Parit

Parit memang bukan satu-satunya faktor. Karena parit itu hanya galian yang lebarnya setinggi fisik laki-laki, tidak sungguh-sungguh menghalangi lompatan kuda.

Ya, kita tengok sekilas peperangan besar dan sangat melelahkan yang dialami Muhammad beserta pengikut-pengikutnya di Madinah. 

Ide penggalian parit sesungguhnya telah terlintas dalam benak Muhammad, tetapi penerapannya di lapangan membutuhkan musyawarah semua pengikutnya. 

Muhammad sungguh menghormati dan menghargai usulan demi usulan para sahabat. Termasuk penetapan parit dalam Perang Khandaq ini yang dikuatkan oleh pengalaman Salman Al Farisi ketika masih di Persia.

Jadi, Muhammad bukanlah sosok egois dengan pendapatnya. Ia senantiasa bermusyawarah, bertukar pendapat dan bahkan tak segan menerima pendapat mereka.

Kemudian diputuskanlah, pasukan Madinah bertahan di dalam kota, menyambut musuh dari dalam. Dan ternyata, tiada satu pun dari kaum Quraisy maupun koalisinya yang memikirkan hal ini. 

Kaum koalisi tersebut, kurang lebih 10.000 orang, terpaksa bertahan di luar Madinah. Sebuah pasukan besar, tetapi tidak mampu menjadi pasukan yang tangguh dan berkekuatan yang menakutkan hati lawan.   

Mereka hanyalah berupa kelompok sporadis yang melancarkan serangan, tapi minim strategi, minim aturan. Pasukan besar yang hanya bermodal gertakan. 

Akhirnya, mereka menghadapi keadaan yang tak terelakkan: terpaksa bertahan di tanah gersang, kekurangan makanan, kesulitan mendapatkan air minum, hingga porak-poranda tersapu oleh badai yang tiba-tiba datang.

Hal ini kontras dengan pasukan Madinah. Umat Muhammad merupakan masyarakat yang satu keyakinan dan pemikiran. Mereka berperang tak semata mempertahankan atau memperjuangkan kepentingan pribadi, tetapi mempertahankan akidah. Muhammad benar-benar menjadi sosok bijak dan berpandangan jauh ke depan.

Dalam penggalian parit itu, bersama sahabat, terlebih dahulu ia mencermati bagaimana menggali parit, menentukan lebar dan kedalamannya. 

Berikutnya, menentukan posisi parit dan bentang panjangnya. Parit itu tidaklah mengelilingi padang rumput Madinah secara menyeluruh. Ia mengakumulasi antara galian parit pada tempat-tempat terbuka dengan memperkokoh rumah-rumah yang satu sama lain dihubungkan dengan pagar.

Muhammad menempatkan pasukannya di kaki bukit. Ia mempersiapkan divisi-divisi pasukan dengan perhitungan cermat, terkontrol, dan sistematis. Ia menempatkan banyak pemuda berpengalaman untuk memimpin divisi-divisi tersebut.

Singkat kisah, Muhammad berperang, melakukan penjagaan, memperingatkan orang-orang, dan mengarahkan pasukannya setiap saat. Kemudian sejenak beristirahat di perkemahannya.

Muhammad memainkan sistem organisasi dan manajemen yang prima, terutama masalah persenjataan, perbekalan dan logistik, dan kebutuhan air minum bagi tentara dan kuda.

Namun, jalannya perang yang ditempuh umat Islam ini ternyata tidak sekadar bertahan dari gempuran pasukan koalisi Quraisy, karena Bani Quraizhah tiba-tiba berbalik menikam para pengikut Muhammad.  

Ummu Salamah, sang istri, bersaksi, “Sungguh aku menyaksikan beberapa peperangan yang di dalamnya terjadi peperangan sengit dan menakutkan—perang Muraisi dan Khaibar, Hudaibiah, Fathu Makkah, Hunain—dan tiada satu pun dari peperangan tersebut yang melelahkan Rasulullah dan tiada yang lebih menakutkan kami dibanding Perang Khandaq.

“Hal itu disebabkan, Bani Quraizhah membuat kami tidak bisa tidur. Madinah dijaga sepanjang malam hingga pagi di mana terdengar umat Islam bertakbir.”

Ya, Bani Quraizhah berkhianat. Mereka membokong Muhammad, di saat ia dan para sahabat di puncak letih: usai menggali parit dan tengah berjaga dari serangan pasukan koalisi musuh. 

Perlu diketahui, parit itu cenderung melindungi rumah-rumah Bani Quraizhah. Sudut-sudut yang tak terlindungi parit, dijaga oleh umat Islam. 

Namun, justru suku Yahudi ini, dipimpin oleh Huyay bin Akhthab, melakukan manuver dari dalam kota. Sebelumnya, oleh Nabi mereka ditawari untuk berdiam di dalam kota, turut mengamankan dari kemungkinan penyusupan telik sandi Quraisy.

Tapi, apa mau dikata, suku Yahudi yang bernasab kepada Harun, saudara Musa, ini memilih berkhianat. 

Abu Bakar berkata, “Kami lebih mengkhawatirkan panti-panti perlindungan bagi kaum perempuan dan anak-anak dari gangguan Bani Quraizhah dibandingkan ketakutan kami terhadap kaum Quraisy dan Bani Ghathfan.”

Dan Salamah bin Aslam diutus Nabi untuk memimpin pasukan mengamankan kaum perempuan dan anak-anak Madinah dari tikaman Bani Quraizhah. Lantas mereka berhasil memaksa kaum Yahudi itu bersembunyi di benteng-benteng mereka.

Salamah dan pasukannya berpatroli di sekitar benteng dan menimbulkan ketakutan kaum Yahudi. Mereka menghancurkan sumur-sumur Bani Quraizhah. Mereka bertakbir pada malam hari hingga menjelang pagi.

Kaum Yahudi tidak berani menampakkan diri dari benteng, karena takut yang luar biasa. Sementara pasukan muslim yang lain masih terus berjaga, mengawasi pasukan koalisi Quraisy yang mulai kocar-kacir terserang jenuh.

Pasukan berkekuatan 10.000 orang ini pada dasarnya bukanlah kekuatan lemah pada zaman itu. Namun, mendadak menjadi sangat lemah berhadapan dengan pasukan Islam Madinah.

Kaum Quraisy tidak berhitung secara tepat untuk menyerang Madinah. Mereka bergerak pada musim gugur, April 627, di mana tanah-tanah di luar kota Madinah dalam keadaan gersang dan kosong.

Sementara, kaum Madinah baru saja selesai memanen gandum, dan memasukkan ke lumbung Mdinah tanpa kerugian.

Ketika Kaum Quraisy tiba di luar Madinah, mereka tercengang mendapati parit. Mereka belum mengetahui bagaimana memecahkan strategi kaum muslim Madinah. Mereka masih mengandalkan cara kuno: pertarungan terbuka, tantangan berduel, serangan mendadak, dan menyerang serta lari.

Jelas sudah, parit menjadi perusak awal mimpi mereka untuk bisa menawan Muhammad, dan membawa harta rampasan yang berlimpah dari Madinah.

Abu Sufyan dan sekutunya tak menduga bakal berhadapan dengan sistem organisasi yang rapi, di mana terdapat kekuatan inti yang dipimpin oleh Muhammad, yang menempatkan diri di kaki bukit—sebagai pusat komando pasukan umat Islam Madinah.

Muhammad di atas kudanya, lengkap dengan baju besi dan penutup kepala, telah menunjukkan keberanian, ketabahan, dan ketangguhannya. Dan para sahabat melihat kewibawaan memancar dari diri Nabi, yang menebarkan kekuatan, yang berpotensi memperkuat keberanian mereka. 

Walhasil, kaum Quraisy menghadapi kenyataan sebuah era baru yang sangat berbeda dalam semua bidang. Dan Muhammad tampil jauh lebih unggul, padahal dalam jumlah pasukan yang masih kalah jauh dari Quraisy, serta dalam keadaan terjepit, akibat pengkhianatan kaum Yahudi Bani Quraizhah.

Baca juga : Tugas Baru

Post a Comment

0 Comments