Resmi dibatalkan. Ya, di penghujung tahun ketiga pemboikotan itu, para bangsawan Makkah terpaksa bersepakat membatalkan perjanjian boikot.
Betapa selama masa boikot, segenap keluarga Bani Hasyim terisolasi di salah satu lereng perbukitan kota Makkah, Mina. Fakta bahwa boikot yang sarat kezaliman itu telah menyebabkan penderitaan yang sangat berat bagi Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib.
Mereka mengalami penderitaan. Rasa lapar tidak bisa dikurangi dengan keterbatasan bahan makanan. Mereka tidak dimungkinkan untuk bebas bergaul atau berbicara dengan penduduk Makkah.
Dan di ujung tahun ketiga itu, Allah mengirim rayap untuk memakan lembar perjanjian, kecuali beberapa kata yang menyebut nama-Nya. Dan Muhammad memperoleh informasi itu, lantas memberi tahu pamannya.
“Apakah Tuhanmu yang memberitahukan ini kepadamu?” tanya Abu Thalib.
“Ya, Paman, Allah Swt. yang telah memberi tahu.” jawab Muhammad.
Abu Thalib bersama beberapa tetua Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib mendatangi tetua Makkah di Darun Nadwah.
“Keponakanku telah memberitahuku, dan dia sama sekali belum pernah berdusta kepadaku, bahwa Allah telah mengirimkan rayap memakan lembaran yang kalian tulis sehingga tak ada lagi kalimat-kalimat kezaliman yang memutuskan silaturahim dalam lembar perjanjian itu.
“Jika kata-katanya itu benar, aku meminta kalian untuk membatalkan perjanjian itu. Sebab, demi Allah, kami tidak akan menyerahkannya sebelum orang terakhir dari kami mati. Namun, jika kata-katanya itu tidak benar, anak kami itu akan kami serahkan kepada kalian untuk kalian perlakukan sesuka hati.”
Dengan angkuh dan penuh riang kemenangan mereka mengiyakan, “Kami menyetujui ucapanmu.”
Pagi hari para tetua Makkah diikuti Abu Thalib dan beberapa dari kaumnya berkumpul. Para tetua itu mengelilingi Ka’bah. Mereka membuka naskah yang terpaku di depan pintu itu, dan ternyata mereka mendapati persis yang dikabarkan Abu Thalib.
Mereka mendapati rayap telah memakan lembaran itu, kecuali tulisan “Bismikallahumma”. Dengan demikian, pemboikotan itu berakhir. Nabi dan para pengikut, dan segenap keluarga dari Bani Hasyim, bisa kembali ke kota Makkah.
Walau begitu, Abu Jahal makin kencang memusuhi Muhammad, dan berujar lantang, “Keponakanmu telah melakukan sihir. Ini ulah perbuatan sihirnya.”
Abu Jahal tak terima, tapi bagaimanapun itu adalah fakta bahwa lembar perjanjian sudah tak berlaku. Pengasingan telah berakhir. Meski kemudian para pembesar Makkah semakin murka dan makin sengit memusuhi Muhammad. Hubungan kedua kubu itu kian memanas.
Setelah pakta boikot dirobek, setelah kembali ke rumah masing-masing, Muhammad segera melanjutkan misi ajarannya kepada kaum Quraisy dan kabilah-kabilah yang berdatangan ke Makkah. Ia terus menyiarkan ajaran, membacakan ayat-ayat dari langit.
Tapi kemudian, Khadijah mendadak mulai menunjukkan tanda-tanda tidak sehat. Sebagaimana dituturkan oleh Mohamad Jebara dalam Muhammad The World Changer, keadaan Khadijah tak kunjung membaik. Kondisinya semakin parah.
Muhammad telaten merawat istrinya. Ia duduk di belakang Khadijah, memeluknya erat di ranjang yang dibuatnya sendiri bertahun-tahun silam. Muhammad menyangga kepala Khadijah di dadanya, sedang para anggota keluarga yang lain berdiri mengerumuni mereka. Fathimah melihat air mata mengalir ke pipi ayahnya.
Persis tatkala sinar matahari meredup, kekuatan Khadijah pun berangsur surut. Sebuah tragedi pribadi yang tiba-tiba menghantam Muhammad, Khadijah meninggal dunia.
Muhammad meminta kepada semua yang hadir untuk keluar dari kamar. Dia duduk di ranjang, memeluk jenazah istrinya selama beberapa jam.
Rasanya, setelah pemboikotan, Muhammad akan menjalani kesedihan yang tak akan lapuk sepanjang hayat. Sebuah tiang paling kokoh dalam hidupnya tumbang sudah. Tumbang justru di saat dia sangat membutuhkan kehadirannya, di saat orang-orang Quraisy semakin gencar memusuhinya.
Selama 24 tahun, Khadijah sudah menjadi bintang pedomannya. Khadijah adalah wanita kepercayaannya, pelipur laranya. Khadijahlah yang paling awal meyakini bahwa diri Muhammad merupakan laki-laki paling visioner dibanding siapa pun. Khadijah melihat suaminya sebagai laki-laki paling akurat di seantero Makkah.
Bersama-sama mereka membesarkan empat putri, satu putra adopsi secara resmi, dan satu lagi diadopsi secara praktis. Mereka saling dukung. Dua putra angkat itu pun menjadi sangat dekat seperti putra kandung.
Masih jelas di benak Muhammad, Khadijah memeluknya erat saat pulang dari kengerian di gua Hira. Suara Khadijah menghiburnya, dan menenangkan bahwa yang datang pada saat itu jelas bukan sesosok jin.
Dan saat pemboikotan oleh orang-orang Makkah, Khadijah pantang menyerah di sampingnya. Ia dermakan tenaga dan harta demi menyambung hidup keluarga Bani Hasyim, dan para pengikutnya. Dan, berikutnya, setelah beberapa pekan Abu Jahal berteriak lantang menuduh sang nabi seorang penyihir, Khadijah tiada.
Muhammad benar-benar kehilangan. Muhammad keluar kamar meminta air, gamis bersih, dan kapur barus. Ia memandikan jenazah Khadijah, dan memakaikan gamis putih.
Keesokannya, Khadijah dimakamkan. Hadir keluarga dekat Muhammad dan Abu Bakar pada siang itu. Di tepi liang lahat, Muhammad memeluk keempat putrinya, juga dua putra angkatnya.
Setelah semua meninggalkan tanah makam, Muhammad seorang diri mengucapkan salam takzim kepada istrinya. Ya, sebuah salam perpisahan.
Baca juga: Pemboikotan
0 Comments