Setelah Pewahyuan Pertama

 

Sementara, masih dari Syekh Ramadhan Al-Buthy, berkaitan dengan terputusnya wahyu setelah wahyu pertama selama enam bulan atau lebih, sesugguhnya mengandung hikmah Ilahi yang luar biasa. Sebab, jeda waktu itu dapat membantah penafsiran musuh-musuh Islam yang menganggap wahyu Nabi Saw. sebagai pencerahan batin yang bersumber dari perenungan yang lama dan berulang-ulang, dan bahwa pewahyuan itu adalah kondisi internal yang muncul dari diri Nabi sendiri.

Kebijaksanaan Ilahi menetapkan agar malaikat yang dilihat Nabi Saw. pertama kali di Gua Hira itu tidak menemui beliau lagi selama beberapa waktu sehingga beliau merasa khawatir, lalu kekhawatiran itu berubah menjadi kecemasan terhadap dirinya. 

Nabi khawatir jika Allah Swt. meninggalkan beliau setelah pada pewahyuan pertama memuliakan beliau untuk mengemban risalah. Nabi khawatir jika Allah mengabaikannya karena keburukan atau kesalahan yang beliau lakukan. Akibatnya, beliau merasakan dunia teramat sempit dan mulailah setiap kali berjalan melewati bukit terlintas keinginan menjatuhkan diri dari sana. 

Kecemasan dan kekhawatiran terus melanda dirinya hingga pada suatu hari beliau melihat kembali malaikat yang dulu dilihatnya di Gua Hira. Sosok malaikat memenuhi ruang antara langit dan bumi itu mucul di hadapan Nabi Saw. dan berkata, “Hai Muhammad, kau adalah utusan Allah kepada umat manusia.” Dia pun mengulanginya sekali lagi. Sementara, Nabi Saw. kembali dilanda rasa sakut luar biasa sehingga kemudian berlari pulang ke rumah. Di sanalah turun firman Allah Swt, “Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan …!” (Al-Muddatstsir: 1-2).

Dengan mencermati keadaan yang dialami Rasulullah Saw. ini, kita dapat mengatakan bahwa pemikiran yang menganggap fenomena wahyu sebagai gejala kejiwaan biasa seperti pencerahan batin yang dialami orang-orang tertentu adalah yang sangat keliru. Pasalnya, sudah jelas bahwa orang yang mendapat ilham dan pencerahan batin atau lintas pikiran tidak akan mengalami kondisi jiwa seperti yang dialami Nabi Saw.

Oleh karena itu, dengan mempelajari peristiwa turunnya wahyu yang pertama, kita akan mendapatkan bantahan yang tegas terhadap berbagai pemikiran sesat dan keliru, yang bertujuan untuk menyusupkan keraguan dalam hati orang yang beriman terhadap wahyu dan kenabian Muhammad Saw. Apabila hal ini sudah jelas, niscaya kita menyadari betapa hebatnya kebijaksanaan Ilahi yang menurunkan wahyu dengan cara dan dalam waktu yang Dia Kehendaki.

Orang-orang yang gemar menyusupkan keraguan itu kemudian mengajukan pertanyaan lain, “Lantas, mengapa setelah itu wahyu diturunkan kepada Nabi Saw. ketika beliau bersama para sahabat tetapi tidak ada yang melihat sang malaikat selain beliau?”

Untuk menjawabnya, perlu diketahui bahwa keberadaan sesuatu tidak meniscayakan agar sesuatu itu bisa dilihat dengan mata. Sebab, mata yang menjadi alat untuk melihat memiliki kekuatan yang sangat terbatas. Jika tidak, ada banyak hal yang akan dianggap tidak ada karena mata kita tidak bisa melihatnya. Padahal, sangat mudah bagi Allah Swt.—Sang Pencipta mata—untuk menambah kekuatan mata pada salah satu makhluk-Nya sehingga ia bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat makhluk lainnya. 

Malik bin Nabi mengatakan, “Buta warna, misalnya, merupakan contoh yang menjelaskan kepada kita tentang kondisi ideal. Kita tidak dapat melihat warna tertentu, dan ini berlaku bagi semua mata. Dan, ada pula serangkaian sinar infra merah dan ultra violet yang tidak bisa dilihat oleh mata kita. Juga, tidak ada satu pun yang terbukti secara ilmiah itu berlaku bagi semua mata, karena ada mata yang kurang peka dan ada juga yang lebih peka.”

Kemudian, berkaitan dengan berlanjutnya wahyu setelah jeda selama beberapa waktu, kita bisa menarik beberapa hikmah Ilahi yang sangat besar di dalamnya, bertentangan dengan pandangan para penebar keraguan yang menganggap wahyu semata-mata sebagai fenomena kejiwaan.

Jeda antara wahyu pertama dan wahyu kedua mengandung hikmah untuk membedakan dengan tegas antara Al-Quran dan Hadis. Sebab, Rasulullah Saw. memerintahkan agar yang pertama (Al-Quran) langsung dicatat, sedangkan yang kedua (Hadis) hanya disimpan dalam ingatan para sahabatnya. 

Ini tidak berarti bahwa hadis adalah kata-kata yang bersumber dari pikiran dan ungkapan Nabi Saw. sendiri yang tidak ada kaitannya dengan kenabian, tetapi karena Al-Quran diwahyukan kepada beliau dengan redaksi dan huruf yang sama persis melalui perantaraan Jibril a.s. Sementara hadis, hanya maknanya yang merupakan wahyu dari Allah, sedangkan redaksi dan struktur kalimatnya berasal dari Nabi Saw.

Rasulullah Saw. juga mewanti-wanti kepada para sahabat agar jangan sampai firman Allah yang beliau terima dari Jibril dicampuradukkan dengan kata-katanya sendiri.

Nabi Saw. pernah ditanya tentang suatu urusan, lantas beliau tidak menjawabnya, dan mungkin saja beliau mendiamkannya cukup lama sehingga ketika ayat Al-Quran turun berkenaan dengan pertanyaan itu, barulah beliau memanggil si penanya dan membacakan kepadanya ayat Al-Quran tentang persoalan itu. Juga, kadang-kadang Rasulullah Saw. melakukan tindakan tertentu lantas turun ayat Al-Quran yang menegur atau mengoreksi tindakannya itu, dan tidak jarang ayat-ayat itu menegur beliau cukup keras.

Lagian begini, Rasulullah Saw. adalah seorang tunaaksara. Jadi, tidak mungkin beliau mengetahui fakta-fakta sejarah hanya melalui perenungan, misalnya mengetahui kisah Yusuf a.s., ibunda Musa a.s. yang menghanyutkan bayinya di sungai, dan juga tentang kisah Fir’aun. Namun, berkat Ilahi Nabi Saw. mengetahui semua itu, padahal beliau tunaaksara.

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Quran) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).” (Al-Ankabut: 48)

Kejujuran Nabi Saw. kepada kaumnya selama 40 tahun dan popularitas beliau di tengah mereka sebagai orang yang jujur menunjukkan bahwa selamanya beliau adalah orang yang jujur, baik sebelum maupun sesudah kenabian. Oleh karena itu, ketika menerima wahyu, beliau pasti telah menyingkirkan segala keraguan yang mungkin melanda pikirannya.

Juga, firman Allah berikut, seakan-akan menjawab kekhawatiran Nabi Saw. berkaitan dengan wahyu yang diterimanya, “Maka, jika kamu (Muhammad) berada dalam keraguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, tanyakanlah kepada orang yang membaca kitab sebelummu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu. Maka, janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu-ragu.” (Yunus: 94).

Baca juga: Permulaan Wahyu

Post a Comment

0 Comments