Rasa Kemanusiaan

Selalu mengasyikkan. Baca biografi Rasulullah Muhammad Saw. benar-benar membayangkan sosok ideal. Apalagi biografi-biografi yang ditulis oleh cendekiawan yang mendasarkan perspekstif historis, bukan emosional.

Sebut saja misalnya Sayyid Al-Qimni, pemikir dari mesir yang menampilkan sosok Nabi Saw. dari perspektif politik. Bahwa sejarah awal Islam adalah pergumulan dan pertarungan politik. Dan sang Nabi Muhammad Saw. memenangkannya hingga terbentuk Daulah Rasul yang membentang di tanah Jazirah Arab, bahkan luar jazirah.

Senada dengan Sayyid Al-Qimni adalah Khalil Abdul Karim, yang mengetengahkan politik penaklukan masyarakat suku Arab hingga berdiri negara Madinah. Atau pula Dr. Husain Mu’nis yang menyisir suku Quraisy dari sekadar nama kabilah Mekkah hingga kemudian memimpin peradaban dunia.

Serasa sekali, Sirah Nabi itu ditulis benar-benar dalam wajah historis. Nabi Saw. adalah sosok manusiawi yang mesti berjuang tanpa lelah, dan sungguh ajaib, dan ini diakui ilmuwan mana pun yang jujur pada fakta sejarah, beliau memang tokoh nomor satu yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah kemanusiaan.

Dr. Michael Hart menyusun daftar nama seratus tokoh penyebar pengaruh terbesar dunia, meski ia dari keluarga Kristen, telah menempatkan Nabi Muhammad di tangga pertama. Artinya, Dr. Michael Hart tak menempatkan Yesus Kristus atau Newton di peringkat teratas.

Jadi, tak bisa tidak untuk tidak takjub kepada Muhammad Saw. Baca saja, misal, tatkala beliau masih berusia 20 tahun. Beliau pernah ikut, meski tidak terlibat penuh, berperang antara suku Quraisy dan suku Qais.  

Setelah itu, beliau bergabung dengan aliansi Hilful Fudhul, aliansi untuk mempertahankan kebenaran orang lemah dan menentang segala bentuk tirani. Dan kepemimpinan organisasi perikemanusiaan ini dipercayakan kepada Nabi Saw. dan keluarganya, Bani Hasyim.

Dari situ saja jelas, kecenderungan beliau di masa muda adalah menolong yang tertindas, dan ini tentu saja menunjukkan bahwa rasa kemanusiaan beliau telah tertanam dan tumbuh dalam fitrahnya. 

Pada awal-awal usia tersebut, tepatnya mulai usia 25 tahun, ketulusan hati telah meraih nama yang harum sebagai kepala rumah tangga, sebagai suami Sayyidah Khadijah. Beliau mendapat gelar al-Amin, orang yang amanah atau tepercaya. Sehingga, siapa pun yang pernah terlibat dengan beliau kala itu, tak pernah surut pujiannya. 

Hal itu pula kiranya, ketika para pemuka kabilah di Mekkah merekonstruksi Ka’bah, hampir terjadi baku hantam antarkabilah hanya gara-gara siapa yang paling layak meletakkan Hajar Aswad. Semua menyatakan paling layak. 

Lantas tersepakati sosok al-Amin itulah yang paling layak meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. Demikianlah, kepercayaan orang-orang jatuh pada beliau yang jiwanya penuh dengan kearifan. Dan peristiwa itu terjadi sewaktu beliau berusia 35 tahun.

Pada saat panggilan kerasulan tiba, Muhammad Saw. dibebani sebuah tanggungjawab yang amat besar dari Allah Swt. Beliau sempat mengalami kecemasan akut, karena tak menduga bakal ditemui langsung oleh Jibril. 

Saat itulah Khadijah menghalau rasa cemas beliau. Khadijah menunjukkan rasa kasih dan cinta yang mendalam kepada sang suami. Ia pun begitu dalam menyukai segala bentuk kebajikan dan rasa kemanusiaan yang melekat dalam diri Muhammad Saw.

“Allah tak akan menyia-nyiakan segala budi pekerti yang engkau miliki, suamiku.” ucap Khadijah. “Sungguh, engkau senang menyambung silaturahmi, suka menolong orang lemah, senantiasa berbuat kebajikan yang tak pernah dilakukan orang lain, menghormati tamu, dan suka menegakkan kebenaran di hadapan kezaliman.”

Sungguh, kesaksian seorang istri yang terekam dalam sirah-sirah, betapa Muhammad Saw. benar-benar berperikemanusiaan. Sekaligus menepis bahwa beliau sosok bengis yang suka menebar ajaran dengan pedang. Bukankah tak seorang pun yang lebih tahu akan perilaku seorang laki-laki, kecuali istrinya sendiri yang begitu bebas menyelami lubuk hati suaminya!

Sayyidah Khadijah bersaksi betapa permata hatinya itu penuh kasih sayang terhadap kaum papa, kaum lemah, anak-anak yatim, dan para janda. Sang Nabi Saw. selalu memperhatikan apa yang mereka butuhkan. Beliau mengangkat kekhawatiran orang-orang tak berdaya, penuh rasa simpati kepada kaum dhuafa, dan tertindas. 

Al-Quran merekam perilaku kemanusiaan yang ditempuh Rasulullah Saw. Karenanya, mengabaikan anak yatim dan tidak memberi makan orang-orang miskin dikatakan sebagai pengingkar agama (baca al-Ma’un: 1-3).

Tersebut pula, dalam surat al-Balad ayat 11–16, setinggi-tingginya derajat manusia adalah yang memelihara anak yatim dan meringankan kaum miskin.

Maka, siapa pun yang tak mau menghargai anak yatim akan tervonis sebagai orang berderajat rendah. Dan bahkan merosotnya suatu bangsa karena mengabaikan dan menelantarkan anak yatim dan kaum miskin (al-Fajr: 17-20).

Oleh karena itu, kita mesti belajar dari kehidupan beliau, Baginda Nabi Muhammad Saw. Betapa cita rasa kemanusiaan mengakar dalam fitrah beliau.

Baca juga: Sisi Dalam

Post a Comment

0 Comments