Khadijah

Perjalanan Nabi Saw. menuju Syam untuk memperdagangkan komoditas milik Khadijah merupakan kelanjutan dari karirnya yang diawali dengan menggembalakan kambing milik orang Makkah.

Kemudian, berkaitan dengan kedudukan Khadijah di sisi Nabi Saw., kita telah memaklumi bahwa dia memiliki peran yang sangat penting dan kedudukan yang luhur dan mulia. Kebersamaannya dengan Rasulullah Saw. telah memberi Khadijah kedudukan yang sangat tinggi di sisi Rasulullah Saw. sepanjang hayatnya.

Diriwayatkan bahwa Khadijah adalah istri Rasulullah yang paling sempurna. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ali r.a. mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Perempuan terbaiknya (di langit) adalah Maryam binti Imran, dan perempuan terbaiknya (di bumi) adalah Khadijah binti Khuwailid.” 

Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa dia berkata, “Aku tidak pernah cemburu terhadap istri-istri Nabi Saw., kecuali terhadap Khadijah, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya.”

Diriwayatkan bahwa dia juga bercerita, “Dulu, apabila Rasulullah Saw. menyembelih kambing, beliau bersabda, ‘Kirimkanlah ini kepada teman-teman Khadijah.’

Aisyah juga berkata, “Pada suatu hari, aku membuat beliau marah karena aku berteriak, ‘Khadijah lagi, Khadijah lagi!’ Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, ‘Aku telah dikaruniai cintanya.’

Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan melalui jalur Masruq dari Aisyah r.a. bahwa dia bercerita, “Rasulullah Saw. nyaris tidak pernah keluar dari rumah sebelum menyebut-nyebut Khadijah dan menyanjungnya. Pada suatu hari, beliau menyebut-nyebutnya sehingga aku disulut cemburu. Maka, aku berkata, ‘Bukankah dia hanya seorang nenek-nenek, dan Allah telah menggantikannya dengan seseorang yang lebih baik?’

Rasulullah marah dan bersabda, ‘Tidak. Demi Allah, Allah tidak menggantinya dengan seorang pun yang lebih baik daripadanya. Dia beriman ketika semua orang kafir. Dia memercayaiku ketika orang-orang menyebutku dusta. Dia pun menyokongku dengan hartanya ketika orang-orang enggan memberiku. Allah juga mengaruniaku anak darinya, tidak dari istri yang lain.’

Ada satu hal penting dari pernikahan beliau dengan Khadijah yang segera disadari siapa pun yang mau mempelajari kisah perjalanan hidup Rasulullah dengan jujur, yaitu bahwa ketika menikahi Khadijah, Rasulullah sama sekali tidak memedulikan faktor kenikmatan dan kesempurnaan jasmani. Sebab, seandainya begitu, seperti para pemuda lain yang sebaya dengannya, tentu beliau akan memilih perempuan yang lebih muda, lebih segar, dan lebih cantik untuk dinikahi. Atau, setidaknya bukan perempuan yang lebih tua dibanding dirinya. Beliau menerima Khadijah karena dia adalah perempuan terhormat dan mulia di tengah masyarakat dan kaumnya. Bahkan, di zaman jahiliah dia dijuluki al-‘afifah al-thahirah (wanita suci yang selalu menjaga kehormatan).

Pernikahan Khadijah yang ketiga tersebut bertahan sampai akhir ketika Khadijah wafat dalam usia 65 tahun dan Nabi Saw. berusia 50 tahun. Selama masa pernikahan itu, tak terlintas sedikit pun dalam benak Rasulullah Saw. untuk menikah lagi dengan wanita atau gadis lain. Padahal, usia antara 20 dan 50 tahun merupakan masa-masa puncak gejolak hasrat dalam diri laki-laki untuk menambah istri dan atau hasrat untuk memenuhi desakan syahwat.

Namun, Muhammad Saw. melewati fase usia ini tanpa sedikit pun berpikir untuk memadu Khadijah dengan perempuan lain, baik sebagai istri maupun budak perempuan. Jika mau, tentu beliau sudah mendapatkan wanita-wanita lain yang sudi diperistri atau budak-budak perempuan, tanpa melanggar adat atau kebiasaan masyarakat saat itu. Padahal, beliau menikah dengan Khadijah yang berstatus janda dan berusia 15 yahun lebih tua darinya. 

Ini mengandung bukti yang membungkam mulut para misionaris, orientalis, dan para pengekor mereka yang hatinya telah dirasuki sentimen terhadap Islam. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah, menyeru orang-orang seperti itu bagaikan memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka berpikir akan menemukan senjata yang mematikan Islam dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw. Mereka menyangka akan mendapatkan amunisi untuk menghina dan mencemari nama baik Muhammad Saw. Mereka menganggap bisa membuat Rasulullah Saw. tampak di mata manusia sebagai lelaki hidung belang yang gemar perempuan dan tenggelam dalam belaian syahwat.

Sudah diketahui bahwa para misionaris dan kebanyakan orientalis adalah musuh Islam yang mencari nafkah dengan merendahkan Islam. Menyerang, menistakan, dan menghina Islam dijadikan sebagai profesi untuk mencari nafkah. Sementara, orang-orang lugu yang mengekor mereka, ikut-ikutan memusuhi Islam lantaran kepatuhan dan taklid buta. Mereka enggan membuka pikiran untuk mencari tahu atau memahami. 

Penyebabnya adalah karena mereka memang gemar mengekor dan taklid, enggan berpikir. Oleh karena itu, permusuhan mereka terhadap Islam hanya seperti lencana yang dilekatkan di bajunya semata-mata agar afiliasinya pada kelompok tertentu diketahui banyak orang. Juga, sudah diketahui bahwa lencana itu tidak lebih dari sekadar simbol. Jadi, permusuhan mereka terhadap Islam pun hanyalah simbol identitas yang mereka umumkan di tengah masyarakat; mereka ingi mengumumkan kepada banyak orang bahwa mereka tidak punya posisi apa-apa dalam sejarah Islam ini, dan bahwa kesetiaan mereka hanya pada ajaran kolonialis yang tecermin dalam propaganda para penjajah pemikiran, yaitu kalangan misionaris dan orientalis.

Itulah keyakinan dan pertimbangan mereka sebelum melakukan penelitian apa pun, dan tanpa berupaya memahami sedikit pun! Permusuhan mereka terhadap Islam hanyalah lencana yang dengannya mereka memperkenalkan diri kepada banyak orang dan bangsanya sendiri, bukan kerja intelektual dengan tujuan mencari kebenaran.

Jika tidak, topik pernikahan Nabi Saw. justru akan menjadi dalil yang sangat kuat untuk membuktikan kejujuran Muhamad Saw. dan kebenaran risalahnya. Kesadaran itu hanya akan dicapai oleh mereka yang berpikiran terbuka, berwawasan luas, dan mau memahami Islam serta mencermati Sirah Nabi.

Sikap jujur dan objektif itu tidak dimiliki para peneliti yang mendengki Islam. Mereka menggambarkan sosok Nabi Saw. sebagai lelaki hidung belang yang gemar memenuhi desakan syahwat. Padahal, jika mau mencermati kehidupan pernikahan beliau, itu telah menjadi dalil yang memadai untuk menunjukkan karakter sebaliknya. Pasalnya, di masa jahiliah, di tengah bangsa Arab, lelaki hidung belang tidak akan mencapai usia 25 tahun, kecuali dia telah mengawini banyak perempuan. Lelaki hidung belang yang masih muda belia seperti Muhammad juga tidak akan sudi menikahi janda yang usianya hampir dua kali lipat usianya sendiri, lalu hidup bersamanya selama 15 tahun tanpa sedikit pun keinginan untuk menggauli atau menikahi perempuan lain.

Lalu, jika kita berbicara tentang pernikahan Nabi Saw. dengan Aisyah r.a. dan istri-istri yang lain, sesungguhnya kita membicarakan tema yang berbeda. Masing-masing mereka memiliki kisahnya sendiri dan setiap pernikahan itu memiliki hikmah dan penyebab yang akan menambah keimanan seorang muslim pada keagungan, keluhuran pribadi, dan kesempurnaan akhlak Muhammad Saw. 

Apa pun hikmah dan penyebanya, tidaklah mungkin beliau menikah sekadar untuk memenuhi kebutuhan biologis atau membenamkan diri dalam belaian syahwat. Sebab, jika demikian, pasti beliau telah melakukannya jauh-jauh hari ketika usianya masih muda belia, bukan di usia senjanya ketika pikiran beliau disibukkan urusan dakwah dan pembangunan komunitas Islam. Setelah hijrah, begitu banyak urusan yang ditangani langsug oleh Rasulullah yang memalingkannya dari urusan syahwat dan kenikmatan dunia.

Begitulah uraian hikmah yang dituturkan Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy.

Baca juga: Pemeliharaan Ilahi, Sayyidah Khadijah, dan Cinta Abadi, juga Istri-istri Nabi    

Post a Comment

0 Comments