Menarik menyimak paparan Dr. Al-Buthy ini. Bahwa cerita tentang permulaan wahyu merupakan fondasi yang di atasnya dibangun seluruh fakta agama beserta segala keyakinan dan hukumnya. Lagian, memahami dan meyakini wahyu wajib bagi siapa pun sebelum meyakini semua berita gaib dan perintah hukum yang dibawa Nabi Saw.
Sebab, hakikat wahyu merupakan satu-satunya hal yang membedakan antara manusia yang berpikir rasional mengandalkan pikiran serta akalnya dan manusia yang menyampaikan dari Tuhannya tanpa mengubah, mengurangi, ataupun menambahkannya sedikit pun.
Karena hal itulah, orang-orang yang kerap menulis berbagai hal yang menyebarkan keraguan terhadap Islam sangat menaruh perhatian pada upaya untuk menyerang masalah wahyu dalam kehidupan Nabi Saw.
Mereka bekerja keras meneliti dengan tujuan untuk mengaburkan hakikat pewahyuan dan mencampuradukkannya dengan ilham serta lintasan pikiran. Bahkan, mereka menyamakannya dengan orang yang menderita serangan epilepsi. Semua itu mereka lakukan karena tahu betul bahwa topik wahyu merupakan sumber keyakinan dan keimanan kaum Muslim terhadap ajaran yang dibawa Muhammad Saw. dari sisi Allah Swt.
Maka, jika kaum Muslim dapat dibuat ragu mengenai hakikat wahyu, sangat mungkin mereka dijadikan kafir terhadap segala keyakinan dan hukum yang bersumber darinya. Lebih jauh, bisa jadi mereka akan berpikir bahwa segala prinsip dan hukum syariat yang didakwahkan Muhammad Saw. hanyalah buah pikirannya pribadi, bukan berasal dari Allah.
Untuk tujuan itulah, musuh-musuh Islam yang kerap mengobarkan perang pemikiran berupaya menakwilkan fenomena wahyu dan menyimpangkannya dari hakikat yang diriwayatkan kepada kita oleh para sejarawan dan disampaikan melalui hadis-hadis sahih yang mulia. Mereka semua melakukan berbagai upaya, merajut daya imajinasi mereka dengan berbagai pemikiran yang kerap kali dipaksakan dan tampak aneh.
Di antaranya mereka membayangkan bahwa Muhammad Saw. adalah sosok yang gemar merenung dan berpikir hingga akhirnya terbentuk dalam benaknya suatu cara untuk menyingkapkan secara bertahap dan berkesinambungan suatu akidah yang memadai untuk menghancurkan paganisme. Ada juga yang memilih untuk menyebarkan rumor bahwa Muhammad Saw. mempelajari Al-Quran dan prinsip-prinsip Islam dari Buhaira sang rahib. Sebagian lainnya berpendapat bahwa Muhammad Saw. adalah orang yang menderita epilepsi.
Ketika melihat berbagai tuduhan aneh seperti itu, orang yang berakal akan melihat bahwa mereka melontarkan tuduhan itu hanya untuk menghindari pengakuan atas kenabian Muhammad Saw. Kita menyadari keagungan dan kejelasan hikmah Ilahi yang terkandung dalam pewahyuan kepada Rasulullah Saw.
Mungkin terlontar pertanyaan, mengapa Rasulullah Saw. harus melihat Jibril dengan mata kepalanya sendiri untuk pertama kalinya, padahal sangat mungkin beliau menerima wahyu dari balik tirai?
Kenapa Allah mengejutkan Nabi Saw. dan membuat beliau ketakutan serta kebingungan memahami fenomena itu, padahal cinta dan penjagaan Allah bagi Rasul-Nya menuntut agar beliau diberi ketenangan dalam hatinya dan dimantapkan jiwanya, sehingga beliau tidak takut atau bingung?
Mengapa beliau mesti mengkhawatirkan dirinya jika yang menjelma di Gua Hira hanyalah jin, bukan malaikat yang ditugasi Allah?
Kenapa pula setelah itu wahyu terputus dari Nabi Saw. untuk beberapa lama sehingga Nabi Saw. merasa sangat kacau hingga beliau berusaha untuk menjatuhkan diri dari atas bukit?
Semua itu adalah pertanyaan yang wajar muncul berkaitan dengan permulaan turunnya wahyu. Ketika merenungkan pertanyaan-pertanyaan itu, Syekh Said Ramadhan mengemukakan bahwa fenomena ini mengandung hikmah yang sangat jelas, yaitu bahwa orang yang berpikiran bebas dapat menemukan hakikat yang menghindarkan dirinya dari jeratan musuh-musuh Islam yang selalu melancarkan perang pemikiran.
Ketika menyepi di Gua Hira, Nabi Saw. melihat Jibril tepat di hadapannya, sambil berkata, “Bacalah!” Ini menggambarkan bahwa fenomena wahyu bukanlah urusan pribadi seorang manusia yang bersumber pada lintasan pikiran semata, melainkan juga melibatkan hadirnya hakikat eksternal yang tidak ada sangkut-pautnya dengan diri dan keadaan pribadi.
Diriwayatkan bahwa Jibril terus mendekap lalu melepaskan beliau sebanyak tiga kali, dan setiap kali mendekap berkata, “Bacalah!” Peristiwa ini menegaskan adanya kehadiran suatu entitas eksternal dan sekaligus juga menunjukkan penolakan Muhammad terhadap segala sesuatu yang asing dan mungkin membahayakan dirinya. Penolakan itu bertujuan untuk memastikan bahwa realitas eksternal yang hadir di hadapannya itu bukanlah sekadar khayalan.
Nabi Saw. juga merasa takut dan cemas terhadap apa yang beliau dengar dan beliau lihat sehingga segera menghentikan khalwat-nya di gua itu dan bergegas pulang ke rumah dengan hati yang gelisah.
Ini merupakan gambaran yang jelas bagi siapa pun yang mau berpikir dan menggunakan akalnya bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah mendambakan kerasulan yang kemudian dibebankan atas dirinya untuk disampaikan kepada seluruh manusia.
Itu juga menunjukkan bahwa fenomena wahyu ini tidak selaras dengan apa pun yang terbayang atau terlintas dalam benak Baginda Muhammad Saw. Justru feomena ini benar-benar sesuatu yang baru dalam hidupnya dan terjadi secara tiba-tiba tanpa pernah beliau perkirakan. Juga, ini bukanlah kondisi orang yang secara bertahap merenung dan berpikir hingga akhirnya terbentuk—melalui penyingkapan yang bertahap dan kontinu—suatu akidah yang diyakini untuk didakwahkan.
Lagi pula, segala macam ilham, lintasan pikiran, pencerahan batin, atau perenungan seserius apa pun tidak akan menimbulkan rasa takut, rasa bimbang, atau membuat seseorang menjadi pucat pasi. Juga, tidak ada sedikit pun kesesuaian antara tahapan pemikiran dan perenungan di satu sisi dan rasa takut serta cemas yang tiba-tiba datang di sisi lain. Jika merenung dan berpikir menimbulkan rasa takut, kecemasan, dan kegelisahan, tentu banyak pemikir yang akan terus-menerus dilanda kecemasan, dan ketakutan yang muncul tiba-tiba.
Kita tentu mengetahui bahwa rasa cemas, takut, gelisah, disertai warna kulit memucat, semua itu menunjukkan emosi kejiwaan yang tidak mungkin dibuat-buat. Bahkan, itu tetap tidak mungkin dibuat-buat seandainya kita menganggap bahwa Nabi Saw. sanggup menipu orang dengan cara berpura-pura. Kita menganggapnya mustahil, jika Nabi Saw. yang telah dikenal sebagai orang yang jujur dan tepercaya di tengah masyarakatnya, tiba-tiba berbalik menjadi seorang penipu, seorang pembohong.
Rasa takut yang dialami Nabi Saw. itu datang tiba-tiba disertai kebimbangan dalam hati karena takut jika sosok yang muncul di hadapannya itu, yang kemudian mendekap dan berbicara kepadanya adalah jin. Pasalnya, setelah memberi tahu Khadijah, beliau berkata kepadanya, “Aku benar-benar mengkhawatirkan diriku.” Maksudnya, Nabi Saw. khawatir dirinya terkena gangguan jin. Namun, Khadijah menenangkan dan mengatakan bahwa beliau tidak mungkin diusik setan atau jin, karena beliau memiliki akhlak yang mulia dan sifat yang terpuji.
Allah Swt. Mahakuasa untuk memantapkan hati Rasulullah Saw. dan menenangkan jiwanya sehingga beliau yakin bahwa sosok yang berbicara dengannya adalah Jibril, salah satu malaikat Allah yang datang untuk mengabarkan bahwa beliau adalah utusan Allah bagi umat manusia.
Namun, kebijaksanaan Ilahi menuntut untuk menampakkan pemisahan total antara kepribadian Muhammad Saw. sebelum kenabian dan kepribadiannya setelah kenabian, serta mengungkapkan bahwa tidak satu pun dari akidah atau syariat Islam merupakan hasil perenungan Muhammad Saw. sebelumnya, dan bahwa tidak pernah terlintas keinginan sedikit pun untuk menyerukan risalah tersebut kepada umat manusia.
Kemudian, Allah mengilhamkan kepada Khadijah untuk mengantarkan Nabi Saw. menemui Waraqah bin Naufal serta menceritakan masalah itu kepadanya. Riwayat itu menggambarkan bahwa apa yang datang kepada Nabi Saw. secara tiba-tiba ini merupakan wahyu Ilahi yang pernah turun kepada para nabi sebelumnya. Pertemuan Nabi Saw. dengan Waraqah juga dimaksudkan untuk menyingkirkan keraguan, kecemasan, dan kesamaran yang sempat melanda jiwa beliau setelah mendapatkan wahyu pertama.
Begitulah.
Baca juga: Uzlah
0 Comments