Janda itu baru berusia 17 tahun. Ia mantan istri pemimpin Khaibar yang disegani, Kinanah bin Abu Haqiq, satu atau dua bulan sebelum Nabi Saw. berangkat dari Madinah untuk mengepung Khaibar.
Shafiyah binti Huyay bin Akhthab nama janda itu. Muhammad Saw. telah mengeksekusi mati suaminya. Sebelumnya, ayah Shafiyah, Huyay bin Akhtab, telah dieksekusi mati pada eksekusi Bani Quraizhah di Madinah.
Pernikahannya dengan Kinanah terhitung singkat dan tidak bahagia. Karena Shafiyah ini berbeda dengan ayah dan suaminya. Ia perempuan yang saleh. Sejak kecil ia telah mendengar kaumnya bercerita tentang nabi yang akan segera datang.
Kaumnya kerap membicarakan Muhammad Saw., seorang Quraisy yang mengaku nabi, yang menerima wahyu sebagaimana Musa a.s. di gunung Sinai.
Kemudian, tatkala Shafiyah berusia 10 tahun, Muhammad Saw. tiba di Quba. Ia ingat, ayah dan pamannya ke Quba untuk meyakinkan diri bahwa memang Muhammadlah nabi yang dikabarkan itu. Shafiyah masih ingat bahwa akhirnya ayah, paman, dan kaumnya yakin, tapi mereka malah bermaksud menentangnya.
Shafiyah mengandaikan sosok nabi itu, tapi kemudian bimbang. Pengusiran Bani Nadhir, lebih-lebih setelah peristiwa eksekusi terhadap Bani Quraizhah. Ayahnya, Huyay, pemuka Yahudi Bani Nadhir, tak lepas dari eksekusi atas Bani Quraizhah yang mencekam itu. Huyay berjalan ke pasar, tempat eksekusi, kemudian duduk di samping parit dan kepalanya dipenggal.
Shafiyah, sepeninggal ayahnya, dinikahi Kinanah. Segera setelah pernikahan itu, tak lama sebelum Muhammad Saw. tiba di Khaibar, Shafiyah bermimpi. Ia melihat purnama rembulan tepat di atas kota Madinah. Rembulan itu lalu bergerak ke Khaibar. Kemudian jatuh di pangkuannya.
Begitu diceritakan kepada suaminya, Kinanah justru naik pitam, dan bersumpah serapah, “Itu berarti, selama ini engkau hanya mendambakan raja yang ada di Madinah itu!”
Pemahaman Kinanah dan Shafiyah tentang kenabian Muhammad Saw. sebagai raja memanglah wajar. Karena mereka melihat sendiri betapa Muhammad Saw. telah merintis sebuah pemerintahan baru di Madinah.
Itulah yang bikin Shafiyah bimbang. Para nabi yang terdapat dalam Taurat digambarkan hanya sebagai darwis. Sementara yang dilakukan Muhammad Saw. lebih sesuai dengan gambaran Daud a.s. dan Sulaiman a.s., bukan seperti buyutnya Harun a.s. dan Musa a.s.
Serangan militer yang ada pada Muhammad Saw. terhadap Bani Nadhir dan Bani Quraizhah sebelumnya, dan kini terhadap Khaibar, itu persis gaya para raja yang ada di Taurat.
Shafiyah membencinya. Sangat benci melihat perlakuan sang raja Muhammad Saw. kepada kaumnya lantaran menyembunyikan harta darinya.
Namun, sudah menjadi ketentuan, akhirnya Shafiyah justru berasa mendapatkan kemuliaan menjadi pendamping Muhammad Saw. Dia beruntung mendapatkan Baginda Saw. yang menikahinya dengan mahar berupa kebebasan Shafiyah.
Shafiyah memperoleh gambaran utuh seorang Muhammad Saw. setelah berinteraksi dengannya dan mengetahui makna kenabian yang sebenarnya. Bahwa nabi akhir zaman ini tidak melulu sebagai darwis yang antidunia. Muhammad Saw. tampil memadu kepentingan ukhrawi dengan berpijak pada pengelolaan dunia.
Shafiyah bersaksi, “Rasulullah adalah orang yang paling aku benci, karena dia telah menghukum mati suamiku dan ayahku. Beliau berulang kali meminta maaf kepadaku dan berkata, ‘Sungguh, ayahmu telah menghasut orang-orang Arab untuk menyerangku.’ Sehingga, kebencian yang ada dalam diriku lenyap.”
“Engkau,” lanjut Shafiyah, “jauh lebih mulia dibanding ayah dan suamiku. Sekarang aku dalam rengkuhan agamamu.”
Walhasil, Shafiyah telah berkumpul di Madinah. Kecantikan Shafiyah binti Huyay ini memang di atas rata-rata perempuan Arab. Para madu Nabi yang lain memendam emosi kepadanya. Terutama Aisyah, yang terpaut satu tahun lebih muda dengannya.
Ia bersama Hafshah pernah berujar, “Kami lebih mulia di sisi Rasulullah. Kami adalah istri beliau, sekaligus putri-putri sahabat terbaik beliau.”
Shafiyah tersinggung. Ia mengadu kepada suaminya. Dan Muhammad Saw. dengan ringan menenangkan, “Kenapa tak kaujawab, ‘Bagaimana kalian bisa lebih baik dari aku, sementara suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa!’.”
Pernah pula, saking cemburunya kepada Shafiyah, Aisyah berkata kepada suaminya, “Cukuplah padamu kalau Shafiyah itu hanyalah perempuan kerdil, perempuan pendek.”
Mendengar celaan itu Nabi marah. Amarahnya tak terbendung, “Tutup mulutmu, Aisyah! Kau telah melontarkan kata-kata yang seandainya diaduk dengan air laut, niscaya ia akan ternoda.”
Zainab binti Jahsy yang juga kerap bikin Aisyah cemburu karena suka menyuguhi Nabi minum madu, tak kalah sengit pula memendam jengkel kepada Shafiyah.
Tatkala Muhammad Saw. menunaikan ibadah haji bersama semua istrinya, dalam perjalanan tiba-tiba unta yang ditunggangi Shafiyah tidak mau berjalan. Nabi meminta Zainab untuk meminjamkan untanya.
“Apa? Apakah untaku akan kuberikan kepada perempuan Yahudimu itu?” ketus Zainab yang tak dapat mengendalikan jengkelnya.
Artinya, kehadiran Shafiyah binti Huyay, pesona jelitanya sama sekali tak mengundang decak kagum istri-istri Nabi yang lain. Kecantikannya telah menyuburkan rasa cemburu para istri yang tengah bersaing seperti Aisyah, Hafshah, atau pun Zainab.
Padahal Shafiyah adalah wanita cerdas, lagi mulia. Dan Muhammad Saw. selalu mengagungkannya tatkala madu-madu yang lain berkata miring tentang dia. Shafiyah acap ke masjid untuk mengantarkan makanan kepada Nabi Saw.
Dan Shafiyah pula, telah menjadi saksi betapa ajaran yang dibawa suaminya merupakan risalah yang agung dan sempurna. Shafiyah sangat beruntung akhirnya menjadi pendamping seorang nabi, sebagaimana leluhurnya, Harun a.s. dan Musa a.s. Terlebih suaminya adalah penutup para nabi.
Di saat Nabi Saw. sakit, Shafiyah menangis sedih, “Demi Allah, kuingin akulah yang menanggung sakitmu ini, dan kaulah yang sehat, wahai Rasulullah.”
Baca juga: Maharani Madinah, dan Zainab binti Jahsy
0 Comments