Keagungan Rasulullah Saw

Tidak sekadar dogma. Ya, saya berusaha memahami keagungan Nabi Muhammad Saw. itu tak semata doktrin agama. 

Maka, saya berupaya mengolak-alik banyak buku sirah agar presisi melihat Rasulullah Saw. Bahwa beliau memang benar-benar mewakili hampir segala sesuatu tentang nilai manusia. Bahwa beliau adalah paket komplet. Beliau merupakan wujud kualitas-kualitas terbaik dari tokoh-tokoh macam Aleksander Agung, Aristoteles, St Francis, hingga Karl Marx atau Hawking.

Muhammad Saw. adalah Nabi Allah, nabi terakhir dan paling agung. Beliau seorang super hero, pendiri imperium Islam yang beliau rintis selama 23 tahun, hingga dianut oleh 1,2 miliar manusia di seluruh dunia. Sebuah revolusi peradaban yang tak terbayangkan sebelumnya. 

Nah, Nabi Muhammad Saw. lahir dua kali di Makkah, yakni 22 April 570 dan 12 Februari 610. Pertama lahir pada 12 Rabiul Awal (pendapat mayoritas), bertepatan 22 April 570 M, dari rahim Aminah sebagai seorang manusia yang ditunggu-tunggu semesta.

Kelahiran yang sudah diramalkan oleh penganut ahli kitab. Dan benar saja, Muhammad kecil mesti melewati berbagai pertemuan tak sengaja dengan pendeta-pendeta Nasrani. Mereka memastikan bocah ini bakal sebagai nabi akhir zaman.

Mereka mewanti-wanti agar Muhammad kecil disembunyikan dari jangkauan kaum Yahudi yang akan membunuhnya. Pendeta Bahira, misalnya, menasehati Abu Thalib, “Bawalah keponakanmu pulang dan jagalah dia baik-baik dari orang-orang Yahudi, karena demi Allah, jika mereka melihatnya dan menemukan seperti yang saya ketahui, mereka akan berbuat jahat terhadapnya.” 

Saat lain, ketika Muhammad remaja mengunjungi Bostra, ibukota Syria Byzantium, bertemu dengan pendeta Nestor, nasehat yang sama beliau terima langsung dari sang pendeta, agar berhati-hati. Sang pendeta mengenali beliau yang masih remaja itu sebagai calon penutup nabi.

Kemudian, pada kelahiran kedua berlangsung di sebuah gua di lereng bukit Hira, salah satu dari banyak bukit yang menghadap ke Makkah. Peristiwa itu terjadi pada 17 Ramadhan (lagi-lagi dalam pendapat mayoritas), atau bertepatan 12 Februari 610 M.

Saat itu beliau berusia 40 tahun kurang sedikit, sebagai pedagang yang kalem dan dipercaya, ternyata berhasrat kuat untuk mencari pencerahan, tapi sama sekali tak terpikir akan diangkat sebagai nabi. Beliau sedang duduk sendiri di dalam gua. Tiba-tiba malaikat muncul di hadapannya dalam bentuk manusia biasa dan mengajak beliau untuk membaca, yang kemudian menjadi wahyu yang pertama.

Namun, di saat wahyu turun, beliau dalam ketakutan luar biasa. Seluruh tubuh beliau, seluruh diri batin beliau, dicengkeram oleh kekuatan yang sangat besar. Tidak ada kesempatan untuk menolak, sehingga ayat demi ayat pun meluncur dari bibir beliau, seakan napas yang diembuskan.

Sungguh, Rasulullah Saw. merasa ketakutan karena belum pernah mendengar dan mengalami peristiwa suprarasional. Beliau pulang ke rumah dengan gemetar, “Selimuti aku! Selimuti aku! Aku sangat takut!”

Khadijah yang setia menunggu selagi sang suami bermeditasi di Gua Hira, menanyakan penyebab kegelisahan suaminya. Beliau pun menceritakan pengalaman di Gua Hira. Dan Khadijah sendiri merupakan seorang yang cerdas dan mulia. Ia telah mendengar cerita tentang kenabian, cerita tentang malaikat.

Khadijah, layaknya hakim yang tak berpihak, dapat memandang situasi yang dialami suaminya secara objektif. Khadijah dapat melihat bahwa Muhammad Saw. telah mengalami sesuatu, bukan mimpi buruk, tetapi tanda-tanda dari Tuhan bahwa beliau adalah pilihan-Nya.

Ya, Khadijahlah, orang yang paling mengenal perilaku Rasulullah Saw. Kedudukannya sebagai istri, ia mengerti luar dalam suaminya. Khadijah mengagumi perilaku dan tabiat suaminya ini. Maka, ia pun berkesimpulan bahwa Muhammad Saw. adalah nabi yang banyak diberitakan para cendekia saat itu.

“Tidak akan terjadi apa-apa, Suamiku! Demi Allah, Dia tidak akan pernah mempermalukan engkau selamanya. Sungguh, engkau benar-benar menyambung hubungan kasih sayang, meringankan beban orang-orang yang menderita, memberi orang yang kehilangan, menghormati tamu dan selalu menolong atas dasar kebenaran.”

Oleh karena itu, Khadijah merasa perlu mengajak suaminya untuk menemui anak pamannya yang alim, Waraqah ibn Naufal. Dan di hadapannya, beliau Saw. menceritakan pengalamannya. 

“Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya. Sesungguhnya, engkaulah nabi umat ini. Sesungguhnya, engkau telah didatangi an-Namus al-Akbar, yang pernah datang menemui Musa. Dan, sewsungguhnya kaummu akan mendustakanmu, menyakitimu, mengusirmu, bahkan akan memerangimu.” jelas Waraqah.

Rasulullah Saw. heran ketika Waraqah mengatakan bahwa kaum beliau akan memusuhi, dan Waraqah menandaskan, “Benar. Tidak seorang pun yang membawa seperti apa yang engkau bawa, kecuali akan dimusuhi dan diperangi. Seandainya aku menemui saat itu, niscaya aku akan menolongmu dengan sekuat tenaga.” 

Sekembali dari rumah Waraqah, Khadijah merupakan orang pertama yang beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Ia selalu membantu di sebelah suaminya. Ia menjadi pundak buat sang suami buat meringankan kesedihan beliau tatkala kaum Quraisy benar-benar bertindak sebagaimana ramalan Waraqah. 

Begitulah. Sejarah pun akhirnya mencatat betapa usai dari Gua Hira, Muhammad Saw. benar-benar gigih mengibarkan bendera Islam. Tentang keberanian herois para sahabat beliau. Tentang penaklukan suku-suku di segenap Jazirah Arab, yang kemudiam memadamkan dua kekaisaran yang telah berusia dua ribu tahun mendominasi dunia, Romawi dan Persia.

Ya, kelahiran seorang anak manusia yang seolah merupakan puncak ciptaan-Nya. Sebab sebelum dan sesudah Muhammad Saw., tidak ada yang setara beliau. Hanya dengan mengawinkan kualitas-kualitas terbaik tokoh-tokoh dari pelbagai zamanlah, kita dapat memahami keagungan Rasulullah Saw.

Alhasil, Nabi melaksanakan tugasnya sebagaimana seorang penyebar agama baru, menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada masyarakat yang masih kuat berpegang pada tradisi dan kebiasaan lama. Dengan sangat hati-hati beliau memulai misinya, mengalir secara alami tahap demi tahap. 

Dan pengabdian Nabi Muhammad terhadap tugasnya itu benar-benar total. Semua energi secara fisik maupun mental disalurkan untuk menjalankan tugasnya. Bukan hanya waktu, tapi juga semua miliknya, beliau gunakan untuk perkembangan Islam.

Awal menjalankan misinya, Nabi masih kaya raya karena menikah dengan Khadijah. Tetapi 13 tahun kemudian, setelah pindah ke Madinah, keadaan beliau jauh berbeda. Beliau tidak memiliki apa-apa, bahkan beliau harus berhutang pada Abu Bakar untuk membiayai perjalanannya. 

Hmm, begitulah, betapa keagungan beliau yang kemudian diwariskan ke pundak kita hari ini, nyatalah bahwa kita seorang hamba Tuhan, sebagai identitas sejati, tidak memiliki apa pun, kecuali tanggung jawab yang harus kita pikul di dunia ini. Kita tidak berhak apa pun atas dunia ini.

Baca juga: Rasa Kemanusiaan, dan Kenapa Diutus di Arab?  

Post a Comment

0 Comments