegiatan menyendiri selama beberapa lama untuk menghisab diri dan merasakan pengawasan Allah Swt. serta memikirkan fenomena alam berikut bukti-bukti keagungan Allah. 

Itu penting dilakukan setiap Muslim yang menghendaki keislaman yang benar, terlebih lagi Muslim yang ingin menjadi juru dakwah dan menyeru orang lain untuk mengikuti jalan yang benar.

Di antara hikmah menyendiri adalah bahwa sesungguhnya dalam jiwa kita ada kerusakan yang hanya dapat diobati dengan cara menyendiri dari keramaian lalu mengevaluasi diri dalam suasana yang hening dari hiruk-pikuk dunia. Dengan cara itu, seseorang bisa mengurangi bahkan menghilangkan sikap sombong, ujub, dengki, riya, dan cinta dunia. Yang semua itu merupakan penyakit yang akan merusak jiwa manusia dan menodai kesucian hatinya, dan menghancurkan batinnya meskipun dia banyak melakukan amal saleh dan ibadah yang apik. Sekali lagi, semua itu akan merusak, meskipun seseorang sibuk berdakwah, menasihati, mengarahkan, dan membimbing banyak orang.

Berbagai kerusakan itu tidak dapat diobati, kecuali jika si penderita pergi menyendiri untuk mengevaluasi dan merenungi hakikat dirinya, Penciptanya, serta sejauh mana kebutuhannya pada pemeliharaan dan taufik Allah Swt. Menyendiri juga dilakukan untuk merenungkan manusia dan ketidakberdayaannya di hadapan Sang Khalik. Jadi, tidak ada gunanya menyanjung atau mencela mereka. 

Kesendirian juga diperlukan untuk memikirkan fenomena keagungan Allah, Hari Akhir, Hisab dengan segala fenomena yang mengiringinya; merenungkan betapa besar kasih sayang Allah dan betapa berat hukuman-Nya. Setelah proses berpikir yang lama dan berkesinambungan mengenai segala hal itu, terkikislah penyakit dan kerusakan jiwa. Hiduplah hati dengan cahaya makrifat dan bersih dari segala karat dunia.

Hal lain yang juga sangat penting dalam kehidupa kaum Muslim secara umum dan juru dakwah secara khusus adalah pendidikan hati untuk mencintai Allah Swt. Sebab, ini merupakan sumber pengorbanan dan jihad serta landasan dakwah yang benar. Lagi pula, cinta kepada Allah Swt. tidak muncul dari dasar keimanan yang hanya bersifat rasional. Sebab, berbagai persoalan rasio semata tidak pernah memengaruhi hati dan perasaan. Andai berpengaruh, tentu para orientalis berada di barisan terdepan orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan pastilah hati mereka dipenuhi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Jalan untuk mencintai Allah setelah beriman kepada-Nya adalah selalu merenungkan limpahan nikmat-Nya dan memikirkan betapa besar keagungan-Nya, kemudian memperbanyak zikir kepada-Nya dalam hati dan dengan lisan. Semua itu hanya terwujud melalui kegiatan menyendiri dan menjauhi segala kesibukan dan hiruk-pikuk dunia selama waktu tertentu yang sengaja disisihkan secara berkesinambungan.

Apabila seorang Muslim mengikuti langkah-langkah ini, niscaya akan tumbuh dalam hatinya kecintaan yang besar kepada Allah, yang membuatnya meremehkan segala yang besar, dan mengabaikan segala godaan, serta menganggap enteng segala penindasan dan siksaan. Dia pun dapat mengatasi berbagai tindakan orang yang memusuhi, menghina, dan mencelanya. Inilah pembekalan penting yang harus dilakukan setiap juru dakwah sehinga dia memiliki senjata ampuh untuk menyeru manusia kepada Allah. Ini pulalah bekal yang dipersiapkan AllahSwt. bagi kekasih-Nya, Muhammad Saw., sehingga beliau siap memikul beban risalah Islam yang sangat berat.

Pasalnya, motif-motif perasaan, seperti kecemasan, cinta, dan harapan dapat melakukan pelbagai hal yang tidak bisa dilakukan akal. Aneka sarana pun digunakan untuk mewujudkan motif-motif perasaan dalam hati ini, yang arti pentingnya telah disepakati para ulama. Mayoritas ulama menyebutnya sebagai tasawuf. Sebagian ulama menyebutnya sebagai ihsan, atau ada juga yang menyebutnya suluk.

Kegiatan menyendiri yang dipraktikkan Nabi Saw. menjelang kenabiannya merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan motif-motif ini dalam jiwanya. Hanya jangan memahami aktivitas Nabi Saw. itu dalam pengertian khalwat, yakni sepenuhnya berpaling dari manusia lalu menjadikan gua-gua dan gunung-gunung sebagai tempat tinggal seraya menganggapnya sebagai keutamaan pribadi.

Pemahaman seperti itu bertentangan dengan petunjuk Nabi Saw. dan contoh yang ditampilkan para sahabatnya. Khalwat yang dianjurkan adalah yang bertujuan untuk memperbaiki diri. Karena kedudukannya sebagai obat, khalwat mestilah sesuai dengan ukuran dan waktu mengonsumsinya. Jika berlebihan, obat akan berubah menjadi penyakit yang patut dihindari. Lagi pula, apabila kita mencermati riwayat hidup orang-orang saleh yang terus melakukan khalwat dan menjauhi masyarakat, itu merupakan kondisi khusus sesuai dengan kebutuhan pribadinya. Jadi, perbuatannya itu tidak menjadi hujah bagi orang kebanyakan.  

Baca juga: Ka’bah

Post a Comment

0 Comments