Titik Balik Kemenangan

Saya mengulik sedikit peristiwa Hudaibiah. Peristiwa yang di kemudian hari baru disadari sebagai titik balik kemenangan umat Islam Madinah.

Setelah bermusyawarah dengan para sahabat, Muhammad memutuskan untuk menghindari pasukan patroli yang dikirim pemuka Quraisy.

Karena rombongan dari Madinah ini tidak berangkat untuk berperang, tetapi menunaikan umrah. Muhammad memutuskan berangkat pada malam hari, beristirahat pada siang hari.

Muhammad sangat memahami jalur Hijaz. “Kita mengambil jalur kanan pada gurun pasir yang bergelombang dan berkelok-kelok. Karena mata-mata Quraisy melewati Zhahran atau Shanjinan.”

Sebelum rombongan sampai di Hudaibiah, Muhammad berinisiatif mendapatkan sumber air yang melimpah di sebuah sumur yang kering, dengan sedikit air.

Kemudian, setiba di lokasi yang dikehendaki, di sebuah tempat di Hudaibiah, Muhammad menyerahkan sebuah anak panah kepada Najih bin A’jam untuk turun mencari jejak air dan menggalinya. Air pun memancar, hingga segenap rombongan tidak kekurangan air dan menjadi segar.

Di tempat itu kemudian, di Hudaibiah, mereka merasakan tidak kekurangan air atau pun makanan. Juga mereka tak merasakan adanya ancaman serangan.

Memang, Muhammad berangkat bersama para sahabat dalam rangka berumrah, tidak berperang, tanpa membawa senjata. Walau, persenjataan tetap dipersiapkan secara tersembunyi di barisan paling belakang, sekiranya ada serangan mendadak.

Muhammad di hadapan Budail bin Waraqa, utusan dari Quraisy, memberikan jawaban, “Sesungguhnya kami tidak datang untuk memerangi siapa pun, tetapi untuk mengelilingi rumah suci. Barangsiapa menghalangi, kami akan memerangi.”

Sebuah jawaban yang mengindikasikan betapa Muhammad tahu betul kondisi dan psikologi kaum Quraisy. Seolah mereka adalah orang lain yang merasakan keramahan Nabi, tapi mereka berupaya mempertahankan prinsip dan bersikap keras, tapi tidak sampai terjadi perang terbuka.

Muhammad tahu betul, kaum Quraisy sungguh membencinya, tetapi pada saat itu tidak akan terjadi perang terbuka, karena rombongan Madinah ini jelas-jelas hendak menunaikan umrah.

Ketika Budail tiba di Makkah sembari membawa surat dari Muhammad, “Saya datang dari hadapan Muhammad. Tidaklah kalian senang jika kuberitahukan kepada kalian?”

“Tidak!” sahut Ikrimah bin Abu Jahal. “Kami tidak membutuhkan informasimu tentang dia. Akan tetapi sampaikan kepadanya, ia tidak boleh kemari tahun ini. Baru boleh umrah tahun depan!”

Pernyataan Ikrimah ini diamini oleh banyak pemuka Quraisy. Kemudian mereka mengutus Urwah bin Mas’ud untuk menghadap Muhammad.

Ketika Urwah kembali ke dewan Quraisy, ia berbicara dengan tokoh-tokoh layaknya seseorang yang sangat terpesona oleh wibawa Muhammad. Urwah melihat langsung betapa kecintaan dan ketaatan para sahabat terhadap Muhammad sangatlah tinggi.

Urwah melihat, Muhammad telah menerapkan sebuah sistem yang baik dan karakter yang agung pada komunitas yang dibangunnya. Terdapat kedisiplinan, berlimpah kebaikan, semangat untuk mempersatukan barisan, dan jalinan persaudaraan yang kuat.

Urwah sangat terpesona melihat kenyataan ini. “Wahai pemuka Quraisy, sungguh aku telah menghadap kepada para raja, kaisar, dan sebagainya, tapi aku belum pernah melihat seorang penguasa yang sedemikian ditaati oleh orang-orang yang mengelilinya selain Muhammad.”

“Sungguh,” lanjut Urwah, “tiada satu pun dari mereka yang berani menatap tajam kepadanya dan tidak perlu berteriak melebihi suaranya. Ia cukup memberikan isyarat untuk melakukan sesuatu, maka segera dilaksanakan.

“Demi Allah, aku melihat kaum perempuan bersamanya yang senantiasa menyampaikan salam kepadanya dalam keadaan bagaimanapun. Maka, terimalah agenda yang ia tawarkan kepada kalian, meski aku khawatir kalian tidak mendapat kemenangan darinya. Tapi, ia seorang lelaki yang hendak mengunjungi Ka’bah, menghormatinya dengan membawa binatang kurban.”

Namun, kaum Quraisy tidak mengizinkan umat Islam Madinah memasuki Makkah pada tahun itu, 6 H/628 M. Mereka menawarkan agar umat yang dipimpin Muhamad baru tahun berikutnya bisa menunaikan umrah.

Semula, para pemuka Quraisy yakin bahwa umat Madinah itu akan menolak tawaran mereka, dan memilih jalan kekerasan untuk masuk Makkah. Dan kaum Quraisy sudah siaga untuk berperang, selagi yang mereka lihat umat Islam tidak membawa senjata perang.

Akan tetapi, Muhammad ternyata memiliki pandangan yang jauh ke depan—meski para sahabat utama tidak memahaminya—menyatakan bahwa tawaran pemuka Qurasiy bisa diterima karena kesepakatan ini bersierat dengan penghentian perang dan terbukanya jalur antara Makkah dengan Madinah bagi risalah Nabi.

Dalam sirah kita ketahui, Muhammad merupakan tipe pekerja keras dan seorang yang sangat bersemangat. Ia tidak membiarkan situasi dan kenyataan akan mengendalikan diri dan pengikutnya.

Itulah yang kemudian kita baca dari peristiwa di Hudaibiah. Bahwa dengan kecerdasan dan wawasannya yang luas, ia mengetahui betul titik kelemahan dan minimnya strategi kaum Quraisy.

Ia terima kesepakatan seolah-olah begitu saja atau sebagai kekalahan telak di pihaknya. Padahal ia telah berhitung demi kelangsungan risalah Tuhan di bumi Makkah, tempat Ka’bah berdiri.

Di Hudaibiah, ia berinisiasi memulai negosiasi dengan para dewan Quraisy. Ia mengutus Utsman bin Affan, yang dipandang memiliki hubungan kerabat dengan kaum Quraisy, terutama Abu Sufyan.

Muhammad paham bahwa kaum Quraisy Makkah memiliki fanatisme yang cenderung kepada Bani Abd Syams. Dan sikap Bani Abd Syams ini sangat keras melawan Bani Hasyim, klan Muhammad.

Di Makkah, selain bernegosiasi dengan para pemimpin Quraisy, Utsman bin Affan bertemu dengan sejumlah umat Islam yang ditindas pemuka Quraisy. Bahwa singgahnya Nabi di Hudaibiah membangkitkan harapan mereka, “Sampaikanlah salam penghormatan kami kepada Rasulullah, wahai Utsman. Kami menanti kehadiran beliau di Makkah.”

Utsman bin Affan semestinya telah kembali dan menyampaikan hasil investigasinya kepada Nabi. Namun, dari batas waktu yang ditetapkan, ia tidak kunjung tiba di Hudaibiah. Muhammad kembali mengutus beberapa sahabat.

Namun, mereka pun tetap tak kunjung balik. Hal itu yang kemudian menuntut Muhammad untuk mempersiapkan diri. Ia menggelar forum musyawarah di tengah para sahabat senior dan pengikut-pengikutnya.

Muhammad menginstruksikan kepada para sahabat untuk waspada dan berjaga-jaga. Ia pun menempatkan Aus bin Khauli, Ubbad bin Bisyr, dan Muhammad bin Maslamah, memimpin pasukan tersembunyi. 

Dan tepat, pada suatu malam, Muhammad bin Maslamah berhasil menangkap 50 orang mata-mata yang dikirim kaum Quraisy.

Sementara dalam musyawarahnya, Muhammad mengajukan dua pilihan kepada pengikutnya: bagi yang ingin berperang boleh berperang dan yang tidak mampu berperang boleh melakukan apa saja yang diinginkan.

Pola musyawarah Nabi, membiarkan pengikut-pengikutnya bebas memilih, merdeka menyatakan pendapat. Dan Muhammad sungguh-sungguh tak memaksakan kehendak.

Padahal bisa saja, dalam urusan dunia, Nabi berhak menetapkan sesuatu, dan itu legal, karena ia pemimpin Madinah sekaligus pemimpin spiritual/agama.

Nah, peristiwa baitur ridhwan bukan sekadar kesepakatan umat Muhammad untuk berperang, melainkan peneguhan prinsip musyawarah itu sebagai kaidah risalah.

Muhammad duduk di bawah pohon ridhwan, dan para sahabat antusias menerima usulan Nabi untuk bersiap-siap angkat senjata, sekira kaum Quraisy menyerbu Hudaibiah.

Dan ketika sejumlah tokoh Quraisy, seperti Suhail bin Amir dan Huwaithib bin Abdul Uzza, melihat geliat umat Islam di Hudaibiah, secepat mungkin kembali ke Makkah. Mereka gemetaran. Penuh ketakutan. 

Mereka melapor ke pemuka Quraisy perkembangan terkini umat Madinah yang bersiaga penuh untuk menyerang Makkah.

Menanggapi laporan itu, pemuka Quraisy membebaskan Utsman bin Affan dan sejumlah umat Islam yang ditawan. Para pemuka itu berkeyakinan, tidak bakal sanggup melawan umat Islam yang sedang marah dan bersiaga penuh di Hudaibiah.

Para tokoh Quraisy sadar, Muhammad dan pengikut-pengikutnya itu tidak bersabar menunggu perintah Nabi untuk menggempur Makkah, jika tak segera membebaskan Utsman dan para tawanan yang lain.

Mendapati Utsman bin Affan dan sahabat-sahabatnya yang lain kembali dengan selamat, Muhammad pun membebaskan 50 mata-mata Qurasiy yang ditangkap Muhammad bin Maslamah.

Lantas Muhammad kembali ke tujuan semula, umat Islam sedianya akan tetap menghindarkan Makkah dari peperangan.

Dalam hal ini, para tokoh dan pemimpin Quraisy itu sungguh-sungguh bersyukur, Muhammad tidak mengizinkan para sahabatnya untuk menyerang Makkah. Mereka makin sadar, Muhammad benar-benar sosok ramah dan gampang memaafkan.

Demikianlah akhirnya, penduduk Makkah menerima Islam, dan mengabaikan permusuhan pemuka Quraisy dengan Muhammad, yang selanjutnya terbuka jalan penaklukan Makkah tanpa kekerasan.

Dan sejarah membuktikan, prediksi Muhammad sangatlah akurat. Bahwa akhir dari kesepakatan di Hudaibiah ini, meski sekali lagi belum bsa dipahami para sahabat secara penuh, kecuali di kemudian hari, menjadi titik balik kemenangan.

Beruntunglah pula saat itu, dalam perjalanan ke Hudaibiah, Muhammad ditemani Ummu Salamah, istri yang cerdas dan penyabar.

Baca juga: Parit

Post a Comment

0 Comments