Meneguhkan Sisi Dalam

Adalah Salman al-Farisi seorang sahabat terkemuka. Sebelum masuk Islam, ia telah mendengar dari rahib-rahib yang meramalkan akan munculnya seorang nabi dari tanah Hijaz.

Para rahib itu menerangkan karakteristik nabi yang bakal muncul, bahwa beliau menerima hadiah, tetapi tidak menerima sedekah. Dalam tubuh beliau juga ada tanda kenabian. Lantas, Salman pun ingin membuktikannya.

Nah, saya kutip kisah tersebut yang diriwayatkan oleh Abu Buraidah, yang termaktub dalam Mengenal Rasulullah Lebih Dekat karya Imam At-Tirmidzi, hal. 13.

“Ketika Rasulullah Saw. baru tiba di Madinah, Salman al-Farisi mendatangi beliau dengan membawa meja makan yang berisi kurma seraya meletakkannya di hadapan beliau.

“Rasulullah Saw. bertanya, ‘Wahai Salman, apa ini?’ 

“Salman menjawab, ‘Ini adalah sedekah untuk engkau dan para sahabat engkau.’

“Maka beliau menjawab, ‘Bawalah kurmamu ini. Sungguh, kami tidak (boleh) menerima sedekah.’

“Salman pun membawanya. Keesokan harinya, ia kembali datang dengan membawa kurma yang sama seraya meletakkannyadi hadapan beliau. Beliau pun kembali bertanya, ‘Wahai Salman, apa ini?’ 

“Salman menjawab, ‘Ini adalah hadiah untuk engkau.’

“Maka beliau berkata kepada para sahabat beliau, ‘Berkumpullah (untuk makan)!’

“Saat itu, Salman melihat tanda kenabian di punggung Rasulullah Saw. Maka ia pun beriman kepada beliau. Setelah itu, Rasulullah Saw. membeli sebidang tanah dari seorang Yahudi dengan harga sekian dirham untuk ditanami pohon kurma.

“Di tanah itulah Salman bekerja hingga ia bisa menghidupi dirinya sendiri. Seluruh pohon kurma ditanam sendiri oleh Rasulullah Saw. kecuali sebatang pohon yang ditanam oleh Umar. Maka kurma-kurma itu berbuah pada tahun itu juga, kecuali sebatang pohon yang ditanam Umar.

“Rasulullah Saw. bertanya, ‘Ada apa dengan sebatang pohon ini?’

“Umar menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sayalah yang menanamnya.’

“Seketika, beliau segera mencabut pohon itu lalu menanamnya kembali. Maka pohon itu pun berbuah pada tahun itu juga.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).

Itulah tanda kenabian Muhammad Saw. dan mukjizat beliau yang sebetulnya banyak dan akan butuh berlembar halaman untuk menuliskannya.

Namun, selaku awam saya ingin turut berkhidmat kepada beliau dengan menukilkan kisah beliau yang saya sadap dari berbagai Sirah Nabi yang saya koleksi. 

Nabi Muhammad Saw. lahir pada hari Senin, tanpa ada perbedaan pendapat. Dan menurut mayoritas pendapat pula, kelahiran beliau itu pada malam kedua belas bulan Rabi’ul Awal. Beliau lahir di rumah Abu Thalib, di kompleks Bani Hasyim, Kota Makkah.

Ayah beliau, Abdullah bin Abdul Muthalib, wafat beberapa bulan sebelum beliau lahir. Ketika beliau berumur enam tahun, ibunda beliau, Aminah, menyusul. Dua tahun beliau diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Dan saat sang kakek meninggal dunia beliau kemudian diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Dan Abu Thalib wafat tiga tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah.

Rasulullah Saw. tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang sudah mengenal nasab beliau. Tempat pendidikan beliau bahkan lingkungan di mana beliau keluar masuk, dan menjadi anak yatim di tengah-tengah mereka. 

Beliau dikenal sebagai orang yang amanah lagi jujur, berbakti dan berperilaku lurus. Semua orang kala itu mengetahuinya bahwa sosok mulia ini hanya akan berbicara seperlunya. Beliau lebih suka menjadi pendengar. 

Beliau dikenal sebagai orang yang menjaga amanah, tetapi tidak pandai tulis menulis, bahkan belum pernah mempelajari kitab mana pun, apalagi sebagai ahlinya. Namun, begitu di umur empat puluhan tahun, beliau datang kepada mereka untuk menjelaskan segala yang terjadi di masa lampau dengan penuh kejelasan. Beliau pun membabar akan utamanya negeri akhirat, kehidupan masa datang.

Sekali lagi beliau dikenal sebagai orang yang paling jujur dan menjaga amanah. Sebuah perilaku pada diri beliau yang pada masa itu teramat aneh. Perilaku yang belum pernah dilihat oleh kalangan cerdik pandai pada masanya.

Beliau juga ahli ibadah, tunduk sepenuhnya kepada Allah. Beliau selalu berdoa dan bersabar terhadap segala gangguan orang yang menentangnya. Beliau berusaha menahan diri, bersikap zuhud terhadap dunia, memiliki budi pekerti luhur, dermawan, pemberani, pemalu, suka menyambung silaturahmi, dan banyak lagi yang lain sifat-sifat mulia.

Sungguh, kepribadian Rasulullah Saw. yang sedemikian anggun dan sangat mengesankan siapa pun yang menyaksikan langsung. Semua orang tahu dan menyukai beliau. 

Namun, ketika beliau mengumumkan kenabian, sikap masyarakat berubah. Hanya kalangan terdekat beliau yang mempercayai. Sisanya menertawakan pengakuan beliau sebagai utusan Tuhan, “Lihat anak udik itu, dia merasa dirinya dapat berhubungan langsung dengan Tuhan.”

Apa yang kemudian dilakukan sang Baginda?

Dari bacaan sejarah kita tahu, pada saat itu Romawi dan Persia menjadi dua kekuatan kolonial. Kita paham hal itu, Roma dan Persia merupakan kekuatan digdaya pada masa-masa Nabi Saw. menjalankan misinya. 

Dan sependek pemahaman saya, Muhammad Saw. lebih dulu memusatkan usaha membangun jiwa umatnya ketimbang larut dalam permasalahan kedua imperium dan membuka perlawanan terhadap mereka.

Rasulullah Saw. ketika terasa adanya ancaman politis, lebih memusatkan perhatian pada penguatan batin. Dan sejarah membuktikan hal itu lebih efektif daripada harus berlomba adu fisik. Kekuatan spiritual justru mampu meruntuhkan bangunan dua imperial itu hingga ke akar-akarnya.

Ya, sebuah upaya penataan pribadi bahwa umat tidak akan menyembah selain Allah Swt. Bahwa umat adalah hamba Tuhan dan setelah mati akan kembali kepada-Nya. Bahwa kaum muslimin mesti memiliki standar moral untuk menghindari berbagai bentuk dosa dan kesalahan. Bahwa akan tetap tabah menghadapi berbagai kesulitan ketika berusaha memperbaiki diri dan lingkungan.

Begitulah. Tampak nyata bahwa perjuangan Islam pada intinya perjuangan yang lebih mengarah untuk kebahagiaan akhirat. Perjuangan yang dimotivasi untuk mendapati ampunan Allah Swt. tatkala kelak berhadapan dengan-Nya.

Nah, semestinya hari-hari ini, upaya berislam itu dikembalikan pada bagaimana mendapatkan kasih dan ampunan-Nya. Sebuah upaya spiritual dalam sikap ibadah. 

Bahwa sedianya kita berusaha untuk melebur iman, ide-ide, sifat, sikap, dan semua tindakan sehari-hari kehidupan ini dalam satu irama, satu tujuan, yakni untuk menghindari murka Allah. Seluruh perhatian sedianya tertuju bagi kehidupan kelak di alam setelah dunia ini.

Sekali lagi penataan pribadi. Dan Baginda Rasul Saw. terlebih dahulu mencontohkan bahwa beliau sosok yang menyerahkan sepenuh diri kepada-Nya.

Dan perubahan dari dalam itu, perubahan yang terjadi dalam batin umat awal Islam telah memancarkan pengaruh pada seluruh lingkungan Arab, dan terus meluas hingga belahan dunia, baik di Timur maupun Barat. Padahal sebelumnya, masyarakat Arab, khususnya Makkah atau pun Thaif mencibir kehadiran Muhammad Saw.

Itulah revolusi yang sebenarnya. Hanya dalam waktu 23 tahun telah mengubah bangsa yang sepenuhnya tak dilirik dunia, menjadi negeri kuat dan hingga memimpin peradaban.

Lantas kita patut bertanya, ada apa dengan umat Islam hari ini? Kenapa sudah mati-matian mendakwahkan Islam, lebih dari 23 tahun malahan, tapi tak kunjung memimpin peradaban?

Maka, sekiranya kini kita lirik lagi Sirah Nabi. Kita buka khazanah bahwa ternyata bukanlah serangan-serangan pada dunia luar, melainkan kehidupan Nabi Saw. dan para sahabat yang bekerja siang malam untuk memperkuat batin. 

Caranya? Merujuk pada awal-awal surat Al-Muddatsir, di mana Rasulullah Saw. diperintah berdakwah, resep jitu memperkuat batin hanya bisa dicapai melaui iman, tindakan lurus atau benar, dan keteguhan hati (bersabar).

Jadi, kebenaran ketuhanan harus tertanam sedalam mungkin ke dalam hati dan pikiran. Kita harus berusaha sekuat mungkin untuk mengaitkan pola berpikir untuk dunia keabadian kelak. Sikap hidup yang mesti dipupuk adalah bahwa kita tak punya hak dalam kehidupan ini, tetapi hanya memiliki tanggung jawab. Kita adalah abdi Tuhan, kita seorang hamba.

Nah, saat yang demikian, niscaya kesulitan-kesulitan akan kita dapati, selagi benar-benar berjalan di jalan Tuhan. Namun tuntunannya, kita mesti teguh dalam keyakinan kebenaran tersebut. Kita tidak boleh menyalahkan apa pun kepada pihak lain atas kesulitan yang kita hadapi. Kita bersabar, kita tabah. 

Sehingga, kekuatan dalam, kekuatan jiwa yang dituntun Islam, kekuatan yang dicontohkan Rasulullah Saw. Kekuatan yang saat kemudian meledak keluar, serta dunia pun tunduk di hadapan beliau. Kita bisa baca, ketika dalam Perjanjian Hudaibiyah, bagaimana beliau menuntun segenap pengikut untuk bersabar. Dan hasilnya, umat Islam berkembang pesat, lantas Makkah jatuh tanpa perlawanan, tanpa ketajaman tombak dan panah.

Surat An-Nashr mengabadikan momen pembebasan Kota Makkah. Warga Makkah—yang sebelumnya gigih membenci Nabi Saw., memboikot keluarga Bani Hasyim, dan beberapa kali menggempur Madinah—saat pembebasan kota, berbondong-bondong menyerahkan diri dan memeluk Islam. 

Saat demikian, ketika umat Islam berasa di atas angin, justru diperintah untuk tetap memperbanyak pujian kepada Allah Swt. Umat tetap diperintah untuk tidak meninggalkan salat. Umat dituntun bertasbih, membersihkan segala angan negatif atas Tuhan. Artinya, penguatan dalamlah yang utama. 

Singkatnya, pasca-Turki Ustmani, sejarah Islam tenggelam dalam pusaran peradaban Barat. Para penggerak Islam kemudian berupaya meneguhkan kembali bangunan Islam. Di sana sini kita mendapat warta, justru wajah Islam semakin tampak layu. Tampak kedodoran.  

Isu khilafah, isu syariat Islam, nyaring di permukaan seiring deru demokratisasi. Negara Islam Pakistan, Republik Islam Iran, atau pun Kerajaan Saudi, belum menampakkan wajah Islam yang bermartabat di hadapan dunia sekuler. 

Apa yang salah? Entahlah. Yang jelas, dulu Rasulullah Saw. meneguhkan ajarannya pertama-tama adalah memperkuat batin, meneguhkan sisi dalam.

Baca juga: Karakter Muhammad Saw dan Kalaulah...

Post a Comment

0 Comments