Berkenaan dengan tahapan pertama dakwah Rasulullah Saw., kita bisa memetik hikmah bahwa Nabi Saw. berdakwah secara rahasia selama beberapa tahun bukan karena beliau mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Sebab, sejak beliau dibebani dakwah dan kepada beliau diturunkan firman Allah Swt., “Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berikanlah peringatan,” beliau sudah menyadari bahwa dirinya adalah utusan Allah bagi umat manusia.
Maka, Rasulullah Saw. yakin bahwa Tuhan yang mengutus dan menugaskan dakwah ini kepada beliau pastilah melindungi dan menjaga beliau dari kejahatan manusia. Seandainya Allah Swt. memerintahkan beliau langsung berdakwah secara terang-terangan, tentu Rasulullah Saw. tidak akan menunda-nundanya sekejap pun meski resikonya adalah kematian.
Namun, Allah Swt. memberi ilham kepada Rasulullah agar memulai dakwah pada tahapan awal ini secara diam-diam dan hanya kepada orang yang beliau yakini akan menerimanya.
Tahapan awal yang ditempuh Nabi Saw. mengandung pelajaran penting bagi kaum Muslim di zaman sekarang, terutama para juru dakwah. Tahapan ini mengajarkan kepada kita agar selalu membuat perencanaan yang matang dan mengambil langkah-langkah yang praktis dan efektif agar kita berhasil meraih tujuan. Kita juga seharusnya mempersiapkan secara cermat berbagai sarana yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan.
Namun, semua langkah itu jangan sampai menafikan kuasa Allah, karena yang seperti itu akan merusak fondasi keimanan kepada Allah dan bertentangan dengan tabiat dakwah Islam.
Dari sini dapat diketahui bahwa cara dakwah Rasulullah Saw. pada tahapan ini merupakan kebijakan hukumnya sebagai imam, bukan bagian dari tugas tabligh-nya sebagai nabi.
Bagian ini mengandung pelajaran bagi para juru dakwah Islam untuk senantiasa bersikap lentur dalam menyampaikan dakwah sehingga mungkin di satu waktu dakwah dilakukan secara diam-diam tetapi di waktu lain secara terang-terangan; di satu waktu dengan metode yang lemah lembut dan di waktu lain dengan sikap yang lebih tegas dan keras, sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi pada zamannya. Inilah kelenturan yang diajarkan syariat Islam seperti yang tergambar dalam Sirah Nabi Saw. Setiap dai dapat menempuh jalan dan metode dakwah tertentu selama dia tetap memperhatikan kemaslahatan kaum Muslim dan keberlangsungan dakwah Islam.
Oleh karena itu, kebanyakan ahli fiqih bersepakat bahwa ketika jumlah kaum Muslim masih sedikit atau posisinya masih lemah, dan kemungkinan besar mereka akan dibunuh, serta tak memiliki peluang untuk mengalahkan musuh maka yang harus didahulukan adalah kemaslahatan yang lain, yaitu kemaslahatan agama.
Al-Izz bin Abdus Salam pun berpendapat bahwa haram hukumnya berjihad dalam kondisi seperti ini. Dia menandaskan, “Apabila tidak bisa mengalahkan, kita wajib mengalah karena perlawanan (dalam keadaan ini) justru mengakibatkan kematian, dan hanya akan membuat senang orang kafir yang terus menghina kaum Muslim. Perlawanan seperti ini hanya menimbulkan kerusakan, bukan kemanfaatan.”
Syekh Said Al-Buthy sendiri berpendapat bahwa dalam tahapan ini yang didapatkan tidak hanya kemaslahatan jiwa. Sebab, dari sisi hakikat dan rencana jangka panjang, tahapan ini pun mengandung kemaslahatan agama. Karena, keberlangsungan atau kemaslahatan agama menuntut keselamatan hidup kaum Muslim. Jika mereka bisa bertahan hidup, mereka bisa melakukan jihad dan terus menyebarkan dakwah di medan-medan jihad lainnya yang masih terbuka. Sebaliknya, jika mereka mati, tentu agama pun terancam punah dan semakin banyak kesempatan yang dimiliki kaum kafir untuk menerobos jalan yang selama ini tertutup.
Singkat kata, kita wajib berdamai atau berdakwah secara diam-diam apabila dakwah terang-terangan atau perang justru akan merugikan dakwah. Sebaliknya, kita tidak boleh berdakwah secara diam-diam jika dakwah bisa dilakukan secara terang-terangan. Kita juga tidak boleh berdamai dengan orang zalim yang memusuhi dakwah jika kita sudah memiliki kekuatan dan pertahanan yang memadai. Juga, kita mesti melawan orang kafir di negeri mereka sendiri apabila kita memiliki kekuatan dan sarana yang memadai untuk itu.
Berkenaan dengan orang-orang yang pertama memeluk Islam serta hikmah di balik keislaman mereka, Sirah Nabi Saw. menuturkan kepada kita bahwa kebanyakan mereka adalah orang miskin, lemah, dan para budak. Apa hikmahnya? Mengapa komunitas Islam didirikan pertama kali oleh kelompok yang lemah ini?
Jawabannya, fenomena itu merupakan buah alami dakwah para nabi pada tahap pertamanya. Perhatikanlah kisah Nabi Nuh a.s. yang diikuti oleh golongan yang lemah dan miskin. Oleh karena itu, kaum Nabi Nuh a.s. mengejeknya lantaran para pengikutnya hanyalah orang yang dianggap paling hina di antara mereka (baca QS Hud: 27).
Perhatikan pula kisah Nabi Musa a.s. yang harus berhadapan dengan Fir’aun, sang penguasa negeri. Lihatlah, betapa Fir’aun dan para pendukungnya memandang para pengikut Musa a.s. sebagai orang hina yang tertindas (baca QS Al-A’raf: 37).
Atau kisah kaum Tsamud yang menolak seruan Nabi Shalih a.s. dalam surah Al-A’raf ayat 75 dan 76. Yang artinya, tujuan risalah yang dibebankan Allah kepada semua nabi dan rasul adalah mengentaskan manusia dari kekuasaan dan pengaturan sesama manusia menuju kekuasaan dan pengaturan Allah.
Dan hakikat tersebut selaras dengan keadaan orang tertindas serta yang diperbudak. Sikap tunduk patuh dan menerima untuk berhamba hanya pada Allah kerap ditunjukkan oleh kalangan yang tertindas, kalangan lemah, dan kaum pinggiran. Sementara, reaksi penolakan terhadap ajakan berserah diri kepada Allah justru ditunjukkan oleh orang yang mengaku tuhan dan berkuasa.
Ya, begitulah yang dipaparkan Syekh Said Ramadhan Al-Buthy.
Baca juga: Setelah Pewahyuan Pertama
0 Comments