Kisah pertemuan Rasulullah Saw. (yang baru genap berusia 12 tahun) dengan Buhaira menunjukkan bahwa Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Kristen, memiliki pengetahuan tentang kenabian Muhammad Saw. dan tanda-tandanya.
Mereka mengetahui kenabiannya dan penjelasan tanda-tanda serta karakteristiknya melalui berita dalam Taurat dan Injil. Ada banyak dalil mengenai hal ini. Salah satunya diriwayatkan oleh ulama ahli Sirah bahwa kaum Yahudi memohon dengan (perantara) Rasulullah Saw. kemenangan atas Suku Aus dan Khazraj bahkan sebelum beliau diutus. Mereka berkata, “Seorang nabi akan diutus tidak lama lagi. Kami akan mengikutinya dan menumpas kalian seperti ditumpasnya kaum Ad dan Iram.”
Tatkala kaum Yahudi melanggar janji mereka itu, Allah menurunkan firman-Nya, “Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang kafir maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Oleh karena itu, laknat Allah atas orang yang ingkar itu.” (Al-Baqarah: 89).
Al-Qurthubi dan yang lainnya juga meriwayatkan bahwa ketika turun firman Allah Swt., “Orang (Yahudi dan Kristen) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan, sungguh Sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146).
Umar bin Khattab bertanya kepada Abdullah bin Salam—orang Yahudi yang kemudian masuk Islam, “Apakah kau mengenal Muhammad Saw. sebagaimana kau mengenal putramu sendiri?” Dia menjawab, “Ya. Bahkan lebih dari itu. Allah mengutus petugas-Nya di langit-Nya kepada petugas-Nya di bumi-Nya untuk menyampaikan sifatnya (Muhammad Saw.) sehingga aku mengenalinya. Adapun putraku, aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada ibunya.”
Selain itu, faktor yang menyebabkan Salman Al-Farisi masuk Islam adalah sambung-menyambungnya berita tentang Nabi Saw. berikut sifat-sifatnya dari Injil, para rahib, dan orang-orang yang memahami Al-Kitab.
Ini tidak menafikan bahwa banyak Ahli Kitab yang mengingkari pengetahuan ini, dan bahwa Injil yang beredar sekarang tidak mengandung satu isyarat tentang kenabian Muhammad Saw. Sudah dimaklumi bahwa terjadi pemutarbalikan fakta terhadap kitab-kitab tersebut dengan penggantian, pengurangan, dan penambahan.
Mahabenar Allah yang berfirman dalam kitab-Nya, “Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Alkitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka, kecelakaan yang besar bagi orang yang menulis Alkitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, ‘Ini dari Allah,’ (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka, kecelakaan besar bagi mereka, akibat apa yang ditulis tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besar bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 78-79).
Kemudian, Rasulullah Saw. mengisi usia mudanya dengan giat mencari rezeki. “Dahulu aku menggembalakan kambing dengan upah beberapa qirath untuk penduduk Makkah.”
Ada tiga bukti penting terkait dengan aktivitas Nabi Muhammad Saw. menggembala kambing dan mencari rezeki.
Pertama, melalui aktivitas itu Nabi Saw. memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi. Meskipun pamannya sangat mencintai beliau dan menjaganya sepenuh hati bagaikan kepada anaknya sendiri, Rasulullah Saw. tidak mau berpangku tangan dan berdiam diri. Beliau sejak kecil telah belajar mencari nafkah dan bekerja keras guna meringankan beban pamannya. Mungkin saja manfaat atau hasil dari pekerjaan yang dipilihkan Allah Swt. bagi beliau ini hanya sedikit dan tidak berarti bagi Abu Thalib. Namun, itu mencerminkan akhlak luhur yang merupakan wujud ungkapan terima kasih sekaligus mencerminkan watak seorang pemuda yang rajin, gigih, cerdas, dan berbakti.
Kedua, aktivitas itu mengandung rambu-rambu mengenai model kehidupan yang diridhai Allah Swt. bagi hamba-Nya yang saleh di dunia. Sungguh mudah bagi Allah Yang Mahakuasa untuk menyediakan berbagai sarana hidup dan kenyamanan bagi Muhammad sejak masih kecil sehingga beliau tidak perlu bekerja keras atau menggembalakan kambing untuk memenuhi nafkah hidup dan keluarganya.
Namun, dengan kebijaksanaan Ilahi itu, kita mengetahui bahwa harta benda terbaik yang dimiliki seseorang adalah yang dia upayakan dengan kerja keras tangannya sendiri, dan dengan melayani masyarakat serta kaumnya sendiri. Sementara harta benda yang terburuk adalah yang didapatkan dari hasil keringat orang lain, diperoleh dengan berleha-leha, tanpa bersusah payah sedikit pun dan tidak memberi manfaat bagi masyarakat.
Ketiga, juru dakwah siapa pun tidak akan bisa mengembangkan dakwahnya di tengah manusia jika nafkahnya diperoleh dari dakwahnya itu atau mengandalkan pemberian dan sedekah orang lain. Maka, para juru dakwah Islam sudah semestinya bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya, tidak meminta-minta dan mengandalkan pemberian orang lain. Dengan begitu, dia tidak berhutang budi kepada siapa pun dalam urusan dunianya. Jika dia bersandar pada orang lain, dia tidak akan bisa menyampaikan dakwah dan nasihatnya secara independent dan secara terus-terang kepada mereka tanpa memedulikan apa pun reaksi mereka.
Oleh karena itu, Rasulullah Saw. telah dididik sejak kecil untuk mencari nafkah, bekerja, membantu pamannya memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga. Beliau melakukan semua itu tanpa mengetahui atau menduga bahwa beliau kelak akan mengemban tugas yang sangat berat dan agung, menyampaikan risalah Ilahi kepada seluruh umat manusia.
Itulah pendidikan yang disiapkan Allah Swt. bagi beliau. Semua itu menjelaskan betapa Allah Swt. menghendaki agar kehidupan Muhammad Saw. sebelum diutus sebagai Nabi tidak mengandung sedikit pun hal yang bisa merintangi jalan dakwahnya atau berdampak negatif terhadap keberlangsungan dakwahnya.
Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy melanjutkan penuturannya, kisah tentang diri Nabi Saw. yang dipelihara Allah dari segala keburukan sejak kanak-kanak dan di awal masa remajanya terkandung setidaknya dua hikmah.
Pertama, Nabi Saw. memiliki karakteristik sebagai manusia seperti manusia lainnya. Beliau memiliki kecenderungan fitrah yang juga ditemukan dalam jiwa setiap pemuda. Semua orang memiliki kecenderungan itu sebagai bagian dari kebijaksanaan Allah.
Tentu saja sebagai remaja, beliau ingin sekali-kali merasakan nikmatnya permainan dan begadang bersama para remaja lain. Namun, Allah menjaganya dari semua itu demi keberhasilan dan kelangsungan dakwah Islam di masa depan.
Kedua, Allah Swt. senantiasa memelihara dan melindunginya dari semua fenomena penyimpangan dan segala hal yang tidak sesuai dengan tuntutan dakwah yang dipersiapkan Allah bagi dakwah itu. Bahkan, ketika beliau tidak diberi wahyu atau syariat yang menjaganya dari banyak godaan nafsu, tetap ada hal lain yang diam-diam menjaga dan menghalangi beliau dari apa pun yang mungkin dikehendaki nafsunya, yang tidak sesuai dengan sosok orang yang ditakdirkan untuk memiliki akhlak mulia dan menegakkan syariat Islam.
Berpadunya dua fakta ini dalam diri Nabi Saw. mengandung dalil yang jelas bahwa pemeliharaan Ilahi secara khusus mengarahkan dan menuntun beliau tanpa perantaraan sebab-sebab yang diketahui, semisal pendidikan atau pengarahan.
Nah, siapakah kiranya yang mengarahkan beliau di jalan kemaksuman ini, sementara semua keluarga, kaum, dan tetangganya terasing dari jalan ini, dan tersesat dari arah ini?
Jika demikian, pastilah pemeliharaan Ilahi yang istimewa ini, yang mengarahkan jalan bagi Muhammad untuk menembus kegelapan jahiliah. Ini menjadi salah satu tanda paling agung ihwal kenabian yang dipersiapkan Allah untuk beliau. Dengan jalan itu, beliau sanggup mengemban beban risalah dan kenabian yang sangat berat dan agung. Ini juga menjadi tanda paling agung bahwa kenabian merupakan dasar yang membentuk kepribadiannya, orientasi jiwanya, pemikirannya, dan perangainya dalam kehidupan.
Tentu saja mudah bagi Allah untuk menciptakan dan melahirkan Muhammad Saw. sebagai manusia yang bersih dari segala dorongan nafsu dan naluri sehingga, misalnya, dia tidak tertarik sedikit pun untuk ikut bermain bersama kawan-kawan remajanya menikmati malam dengan segala kesenangannya.
Tentu saja mudah bagi Allah untuk menyucikannya dari semua kecenderungan naluri seperti itu sehingga, misalnya, tak terlintas sedikit pun keinginan untuk meninggalkan kambing-kambingnya dan menitipkannya kepada temannya agar bisa ikut bermain dengan para pemuda lain yang sedang menikmati malam dan berhura-hura.
Jika demikian, tidak ada yang patut dijadikan teladan pada diri Rasulullah Saw. bagi seluruh manusia, karena sejak awal, sejak dilahirkan, beliau telah suci dari segala kecenderungan naluri dan hasrat nafsu. Sementara, Muhammad Saw. diutus sebagai nabi dan rasul agar seluruh manusia bisa meneladani karena sesungguhnya beliau adalah manusia biasa yang memiliki segala karakteristik manusia pada umumnya.
Dengan begitu, kita bisa mencontoh seluruh aspek kehidupannya, baik aktivitas lahiriahnya maupun pengembangan dan pendisiplinan yang beliau lakukan terhadap jiwanya. Lagi pula, kalau seperti itu, tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan pemeliharaan Ilahi yang menjaganya dari segala sesuatu yang tidak pantas yang dihasratkan dorongan naluri dan nafsu. Justru, kebijaksanaan Allah Swt. ini menjelaskan kepada kita semua bahwa pemeliharaan Ilahi bagi Rasulullah Saw. yang mulia sehingga kita dapat mengimani risalahnya serta menjauhkan pikiran kita dari segala sesuatu yang meragukan kebenaran ucapan beliau.
Demikian hikmah yang dituturkan Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy dalam buku The Great Episodes of Muhammad Saw.
Baca juga: Nasab Terbaik
0 Comments