Pemboikotan

 

Para pembesar Quraisy terperanjat mendengar kabar bahwa akhirnya Umar pun mengikuti ajaran Muhammad. 

Mereka makin panik. Ajaran “bocah keluarga Abdul Muthalib yang menganggap dirinya mendapat wahyu dari langit” itu memang mengundang kesan mendalam pada siapa pun. Mereka kehilangan perhatian dari budak-budak yang dulu sangat taat pada mereka.

Umayyah, misalnya, yang memprotes Muhammad pada suatu kesempatan mengundangnya di majlis Darun Nadwah. Ia menunjuk budaknya, Bilal, “Itu Bilal. Aku membelinya dengan uangku sendiri, dan nyawanya berada di tanganku. Apakah dia setara denganku?” 

“Ya, dia bahkan memiliki kemampuan untuk melebihimu, jika dia mau.” jawab Muhammad dengan tenangnya.

Jelas Bilal sangat terkesan mendengar perdebatan majikannya dengan Muhammad. Saat itu juga ia menyatakan menjadi pengikut Muhammad. Bahkan ia terang-terangan mengatakan kepada sang majikan bahwa mereka setara.

Para pembesar Quraisy pun hampir putus asa menghadapi gerakan yang dilancarkan Muhammad. Semula mereka mengira bahwa Muhammad hanyalah pengin mengembalikan kehormatan keluarganya. Muhammad ingin menjadi pemimpin Makkah.

Namun, mereka sungguh keliru. Muhammad sama sekali tak berminat untuk meraih kekayaan, kejayaan, atau kekuasaan. Muhammad tak bermotif untuk beristri seorang putri tetua Makkah, atau yang lain. 

Sambil tersenyum lembut, Muhammad berujar kepada pamannya Abu Thalib, “Meski mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti dari misi menyebar kalimat-Nya. Pilihanku hanyalah berhasil, atau mati saat berusaha.”

Para tetua Makkah yang berkuasa di Darun Nadwah terpana, dan tidak percaya dengan kemampuan Abu Thalib membujuk keponakannya. Mereka sadar, Muhammad tidak membutuhkan harta karena sudah kaya, berkat harta Khadijah. Malahan Muhammad sendiri tidak peduli dengan semua harta itu, dan tidak pula berhasrat untuk memperbanyaknya.

Muhammad mengingatkan pengikutnya bahwa memperbanyak harta bisa menjadi racun bagi jiwa. Berbangga-bangga dalam memperbanyak dunia akan menghalangi mereka dengan Allah. 

Dan Abu Lahab, Abu Jahal, serta para bangsawan Quraisy yang lain sangat merasakan potensi gerakan yang diusung Muhammad ini. Namun, mereka bersikukuh mengingkari kebenaran. Mereka pernah menugaskan para penyair untuk menyerang dan menghina Muhammad, tapi gagal total.

Konflik terbuka pun terus berlangsung dan kian menjadi-jadi. Secara membabi buta mereka menyerang siapa pun atau kabilah mana pun yang terang-terangan mengikuti Muhammad. Mereka menyiksa dan memaksa para mualaf untuk murtad. 

Seperti yang dialami Bilal, yang dilempar ke atas pasir amat panas oleh majikannya. Bilal dipanggang di bawah sengatan terik matahari. Batu besar diletakkan di atas dadanya. Namun Bilal tak berpaling dari keyakinannya. Ia bersikukuh menjadi pengikut Muhammad.

Muhammad tak tega mendengar nasib pengikut-pengikutnya yang lemah. Ia pun menggelar pertemuan darurat. Hadir pengikut terdekat: Khadijah, Barakah, Abu Bakar, Utsman, Umar, Abdurrahman, dan Fathimah (adik Umar). 

Muhammad meminta beberapa sahabatnya ini memimpin para budak dan kaum lemah untuk benar-benar pindah ke Habasyah atau Abyssinia.

Yang pertama memimpin kepindahan ke negeri Habasyah adalah Utsman bin Affan bersama istrinya Ruqayyah, putri Muhammad. Mereka diiringi oleh sebagian pengikut Muhammad dari kelompok miskin dan kaum budak.

Menyusul kemudian rombongan kedua yang jauh lebih besar dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib, 27 tahun. Ja’far ini melek huruf dan pintar bernegosiasi. Selanjutnya mereka semua berkumpul di bawah perlindungan raja Abyssinia.

Sementara di tempat lain, para pemuka Quraisy di Darun Nadwah, berembuk bagaimana mengatasi Muhammad. Dan terbitlah keputusan resmi untuk boikot ekonomi dan sosial terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib. 

Dalam boikot itu tertera jelas bahwa orang-orang Quraisy dilarang berjual beli dengan kedua kabilah yang melindungi Muhammad. Tidak boleh menikahi seorang pun di antara mereka. Tidak boleh berbicara dengan mereka dan tidak boleh duduk-duduk, hingga Muhammad diserahkan.

Ya, pemboikotan ini berlaku sampai Bani Hasyim dan Bani Muthalib sendiri yang melarang Muhammad, atau sampai ia sendiri menarik kembali pengakuan kenabiannya. Tidak kurang dari 40 pemuka Quraisy mengokohkan perjanjian boikot, meski tak semua setuju.

Sedangkan di rumah Khadijah, Muhammad tepekur. Pemboikotan yang bakal dilakukan para pemuka Makkah memang menjadi pukulan telak bagi gerakan yang dipimpinnya. Namun, ia sedikit lega karena telah bersikeras mengungsikan sebagian besar pengikutnya untuk mendapatkan suaka di negeri seberang.

Khadijah selaku asisten nabi yang setia, dengan ketulusan iman dan keagungan cintanya, tiada jenuh menjadi pendengar yang baik dan penasihat yang cerdas bagi Muhammad. Ia sangat tahu bahwa sasaran boikot ini adalah keluarga intinya, terutama suaminya.

Khadijah pun tidak merasa eman bahwa kemudian ia akan meninggalkan rumah besarnya ini. Ya, cepat atau lambat pemboikotan berlaku, dan ia beserta suami dan putri-putri akan keluar dari Makkah dan tinggal di sebuah lembah yang gersang.

Khadijah terharu sekaligus bangga, suaminya tidak ikut pindah ke Abyssinia untuk pengamanan diri. Muhammad memilih tetap tinggal di Makkah untuk menghadapi pemboikotan. 

Pemboikotan diumumkan. ‘Amr bin Hisyam beserta rombongan tetua Makkah berdiri di depan Ka’bah. ‘Amr bin Hisyam naik tangga dan membuka gulungan perkamen.

Dengan lantang ia membacanya, “Dengan namamu, Tuhan Yang Maha Pencipta, kami memboikot Bani Hasyim. Semua orang dilarang berjual beli, menikah, atau berinteraksi dengan mereka selama perkamen ini tergantung di pintu suci.”

Selanjutnya, Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, dan para pengikut, termasuk Muhammad beserta keluarga dikepung dan dikucilkan di wilayah Bani Muthalib, lembah Mina.

Di situ, baik yang jadi pengikut Muhammad maupun para penganut tradisi leluhur, berkumpul. Para pengikut Muhammad berkumpul lantaran kesamaan prinsip tauhid, sementara yang masih berkukuh pada tradisi berada di sana karena fanatisme kekeluargaan, kecuali Abu Lahab yang memilih bergabung dengan para tetua yang memusuhi Muhammad.

Mereka hidup menderita selama tiga tahun. Mereka terpaksa makan kulit pohon dan dedaunan. Jika ada rombongan pedagang dari luar Makkah, dan para sahabat hendak membeli bahan makanan dari mereka, Abu Lahab berteriak lantang, “Hai pedagang, naikkan harga bagi para pengikut Muhammad agar tidak mampu membeli apa-apa!”

Benar-benar terjepit kehidupan mereka itu. Namun, Khadijah tampil tangguh. Ia berdiri tegar di tengah-tengah mereka. Ia pantang menyerah. Kesabarannya pun begitu dalam. Padahal jelas ia adalah wanita kaya raya. Hartanya melimpah, dan hidupnya sejahtera. 

Hakim bin Hizam, keponakan Khadijah yang berpihak kepada bangsawan Quraisy, mendatanginya di kamp pengasingan untuk membujuk sang bibi. 

Karena si Hakim ini termasuk anggota terkemuka Darun Nadwah, maka ia datang ke padang gersang dengan busana mewah dan diiringi rombongan pelayan. Hakim mendesak bibinya untuk menyelamatkan diri dengan menceraikan Muhammad dan menikah dengan ‘Amr bin Hisyam.

Seketika Khadijah murka dan mengusir keponakannya, “Selama napas masih berembus dari bibirku, aku akan tetap mendampingi Muhammad.”

Sungguh, saya terharu membayangkan nasib kaum muslim saat itu. Terutama Khadijah. Ia benar-benar wanita mulia. Kekayaan atau kesejahteraan sebelumnya tak menyurutkan kesetiaannya kepada Muhammad. Ia segera bisa menyesuaikan diri dengan kondisi padang gersang pengasingan.

Saya tak membayangkan betapa Khadijah yang seumur hidup bergelimang kenyamanan dan kemewahan, lantas ditahan di tengah padang pasir dan harus tidur di tenda darurat. 

Khadijah tanpa berkeluh kesah, mengorbankan kenyamanannya sendiri untuk membantu para pengikut Muhammad dan orang-orang Bani Hasyim lain yang belum mengikuti ajaran suaminya. Sang Maharani Makkah ini merendahkan diri sebagai pelayan kaum miskin. Ia membagikan apa pun yang dimilikinya.

Bersama sang suami, ia menghabiskan waktu untuk meninjau pengasingan sambil bergandeng tangan. Acap pula bertiga bersama putri bungsu mereka, Fathimah, yang saat itu berusia 12 tahun. Ali bin Abu Thalib kerap melihat keluarga angkatnya itu serasa tak sedang berhadapan dengan persoalan besar.

Sementara itu, para tetua Makkah tak menyangka bahwa pemboikotan akan berlangsung lama.  Mereka mengira Bani Hasyim akan menyerahkan Muhammad secepatnya. Tapi nyatanya, Bani Hasyim, terutama pemimpinnya, Abu Thalib, benar-benar melindungi Muhammad. 

Meski ada analisa dari Husain Mu’nis bahwa Abu Thalib, pada saat pemboikotan telah berusia 70 tahun, melindungi dan mendukung Muhammad bukan karena dilandasi keyakinan kepada ajaran yang dibawa sang ponakan. Tetapi lebih karena fanatisme keluarga.

Abu Thalib adalah kepala Bani Hasyim, dan Muhammad yang tak lain sebagai keponakannya adalah bagian dari Bani Hasyim. Seruan Muhammad membuat Abu Thalib menyukainya, karena merupakan seruan yang dikomandoi oleh seseorang dari Bani Hasyim. Yang suatu ketika akan mengembalikan kekuatan dan otoritas Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. 

Sehingga, Bani Hasyim membela Muhammad karena fanatisme kesukuan, sebagai akibat permusuhan lama antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah. Ajaran Muhammad bisa menjadi jalan untuk memulihkan kembali posisi mereka di tengah penduduk Makkah.

Dari situ, kita menemukan bahwa Abu Thalib memiliki persepsi yang sama dengan Abu Jahal tentang Muhammad dan ajarannya. Abu Jahal memandang agama baru itu sebagai tipuan Muhammad untuk mengembalikan status Bani Hasyim. 

Hal ini diketahui dari ungkapan Abu Jahal, “Kami bersaing dengan Bani Abdul Manaf dalam memperebutkan kemuliaan. Mereka memberi makan, lalu kami juga memberi makan. Mereka memberi dan memberi, kami pun juga begitu. 

“Namun, tiba-tiba mereka berkata ‘dari kami ada seorang nabi yang mendapatkan wahyu dari langit,’ maka kapan kami bisa mendapatkan hal yang sama? Demi Tuhan, kami tidak akan pernah mengimaninya.”

Nah, termasuk dalam hal ini adalah pemboikotan terhadap keluarga Bani Hasyim. Dengan tekad untuk semakin menekan, tetua-tetua yang duduk di dewan Darun Nadwah itu mengeluarkan ultimatum kepada siapa saja yang membantu Bani Hasyim. 

Tetapi seiring ultimatum, para sahabat yang dari luar Bani Hasyim diam-diam menyelundupkan bahan makanan. Abu Bakar kerap membayar banyak penggembala untuk menggembalakan ternaknya dekat kamp pengasingan, dan melemparkan bungkusan-bungkusan makanan.

Khadijah yang berada di dalam pun, sekali lagi tak tinggal diam. Ia turut mendanai jaringan penyelundupan makanan bawah tanah itu. Kekayaannya banyak berkurang. Artinya, masa itu benar-benar merupakan masa kritis umat yang bersikukuh mengikuti kebenaran Muhammad.

Baca juga: Bergabungnya Umar

Post a Comment

0 Comments