Pertanyaan yang kerap saya terima, kenapa Nabi Muhammad Saw. diutus di Jazirah Arab? Padahal beliau merupakan nabi untuk segala bangsa dan hingga akhir zaman.
Saya tidak tahu persis jawabnya, yang jelas itu merupakan kebijaksanaan Allah Swt. yang menerbitkan Muhammad Saw. sebagai matahari yang menerangi dunia.
Namun, kalau kita tilik dari sirah-sirah yang membedah era sebelum dan saat Nabi Muhammad Saw. memang sudah sepantasnya risalah ditetapkan di Jazirah Arab, bukan di Romawi, Yunani, Mesir, Iran, India, atau pun China, atau bahkan di tanah Nusantara, terkhusus di Jawa, yang konon sebagai Atlantis.
Bangsa Romawi pada abad ke-6 sudah terkenal sebagai penguasa imperium yang bersaing dengan Persia (Irak Iran saat ini). Mereka unggul dalam kemiliteran. Bahkan mereka bersikap sombong lantaran ilmu pengetahuan dan tatanan etika mereka yang sedemikian maju. Peradaban mereka bersinar hingga belahan bumi timur jauh.
Pun dengan India yang sudah sedemikian canggih tatanan peradabannya. Falsafah-falsafah dan epos kisah mereka melegenda, bahkan jauh sebelum kelahiran Nabi Isa as. Kisah yang mengakar kuat di sanubari masyarakatnya hinga sulit dihapus atau digantikan oleh khazanah baru.
Apalagi Yunani, yang kerangka falsafahnya masih bersinar hingga hari ini di kampus-kampus perguruan tinggi dunia, di Indonesia salah satunya. Tatanan politiknya, demokrasi, masih dianggap sebagai etika politik terbaik dalam mengelola negara.
Adapun bangsa Arab, bak lembaran yang masih suci, belum tertulis di atasnya tulisan-tulisan yang rinci dan dalam. Misalkan ada tulisan pun, masihlah berupa catatan sederhana, yang gampang dihapus dan dihilangkan.
Di Jazirah Arab masih diliputi oleh goresan yang bersahaja. Sehingga masih sangat mudah untuk dialihkan kepada lembaran baru. Dalam konteks hari ini, Arab pada abad VI dan VII, adalah orang-orang yang bodoh dan bersahaja sehingga mudah diobati.
Sedangkan bangsa-bangsa lain, termasuk Nusantara, adalah bangsa “beradab” yang justru terlampau maju dan mapan sehingga sulit diobati, dihilangkan, atau diasupi ajaran baru.
Jadi logis sekiranya bangsa Arab yang dipilih Tuhan untuk lahirnya risalah baru. Bangsa Arab masih sangat alami, bahwa mereka memiliki keinginan yang kuat untuk mencintai dan memeluk sesuatu yang diyakini, dan berela mati dalam kesetiaan.
Nah, tinggal isian keyakinan macam apa yang bakal ditanam dalam benak mereka. Dan Allah Swt. menetapkan Muhammad Saw. sebagai utusan-Nya yang lahir di tengah mereka yang bersahaja.
Mereka ialah orang-orang yang sederhana dan dermawan, keras dan jujur. Mereka tidak akan menipu orang lain dan diri mereka sendiri. Mereka biasa berkata benar dan berkemauan keras. Mereka memiliki harga diri atau gengsi yang tinggi.
Kegengsian masyarakat Arab tampak terlukis tatkala orang-orang dari pelbagai suku hendak membunuh Nabi Muhammad Saw. Mereka mengepung rumah Nabi, menunggu di luar, tidak mendobrak dan langsung masuk membunuh lawan di dalam rumah. Bagi bangsa Arab membunuh musuh di dalam rumah adalah aib, tindakan tak bermoral.
Pun tatkala mereka mengetahui bahwa ternyata yang di dalam rumah bukanlah Nabi, melainkan Ali, mereka juga tidak lantas membunuh Ali, karena yang jadi sasaran Nabi. Mereka membiarkan Ali dan berikutnya sesegera mungkin mengejar Nabi. Sekali lagi, harga diri mereka turun drastis jika akhirnya yang terbunuh malahan Ali bukan Muhammad Saw.
Keegoan bangsa Arab pun kian jelas, Suhail ibn Amr, ketika ia mendengar tentang sesuatu yang tertera dalam nota perdamaian di Hudaibiyah, “Ini yang ditetapkan kepada Muhammad Rasulullah Saw.”. maka ia berkata, “Demi Allah! Seandainya kami mengetahui bahwa engkau ialah rasul Allah, niscaya kami tidak menahanmu di rumah, dan kami tidak akan memerangimu.”
Artinya, bangsa Arab itu jauh dari penyakit yang berakibat tiadanya keberanian untuk mengakui kebajikan lawan. Mereka adalah orang-orang yang jujur, amanah, serta berani. Kemunafikan dan konspirasi jahat sebetulnya bukanlah watak asli mereka.
Mereka merupakan para penyerang yang gagah berani di medan pertempuran, bukan pengecut yang menikam musuh di dalam rumah. Mereka ialah para penunggang kuda yang lihai, orang-orang yang ulet dan sabar, orang-orang yang tidak mementingkan kemewahan dunia.
Singkatnya, kekuatan bekerja dan berpikir tersimpan dalam di sanubari bangsa Arab. Dan kekuatan tersebut, pada saat itu, selamat dari kerusakan yang diakibatkan oleh filsafat-filsafat imajinatif Yunani, India, serta Iran. Kekuatan yang belum terasuki oleh perdebatan-perdebatan Bizantium, oleh aliran-aliran ilmu kalam yang rumit, juga konflik-konflik politik China.
Lantas, seiring risalah Nabi Muhammad Saw. bertumbuh, masyarakat Arab steril dari kesombongan Kerajaan Iran atau Kerajaan Romawi. Umat Islam berkeinginan kuat terhadap kebebasan dan persamaan, cinta alami, dan kesederhanaan. Umat tidak tunduk pada pemerintahan asing. Dan pelan-pelan menanggalkan sistem perbudakan serta penghambaan terhadap sesama.
Baca juga: Jangan Sibuk Berpolemik
0 Comments