Istri-Istri Nabi

ADA hampir 2.000 orang, beriringan memasuki kota Makkah. Muhammad Saw. memimpin langsung rombongan itu.

Mereka mengqada umrah yang tertunda, setelah Perjanjian Hudaibiah. Pemuka Quraisy telah mengosongkan kota selama tiga hari untuk Muhammad Saw. dan pengikutnya melaksanakan umrah.

Tenda Nabi Muhammad dipancangkan dekat Ka’bah. Dan selama tiga hari tersebut, banyak orang-orang Quraisy diam-diam berkumpul dan berdiskusi di tendanya. 

Abbas, salah satunya, yang selama tinggal di Makkah menyembunyikan keislamannya. Dan di tenda keponakannya, ia menghabiskan waktu untuk menimba wawasan ajaran Islam secara mendalam. 

Bahkan kemudian ia menawari sang Nabi agar menikahi saudara perempuan istrinya, Maimunah binti Harits. Muhammad Saw. pun menyetujui permohonan pamannya. Ia menikahi Maimunah di Makkah setelah umrah. 

Maimunah adalah janda Huwaithib bin Abdul Uzza. Ia merupakan bibi Khalid bin Walid. Dengan demikian, selanjutnya Khalid bin Walid menjadi keponakan Nabi lewat pernikahan tersebut.

Setelah tiga hari, Muhammad Saw. beserta seluruh pengikutnya keluar dari Makkah. Maimunah turut pula ke Madinah, dengan identitas baru sebagai istri Nabi. Dan Maimunahlah, perempuan terakhir yang dinikahi Baginda Rasul Muhammad Saw. 

Meski toh tetap ada sedikit insiden cemburu dalam diri Maimunah. Seperti pada suatu malam Maimunah ditinggal Nabi di kamarnya. Maimunah menutup pintu. Ketika Nabi datang dan minta pintu dibuka, Maimunah menolak. 

“Kau pergi ke istrimu pada malam bagianku?” tukas Maimunah.

“Itu takkan pernah kulakukan. Aku tidak tahan mau ke belakang, buang air kecil,” jelas Nabi Saw.

Semenjak itu, Maimunah, yang berusia 25 tahun, itu menyadari bahwa ia tak patut mencurigai suaminya. Apalagi ia sudah sangat beruntung menjadi pendatang baru di rumah Nabi, dan diterima baik oleh istri-istri Nabi yang lain.

Bahkan Aisyah dan Zainab yang terkenal paling “berani” di antara istri-istri yang lain, tidak mempersoalkan kehadiran Maimunah. 

Maimunah bisa turut serta melengkapi kisah keikhlasan, ketulusan, dan kesetiaan Muhammad Saw. sebagai sosok suami dengan sejumlah istri, yang datang dengan berbeda latar suku, berbeda usia, atau pun berbeda agama. 

Hal ini bisa kita runut mulai dari Sayyidah Khadijah. Muhammad Saw. hidup monogami bersama Sayyidah Khadijah selama 25 tahun sampai wafatnya sang istri, usia 65 tahun, tiga tahun sebelum hijrah.

Sepulang Khadijah ke pangkuan-Nya, Nabi Muhammad yang sudah berusia 50 tahun baru menjalani poligami. Pertama dengan Saudah binti Zam’ah, seorang janda yang sudah tua dan tidak cantik. Hal ini menunjukkan, Muhammad Saw. mengorbankan kebahagiaan pribadinya dengan mengayomi janda.

Begitu menetap di Madinah, pernikahannya dengan Sayyidah Aisyah menjadi contoh terbaiknya, sebagai penghargaan atas kesetiaan sahabat Abu Bakar. Putri sahabat utama yang masih gadis, dan sayyidah Aisyah wafat pada tahun 58 H. Begitu pula terhadap Umar bin Khattab, dengan menikahi Hafshah dua tahun beberapa bulan setelah hijrah. 

Hafshah, sebelum menjadi istri Nabi adalah janda yang ditinggal mati oleh suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahmi. Hafshah wafat pada tahun 45 H.

Setelah Hafshah, datang lagi janda seorang syahid, Ubaidah bin al-Harits yang gugur dalam Perang Badar, ke dalam rumah Muhammad Saw. Dialah Zainab binti Khuzaimah. Namun sayang, Zainab berpulang kepada-Nya mendahului Nabi. Zainab wafat saat Nabi masih hidup, setelah berkumpul dengannya selama dua bulan. 

Kemudian menyusul Hindun binti Khudaifah, janda dari Abu Salamah. Hindun merupakan wanita cerdas dan berpandangan luas. Ia kerap turut menemani Nabi, seperti pada Perang Khaibar, penaklukan Makkah, pengepungan Thaif, pertempuran melawan Hawazin dan Tsaqif, dan pada Haji Wada. Ummu Salamah adalah istri Nabi Saw. yang wafat paling akhir, 59 H.

Zainab binti Jahsy lalu memasuki rumah tangga Baginda Muhammad Saw. Dia adalah cucu Abdul Muthalib dan putri paman Nabi. Ia adalah janda dari Zaid bin Haritsah. Muhammad Saw. menikahinya atas perintah langsung dari langit.

Sehingga, Zainab sering membanggakan dirinya di hadapan madu-madunya yang lain, “Aku adalah yang paling mulia di antara kalian. Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari langit ketujuh.”

Kebetulan juga, Zainab pun menjadi istri Nabi yang paling pertama menyusul kepulangan beliau ke rumah-Nya. Zainab meninggal paling awal setelah sang Nabi wafat, pada awal kekhalifahan Umar bin Khattab.

Ketika Rasulullah memerangi Bani Musthaliq, seusai Perang Khandaq. Bani Musthaliq menyerah, dan Juwayriah putri pemimpin Bani Musthaliq menikah dengan sang Nabi. Sebuah bentuk pernikahan politik, akhirnya, di mana Muhammad Saw. merangkul hati musuh-musuhnya. Juwayriah wafat pada tahun 56 H.

Pada Perang Khaibar pun demikian, janda pemimpin Bani Nadhir, Kinanah bin Abu al-Haqaiq, dinikahi Nabi. Ya, Shafiyah binti Huyay yang bersambung nasabnya pada Nabi Harun saudara Nabi Musa a.s. 

“Apakah engkau rela menikah denganku?”

“Wahai Rasulullah, aku telah mendambanya saat masih menjadi pengikut Taurat.” jawab Shafiyah. 

Di Madinah, para istri Nabi menyambut Shafiyah dengan waspada dan tidak suka karena dia seorang Yahudi. Namun dari pernikahan ini justru menunjukkan kasih sayang, toleransi, dan penghormatannya pada Ahli Kitab. Shafiyah binti Huyay wafat pada tahun 50 H.

Pada saat yang sama, sekembali dari Perang Khaibar, rombongan dari Habasyah yang dipimpin Ja’far bin Abu Thalib tiba. Dalam rombongan itu ada Ramlah binti Abu Sufyan, yang turut mengisi bilik rumah tangga Nabi Saw. Ramlah binti Abu Sufyan, atau Ummu Habibah, adalah janda Ubaidillah bin Jahsy al-Asadi. Ummu Habibah wafat di masa kekhalifahan saudaranya, Muawiyah, pada tahun 44 H.  

Akhirnya tibalah Maimunah binti Harits yang menutup kisah poligami sang Nabi Saw. Ia saudari Ummu Fadhl istri Abbas bin Abdul Muthalib. Maimunah wafat pada masa Muawiyah, 51 H.

Nah, mereka itu semua yang terpilih oleh Tuhan untuk mendampingi kehidupan Rasul-Nya. Pada saat Nabi mengajukan pilihan: tetap bersamanya atau bercerai untuk mendapatkan kehidupan dunia yang lebih baik.

Mereka tegas, tanpa ragu secuil pun, tetap ingin bersama sang Nabi Saw. Di sisi beliau, mereka benar-benar mendapatkan kehormatan. 

Terlebih memang, dengan kemahiran yang mencengangkan dan memesona, sang Rasul Muhammad Saw. mampu memperlakukan satu demi satu istrinya dengan perlakuan yang menyenangkan sekaligus membahagiakan hati mereka.

Muhammad Saw. begitu sabar menghadapi intrik-intrik permaduan yang datang dari Sayyidah Aisyah, Hafshah, Zainab, atau pun Shafiyah.

Tidak kita dapati, dalam sirah mana pun, Nabi Muhammad Saw. memperlakukan salah seorang istrinya dengan semena-mena. Baik kata-kata yang menyudutkan maupun kekerasan fisik. Ya, Nabi yang sungguh mulia itu tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya. Tidak pernah.

Justru, Muhammad Saw. membebaskan istri-istrinya untuk mengajukan protes, mengungkapkan pendapat, atau menunjukkan kecemburuan yang bahkan sangat menggemaskan hati. 

Muhammad Saw. tak pernah mengekang naluri mereka. Tak pernah menuntut para istri untuk keluar dari karakter dasar. Hanya sesekaIi meluruskan pendapat sekiranya menusuk perasaan yang lain. Seperti terhadap Zainab binti Jahsy atau Aisyah binti Abu Bakar yang mendongkoli Shafiyah binti Huyay.

Ya, begitulah!

Baca juga: Senada dengan Aisyah



Post a Comment

0 Comments