Fitnah

Sebuah perjalanan dari Bani Musthaliq. Dan Aisyah serta Ummu Salamah yang kebagian menemani Nabi dalam ekspedisi ini.

Saat itu Aisyah berusia 14 tahun, suatu usia kemanjaan yang acap menggemaskan pihak lain. Sementara Ummu Salamah sudah 38 tahun.  

Karena malam telah menjemput, Muhammad Saw. memerintahkan rombongan untuk beristirahat. Baru kemudian, pada tengah malam mereka melanjutkan perjalanan.

Namun, saat malam merangkak gelap, Aisyah baru sadar bahwa seuntai kalung onik yang dipakaikan ibunya pada hari pernikahannya dengan Nabi jatuh entah di mana. Dan ia tidak mau kehilangan barang miliknya yang paling berharga itu.

Nabi, demi sayangnya pada Aisyah, memerintahkan untuk menambah waktu istirahat sampai esok tiba, agar Aisyah bisa mencarinya dalam terangnya matahari pagi.

Di antara pasukan banyak yang menggerundel, karena harus menginap di tempat yang sungguh tak menyenangkan itu. Ya, di tempat itu tidak ada air. Tidak ada sumur yang bisa dijangkau. Sementara persediaan air mereka telah menipis.

Mereka berpikir bahwa esok fajar mustahil bisa mendirikan salat subuh. Tetapi di detik-detik terakhir malam itu, turunlah ayat 43 surah An-Nisa yang memerintahkan tayamum sebagai pengganti wudu. 

Kita paham, tayamum dilakukan dengan cara menyentuh tanah, atau apa saja yang dianggap mengandung debu, dengan kedua telapak tangan dan menyapukannya secara lembut pada wajah dan kedua tangan. 

Sontak, mereka yang sebelumnya memendam kesal langsung meluapkan kegembiraan dan memuji keberkahan keluarga Abu Bakar. Padahal sebelumnya, Abu Bakar sendiri sempat kesal sekaligus malu atas kemanjaan Aisyah. 

Seusai berjamaah subuh, Aisyah mulai mencari-cari kalungnya. Tapi, hingga siang, kalung belum ditemukan. Harapan pun sirna. Dan semua, termasuk Ummu Salamah, sudah bersiap-siap di atas unta untuk melanjutkan perjalanan ke Madinah.

Aisyah putus asa, dan bersiap pula untuk berangkat tanpa seuntai kalung onik kesayangannya. Namun, begitu unta Aisyah bangkit dari tempatnya berlutut semalaman, ternyata harta miliknya yang paling berharga itu tergeletak di bawah unta.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di pemberhentian terakhir, beberapa kilometer di luar Madinah. Tetapi kejadian berulang, malam itu, tatkala hendak berangkat ke Madinah, kalung yang melingkari leher Aisyah terlepas.

Lagi-lagi Aisyah baru sadar, ketika ia dan Ummu Salamah telah duduk di atas unta mereka masing-masing. Di dalam sekedup Aisyah membuka kerudung, dan tahu bahwa seuntai onik itu tak di tempat. 

Aisyah, yang sungguh tak mau kehilangan harta pemberian ibunya itu, tanpa meminta izin lebih dulu keluar dari balik tirai untuk mencari kalungnya. Sedang sahabat yang jadi pemandu unta Aisyah tidak mengetahui kalau Aisyah tak berada di dalam sekedup di atas unta.

Ke sana kemari Aisyah pun mencari. Dan cukup lama ia mencarinya. Kemudian, tatkala kalung ditemukan, ketika Aisyah kembali ke perkemahan, rombongan pasukan Nabi telah meninggalkan tempat. Ia pun duduk di tempat nyaman untuk bersandar, seraya berpikir akan dijemput.

Datang kemudian, saat awal fajar, Shafwan bin Mu’athal yang ditugaskan Nabi sebagai petugas penyapu. Ia mengambil barang-barang rombongan pasukan yang tertinggal atau terjatuh di sepanjang perjalanan. 

Shafwan terkejut mendapati Aisyah terduduk bersandar. “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Ini istri Rasulullah Saw!” ucap Shafwan yang tak menyangka Aisyah bakal tertinggal dari rombongan.

Lantas Shafwan mempersilakan Aisyah naik di untanya. Ia sendiri berjalan sambil menuntun unta tersebut hingga bertemu dengan rombongan Nabi yang tinggal sejengkal memasuki kota Madinah.

Rombongan itu pun terkejut, terutama pemandu unta Aisyah yang lekas sadar bahwa sekedup di atas unta yang ia tuntun ternyata kosong. Bersama-sama, rombongan itu menginjakkan kaki di kota. 

Sebagaimana biasa, seusai perang, harta rampasan dibagi-bagi. Dan di dalam rampasan itu ada seorang tawanan, Juwayriah binti Harits, putri kepala Bani Musthaliq.

Juwayriah telah menjadi bagian seorang Anshar dengan harga tawaran yang sangat melambung tinggi untuk pembebasannya. Juwayriah berpikir bahwa ayahnya pun tak bisa menebus dirinya. 

Juwayriah menghadap Nabi untuk turut menyelesaikan masalahnya. Saat itu Muhammad Saw. sedang di pondok Aisyah. 

Begitu Aisyah melihat keelokan rupa Juwayriah, nalurinya bergolak. Rasanya Aisyah ingin mencegat agar perempuan ini tak jadi menemui suaminya, tapi tak tega juga membayangkan masalah yang melilit Juwayriah. Aisyah mengantarnya.

Di hadapan Muhammad Saw., setengah menangis Juwayriah berkata, “Rasulullah, aku putri pemimpin Bani Musthaliq. Kau lihat sendiri saat ini kami kalah perang. Suamiku terbunuh, dan aku jatuh sebagai tawanan Tsabit bin Qais. Ia memang lelaki baik, tak pernah berlaku buruk padaku.

“Namun, begitu kukatakan aku ingin menebus diri, dan ia tahu siapa aku, ia melejitkan harga tebusan. Rupanya ia ingin memeras harta dariku, tetapi aku tak punya. Maka, kupikir lebih baik minta perlindungan padamu. Tolong, bebaskan aku, wahai Rasulullah!”

Terenyuhlah Muhammad Saw. mendengar penuturan perempuan ini. Ia membayangkan seorang putri kepala suku, yang bergelimang kehormatan dan martabat, tiba-tiba jatuh hina laksana budak. 

“Aku akan menebusmu dan menikahimu,” kata sang Nabi, yang juga turut disimak Aisyah yang duduk di sebelahnya.   

Seketika hati Juwayriah binti Harits berbunga-bunga. Ia langsung berasa terbang karena akan menjadi istri seorang pemimpin yang gagahnya tak menyusut ini. Apalagi ia seorang nabi. Maka, harga diri Juwayriah akan jauh melambung daripada sebelumnya.

Tetapi tanpa disadari Juwayriah, duduk seorang muda di sebelah Muhammad Saw. yang justru kesal sembari memegang seuntai kalung onik melingkari lehernya. 

Ya, seuntai kalung onik, yang sempat dua kali terjatuh setelah memenangi suku yang dihuni Juwayriah. 

Muhammad Saw. pun menikahi Juwayriah, dan membangunkan bilik di sebelah bilik-bilik para istri yang lain di samping Masjid Nabawi.

Sehingga, di situ telah berkumpul: Saudah binti Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hashah binti Umar bin Khattab, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, dan Juwayriah binti Harits.

Sementara Juwayriah masih sibuk seusai pernikahan, di Madinah mulai ada bisik-bisk yang menyangkut Aisyah. Mereka menyoal kebersamaan Aisyah dengan Shafwan yang terpisah dari rombongan Nabi sebelum memasuki kota Madinah.

Semula, baik Aisyah maupun Shafwan, dan rombongan pasukan yang mengepung Bani Musthaliq, termasuk Ummu Salamah yang turut dalam rombongan, bahkan Nabi sendiri, tidak memikirkan akan adanya gosip itu. 

Saat itu, mereka semuanya menganggap wajar. Muhammad Saw. pun menangkap keterangan Aisyah, yang tanpa izin keluar dari sekedupnya, demi seuntai kalungnya itu sebagai hal yang logis. Terlebih Shafwan turut menguatkan keterangan, yang memang saat itu ditugaskan untuk menyisir barang-barang yang dilalui rombongan sepulang dari Bani Musthaliq.

Tetapi Hannah binti Jahsy, yang merasa bahwa Aisyah lebih disukai Nabi ketimbang kakaknya, Zainab binti Jahsy, bersemangat menyebarkan gosip tersebut. Padahal Zainab sendiri tidak mau tahu soal desas-desus yang mulai beredar dari mulut ke mulut itu.

Zainab binti Jahsy sama sekali tak berminat untuk memanfaatkan peluang agar lebih dicintai Nabi. Ia, juga para istri yang lain, lebih percaya akan kesucian Aisyah. 

Zainab dan Aisyah memang sedang bersaing untuk menjadi istri favorit Nabi. Tetapi Zainab sadar untuk tidak turut menyebarkan bisik-bisik yang jelas akan menyakiti perasaan Aisyah, terkhusus perasaan suaminya.

Zainab sangat sedih dengan pikiran buruk saudaranya itu yang malahan getol membumbuhi desas-desus keburukan Aisyah. 

Penyebar gosip lainnya, selain Masthah, adalah Hassan bin Tsabit, dan kemudian semakin meluas setelah Abdullah bin Ubay dan orang-orang munafik Madinah turut andil.

Aisyah sendiri belum mengetahui kabar yang mencemarkan dirinya itu. Semenjak tiba dari ekspedisi ke Bani Musthaliq, ia jatuh sakit. Dan selama sebulan, ia lebih suka berbaring istirahat. Tiada seorang pun yang memberi tahu soal desas-desus dirinya.

Hanya saja, Aisyah mulai merasakan ada yang aneh dalam diri suaminya. Nabi biasanya takjub dengan kecemburuan Aisyah, yang saat itu memang tengah mencemburui Juwayriah. Tetapi Aisyah tak mendapati kelembutan Rasulullah. Ia hanya bertanya datar, “Bagaimana keadaanmu?”

Ketika keadaan Aisyah beranjak pulih, seperti yang dituturkan Muhammad Said Ramadhan dalam The Great Episodes of Muhammad, ia keluar dari biliknya bersama Ummu Masthah. Tetapi ketika berjalan tanpa sengaja Ummu Masthah tersandung kainnya sendiri dan berseru, “Celakalah Masthah!”

Aisyah heran mendengar Ummu Masthah mencela anaknya sendiri. “Kenapa engkau mengecam anakmu? Padahal engkau sendiri yang hampir jatuh. Kenapa engkau malah mengecam seorang ahli Badar?”

“Duhai Junjunganku, apakah engkau belum mendengar apa yang dikatakannya?”

“Apa yang dikatakannya?” tanya Aisyah.

Mulailah Ummu Masthah menceritakan kabar tentang dirinya bersama Shafwan yang berjalan terpisah dari rombongan. Dan kabar itu tersiar luas dengan segala bumbu kekejian tentang kehormatan seorang istri, soal harga diri Aisyah.

Seketika hati Aisyah terguncang. Sakitnya yang mulai pulih, kembali kambuh. Bahkan lebih parah dari sebelumnya. Sehari semalam ia hanya sanggup menangis di ranjang ditemani Ummu Masthah. Kemudian, ia meminta izin pada suaminya untuk pulang dulu biar dirawat ibunya sendiri.  

Sang Rasul Muhammad mengizinkan istrinya beristirahat di rumah orangtuanya, sembari memendam rasa gelisah. Apakah Aisyah berkhianat? Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Ia selama ini menunjukkan diri sebagai perempuan muda yang terhormat, dan berkepribadian tulus. Ia sering cemburu, memang, tapi masih wajar selaku istri yang dikelilingi para madu.

Muhammad Saw. mengundang Ali bin Abu Thalib dan Usamah bin Zaid untuk dimintai pandangan. 

Usamah berkata, “Wahai Rasulullah, pertahankan keluargamu. Tidak ada sesuatu pun yang kulihat darinya selain kebaikan. Sungguh, desas-desus ini hanyalah kabar dusta dan benar-benar keji.”

“Wahai Rasulullah,” sambung Ali, “masih banyak wanita yang bisa menggantikan posisinya di sisimu dan Tuan mampu melakukannya. Tanyakanlah kepada pembantunya, ia akan menyampaikan kabar tentangnya.”

“Demi Dia yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah.” berkata Burairah saat dipanggil Nabi Muhammad. “Aku tidak melihat pada diri Aisyah sesuatu yang kuanggap sebagai keburukan.”

“Ia hanyalah wanita belia yang tertidur,” lanjut Burairah. “Sehingga lalai menjaga adonan roti untuk keluarganya hingga datang seekor kambing dan memakan adonan tersebut. Artinya, jika itu dianggap sebagai keburukan, maka hanya seperti itulah keburukannya.”  

Kemudian Muhammad Saw. mendatangi rumah Abu Bakar. Ia ingin mengetahui keadaan Aisyah, sekaligus bertanya langsung padanya soal kabar yang tersiar luas. 

Baginda Nabi duduk berhadapan dengan Aisyah yang diapit kedua orangtuanya, “Wahai Aisyah, sungguh aku telah mendengar kabar dirimu bahwa kau begini dan begitu.”

“Jika kau memang bersih dari tuduhan itu,” lanjut Rasulullah, “niscaya Allah akan menyatakannya dan membebaskanmu dari dosa itu. Tetapi jika kau mengakui telah melakukan dosa itu, segeralah bertobat dan meminta ampunan kepada Allah. Sesungguhnya jika seorang hamba mengakui kesalahannya dan bertobat, niscaya Allah akan menerima tobatnya.”

Aisyah mengusap air matanya. Ia berkata kepada Abu Bakar, “Jawablah untuk Rasulullah. Katakanlah sesuatu sebagai jawaban atas ucapan beliau, wahai Ayah.”

“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan kepada Rasulullah.” jawab Abu Bakar.

Zainab, ibunda Aisyah, yang biasa disebut Ummu Ruman mengangguk-angguk atas jawaban suaminya. Ia senada dengan Abu Bakar, tak kuasa berkata kepada Nabi.

Aisyah berusaha tegar di tengah mereka bertiga, terutama di depan suaminya.

“Kalian telah mendengar gosip yang telah tersebar luas ini,” ucap Aisyah, “sehingga kabar itu melekat di dada kalian. Seandainya kukatakan kepada kalian bahwa aku bersih dari urusan ini, dan sungguh Allah mengetahui bahwa aku memang bersih, kalian tidak akan menerima dan percaya.”

Aisyah melanjutkan, “Dan jika aku mengakui perkara yang Allah tahu bahwa aku bersih darinya, kalian akan menerima pengakuan itu. Demi Allah, tidak ada perumpamaan yang lebih baik bagiku dalam keadaan sekarang, kecuali seperti ungkapan Yusuf, ‘Maka kesabaran yang indah itulah kesabaranku. Hanya Allah yang dimintai pertolongan atas apa yang kalian ceritakan’.”

Setelah berkata demikian, Aisyah berpaling dan berbaring di atas kasurnya. Baginda Muhammad Saw. belum beranjak dari tempat duduknya. Demikian pula Abu Bakar dan Ummu Ruman.

Sampai kemudian tiba-tiba dari kening sang Nabi mengalir keringat seperti butiran mutiara. Aisyah dan kedua orangtuanya tahu bagaimana perangai Muhammad Saw. yang tengah dikuasai Jibril. Abu Bakar dan Ummu Ruman cemas, jangan-jangan wahyu ini akan menelanjangi putri mereka.

Hampir saja mereka bergegas keluar rumah kalau saja Aisyah tidak buru-buru bangkit dari kasur dan memegangi tangan mereka agar tetap bertahan di tempat. Aisyah sama sekali tidak gelisah, malahan sangat berharap akan turun wahyu yang membersihkan namanya.

Begitu Jibril berlalu, berseri-serilah rona muka Muhammad Saw. seraya berkata, “Duhai Aisyah, bergembiralah karena Allah telah membebaskanmu, telah membersihkanmu.”

Berbinar pula wajah Abu Bakar dan istrinya. Mereka sangat lega. Kemudian Ummu Ruman meminta Aisyah, “Bangun dan berterimakasihlah kepada Rasulullah!”

“Aku hanya akan berterimakasih kepada Allah, dan tidak memuji seorang pun selain Dia. Dialah Allah yang menurunkan ayat yang membebaskanku.” tegas Aisyah. 

Nah dari kasus yang menerpa diri Aisyah, yang otomatis menyeret kemuliaan suaminya, kita jadi paham betul betapa desas-desus fitnah itu merupakan serangan yang sungguh mematikan. 

Sebuah serangan yang langsung menusuk ke jantung si korban. Dan Muhammad Saw. masih tetap sebagai manusia biasa yang juga dilanda kegelisahan, meski ia yakin Aisyah tak bersalah.

Saya sepaham dengan penjelasan Muhammad Said Ramadhan, Aisyah adalah orang pertama yang mengetahui hakikat Baginda Nabi Muhammad Saw.

Pertama, Muhammad Saw. sebagai utusan Tuhan tidak lantas membuatnya steril dari keadaan diri selaku manusia biasa. Kabar dusta itu telah menyerang emosi kemanusiaan Rasulullah. Ia tidak mengetahui persis selain apa yang telah dijelaskan Aisyah dan Shafwan. 

Bantahan Aisyah tak lantas membuat gelisah Muhammad Saw. surut. Sehingga, peristiwa yang meluas sekembalinya dari Bani Musthaliq, menunjukkan bahwa Muhammad Saw. tetap manusia yang memiliki perasaan dan pemikirannya sendiri sebagaimana lazimnya manusia-manusia yang lain.

Muhammad Saw. tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui apa yang ada di balik peristiwa. Ia tidak bisa menyingkap apa yang benar-benar telah mendera istrinya. Maka, ia pun meminta pertimbangan dari Ali, dari Usamah, dan juga dari pembantu Aisyah.

Kedua, persoalan fitnah itu selesai begitu turun wahyu yang membersihkan Aisyah dari tuduhan keji. Hal ini pun menunjukkan betapa Muhammad Saw. tidak memiliki kuasa atas cepat lambatnya wahyu turun.

Wahyu Al-Quran benar-benar dari kehendak Allah, bukan dari keinginan atau rekayasa Nabi Muhammad. Wahyu berasal dari luar diri Muhammad Saw., bukan dari dalam sebagaimana diyakini oleh sebagian cendekiawan yang menyamakannya dengan atau sebagai ilham.

Ayat-ayat Al-Quran terlepas dari emosi dan harapan Muhammad Saw. Wahyu Allah bukanlah hasil gejolak kejiwaan dalam hatinya. Maka, dari kabar yang tersiar di seantero Madinah itu, jelas bahwa Muhammad Saw. sama sekali tidak merekayasa imajinasi dan pemikirannya agar Aisyah bisa secepatnya pulih dari tuduhan dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran.

Nabi Muhammad, sekali lagi, hanya berperan sebagai penerima, penjelas, dan pelaksana wahyu. Beliau sepenuhnya tak berwewenang agar wahyu turun lebih cepat atau lebih awal, sebelum berita bohong itu meluas dan menggerogoti keyakinan masyarakat Madinah terhadap martabat keluarganya.

Saya bayangkan saat itu Aisyah terus-terusan bermuka masam, karena ayat yang memulihkan kehormatan dirinya tak kunjung turun. Berbeda dengan kasus Zainab binti Jahsy, misalnya, Allah seketika turun mengatasi untuk membebaskannya dan menikahkan dengan Nabi.

Sementara, desas-desus yang menyeret harga diri Aisyah mesti bersilang sengkarut terlebih dahulu hingga sebulan lebih lamanya. Seolah menunggu sampai air mata Aisyah habis terkuras. Seakan ditunda-tunda hingga sakitnya semakin parah. Sampai perasaan kedua orangtuanya teraduk-aduk.

Namun, apa pun itu toh akhirnya Aisyah mengerti betul hakikat persaksiannya. Betapa suami terkasihnya adalah nabi dan rasul yang benar-benar berwajah manusiawi. Betapa yang kemudian menjadi satu-satunya hanyalah Allah, selain Dia adalah fatamorgana yang selayaknya dilupakan.

Itulah, tatkala Ummu Ruman meminta putrinya untuk bergegas berterimakasih kepada Muhammad Saw., Aisyah menolak tegas, “Demi Allah, aku tidak akan berterimakasih kecuali kepada Allah.”

Ya, fitnah itu pun berakhir. Aisyah kembali ke pondoknya, ke lubuk hati suami tercintanya. Semenjak itu Aisyah semakin matang, makin terhormat di sisi Nabi. Madu-madunya yang lain menyeganinya. 

Muhammad Saw. pun jadi lebih mengerti kecerdasan, kehormatan, dan keikhlasan Aisyah. Sampai-sampai Jibril berkirim salam kepadanya. “Wahai Humayra, ini Jibril menyampaikan salam untukmu,” tutur sang suami.

“Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah Allah dilimpahkan kepadanya juga,” balas Aisyah.

Hari berikutnya Muhammad Saw. memanggil Masthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hannah binti Jahsy. Ketiganya dihukum 80 kali cambukan karena turut menuduh Aisyah selingkuh. Tak terkecuali Abdullah bin Ubay juga kena sanksi.

Baca juga: Maharani Madinah dan Zainab binti Jahsy

Post a Comment

0 Comments