Mereka merasa gerah. Beberapa orang Quraisy itu merasa bahwa kritikan kalam yang dibacakan Muhammad dan teman-temannya ditujukan kepada mereka.
Tapi mereka tetap pada pendirian: mendustakan seruan Muhammad. Mereka tetap kikir, angkuh, dan merasa kaya. Harga diri mereka telah menutup kemungkinan menerima ajakan Muhammad.
Sementara di pihak para sahabat, kala Muhammad membacakan ayat demi ayat justru semakin meningkatkan kesadaran akan jati diri, sadar akan identitas.
Ya, selama tahun pertama kenabian, ada 50 atau 60 laki-laki dan perempuan dari masyarakat Makkah yang menjadi pengikut Muhammad. Mereka bertemu di rumahnya, di mana Khadijah akan cekatan menyiapkan jamuan.
Kali lain mereka berkumpul di sekitar Ka’bah. Terkadang bertemu di gua Hira. Dan di antara pengikut yang paling utama adalah Abu Bakar Ash-Shidiq, sahabat karib Muhammad yang mendalam dan total kepadanya. Ia berpaut sedikit dengan Muhammad, ya, sekitar 40 tahun atau kurang sedikit.
Muhammad menyeru pengikutnya untuk memberi makan orang miskin, merawat anak yatim piatu, dan memuliakan orang asing yang lewat atau berkunjung. Muhammad menegaskan prinsip kesetaraan antar semua manusia. Orang kaya dan orang miskin adalah setara. Pun begitu orang Quraisy dengan non-Quraisy, dan seterusnya.
Bahwa kelimpahan harta kekayaan bukanlah ukuran harga diri. Wanita dan budak pun tetap berkesempatan meraih derajat yang luhur. Maka, tidak sepantasnya orang-orang berlomba untuk sekadar bermegah-megahan, seraya abai terhadap kesulitan kaum lemah.
Muhammad menolak paganisme dan penghormatan terhadap segala bentuk aturan yang mengistimewakan suku tertentu, terlebih dimaksudkan untuk bisa mengeruk kekayaan. Dan saat yang sama, Muhammad bersikap santun dan rendah hati kepada pengikutnya, yang mayoritas dari kalangan miskin, yang tak berdaya dalam meniti hidup.
Awalnya, orang-orang Quraisy acuh tak acuh. Mereka mengira bahwa yang dibacakan Muhammad hanya mantra sajak. Mereka melihat Muhammad mendiktekan ayat-ayatnya dan menjelaskan makna kepada sahabat-sahabatnya, dianggap sebagai kurang kerjaan atau tengah mengisi kekosongan.
Tapi, begitu mendengar dengan seksama kandungan ayat-ayat yang dibaca, mereka mulai merasa bahwa sajak-sajak itu berisi tantangan, ancaman, dan ejekan kepada mereka. Muhammad, lewat ayat-ayat yang dikumandangkan, itu terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada tuhan-tuhan mereka.
Bahkan Muhammad menyebut bahwa itu hanya batu yang tidak bisa memberikan manfaat, tidak sanggup mendatangkan mudharat. Artinya jelas, tindakan memuja batu adalah kekonyolan.
Muhammad juga mengingatkan bahwa kesewenang-wenangan mereka terhadap orang miskin, orang lemah, dan pedagang asing, justru bertentangan dengan prinsip etika yang dipancangkan pendiri kejayaan Quraisy, Qushay bin Kilab, atau Abdul Manaf bin Qushay.
Praktik riba yang makin luas di kalangan pedagang kaya, menurutnya, sungguh tak selaras dengan semangat yang dibentangkan Hasyim bin Abdul Manaf, selaku pembangun perdagangan Makkah. Bahwa suka menipu dan mengelabuhi orang-orang lemah, secara ekonomi dan sosial, lewat hitung-hitungan dan catatan palsu adalah tindakan keji.
Namun, hal itulah yang malah menyinggung perasaan pembesar-pembesar Quraisy. Harga diri mereka mendidih. Mereka merasa kuat berkat kekayaan yang melimpah. Mereka eksis berkat batu-batu yang dipercaya dan bisa mencurangi para pedagang kecil dan mengikat budak-budak. Akhirnya mereka tidak lagi bisa bersabar dan menahan diri.
Mereka memandang Muhammad sebagai musuh, dan memandang ajarannya sebagai gerakan permusuhan.
Namun, Muhammad adalah sosok pemikir yang sangat bijaksana, sangatlah cerdas. Ia ingin para sahabatnya bebas dari rasa takut, bebas dari perasaan tertekan atau tidak nyaman. Maka, tatkala orang-orang Quraisy mulai terganggu melihat dirinya dikelilingi sahabat-sahabatnya, Muhammad bersikeras mengamankan pengikutnya.
Bahwa membincang ayat-ayat tetap bertempat di kediamannya, terlalu mencurigakan. Di pelataran Ka’bah atau di mana pun tempat terbuka, orang-orang Quraisy akan mengganggunya. Muhammad meminta saran Abu Bakar, kira-kira di mana yang aman.
Maka, begitu Al-Arqam bin Abu Al-Arqam mengikuti ajaran Muhammad, Abu Bakar menyarankan untuk menjadikan rumah Al-Arqam sebagai markas. Al-Arqam tinggal di sebuah rumah besar yang terletak di jalan antara Shafa dan Marwa. Persisnya di ujung sebuah gang kecil.
Rumah itu aman dan tertutup dari jangkauan mata para pembenci ajaran Muhammad. Al-Arqam pun sangat antusias dan ingin mempersembahkan rumahnya demi kebenaran yang diusung Muhammad. Suara-suara dari dalam rumah akan teredam oleh ruangan-ruangan di sekelilingnya.
Kumpul di rumah Al-Arqam. Di rumah yang besar dan semi kosong itu, serta dalam suasana bebas dan aman, mereka dengan seksama mendengar ayat-ayat dibacakan dan dijelaskan oleh Muhammad.
Muhammad mengulang-ulang ayat-ayat yang diterimanya agar para pengikutnya bisa menghafalnya. Kemudian Muhammad menggelar diskusi analitis, memberikan pertanyaan, dan mendorong semua yang hadir berbagi gagasan.
Dan semenjak itu, kelompok demi kelompok pun berdatangan, menyatakan masuk dalam barisan Muhammad. Beberapa budak menyelinap untuk menghadiri pertemuan. Sehingga, komunitas baru ini pun bertumbuh pesat, mencapai kisaran 300 orang.
Khadijah menahan haru atas upaya suaminya ini. Masih jelas di benak, dulu, begitu Muhammad turun dari gua Hira, spontan dari lubuk hati yang terdalam, ia menyatakan diri beriman. Ia bersyukur akhirnya menjadi istri penutup para nabi.
Zaid dan Ali, beserta keempat putrinya, turut mendukung sang suami. Mereka semua beriman, mengikuti jejak dirinya yang tak tanggung-tanggung berjibaku di belakang Muhammad. Turut pula beriman sang ibu angkat suaminya, Barakah. Maka, jadilah rumah mereka sebagai rumah “asing” di tengah penduduk Makkah.
Berturut-turut ayat turun, berturut pula sahabat-sahabat berdatangan dan mengakui kenabiannya. Lantas Khadijah tak putus-putus menyemangati sang suami. Ia yang cerdas mengetahui betul, tugas suaminya tidaklah ringan.
Begitu rumahnya mulai menjadi basis gerakan ajaran baru, Khadijah tak segan mengorbankan hartanya. Ia menopang suaminya dengan status yang dimilikinya. Ia pun menabahkan hati sekuat tenaga menjadi pendamping yang senantiasa menyejukkan hati suami.
Ya, semenjak permulaan ajaran baru itu, sejak turun perintah untuk menyebarkan risalah ke khalayak, secara kasatmata Khadijah tak lagi merasa tenang dan aman. Hidupnya yang sepenuhnya demi sang suami, selalu berhadapan dengan teror dan ancaman.
Dengan dipilih rumah Al-Arqam sebagai markas baru, ancaman yang khusus menimpa diri dan keluarganya tak kunjung surut. Namun demikian, anggota pengikut Muhammad meningkat secara signifikan.
Orang-orang Makkah pun semakin bereaksi keras, terutama kepada budak-budak mereka. Mereka mulai bergerilya untuk mencari tahu di mana markas jaringan bawah tanah Muhammad.
Sampai suatu hari, Abu Jahal berpapasan dengan Muhammad yang sedang berjalan menuju rumah Al-Arqam. Dan memang, sudah berhari-hari Abu Jahal sengaja memata-matai Muhammad. Ketika melihat Muhammad, kebencian dan kedengkiannya meledak.
Abu Jahal melontarkan caci maki kepada Muhammad. Ia pun mengata-ngatai ajaran yang dibawa Muhammad tak lebih sebagai sampah yang memecah belah suku Quraisy. Namun, Muhammad tak merespon Abu Jahal. Ia tetap tenang dan terus melangkah melanjutkan perjalanan, seolah tak peduli dengan sumpah serapah yang keluar dari mulut Abu Jahal.
Budak perempuan Abdullah bin Jud’an yang lagi di rumahnya mendengar semua umpatan itu. Ia mlipir ke luar untuk memberi tahu keluarga Muhammad, dan di tengah perjalanan bertemu Hamzah. Hamzah tak terima mendengar keponakannya dicaci maki, apalagi di muka umum.
Hamzah, yang termasuk ditakuti di kalangan Quraisy, menemui Abu Jahal di majlis Quraisy dan memukul kepalanya dengan busur, “Apakah kamu mencaci makinya? Aku menganut agamanya. Aku mengatakan apa yang dia katakan. Ayo balas jika kamu mampu!”
Abu Jahal pun mengakui bahwa dia telah menghina Muhammad. Kemudian Hamzah berlalu dari hadapan Abu Jahal, dan bergegas menuju rumah Al-Arqam. Di hadapan sang keponakan, Hamzah menyatakan diri mengikuti ajarannya. Hal itu terjadi pada tahun pertama periode Al-Arqam, dan tahun ketiga kenabian.
Masuknya Hamzah di barisan Muhammad turut memperkuat komunitas kecil ini. Tetapi reaksi orang-orang Quraisy makin brutal terhadap siapa saja yang ketahuan mengikuti Muhammad, terutama kelompok yang lemah.
Hari demi hari, permusuhan kaum Quraisy terhadap Muhammad dan para pengikutnya semakin sengit. Muhammad sendiri mengalami berbagai tekanan dan penindasan.
Tatkala Muhammad sujud di sekitar Ka’bah, tiba-tiba Uqbah bin Abu Mu’ith datang membawa jeroan unta dan melemparkannya ke punggung Muhammad. Muhammad tetap melanjutkan sujudnya.
Fathimah melihatnya dan datang mendekati sang ayah. Sambil menangis Fathimah membersihkan punggung ayahnya. “Nak, jangan menangis! Sebab Allah selalu melindungi ayahmu.” tutur Muhammad.
Orang-orang Quraisy yang berkukuh menentang ajaran baru itu makin keras mengintimidasi Muhammad, juga terhadap para sahabat. Bahkan ada sahabat-sahabat yang mati terikat di tiang kayu dan dijemur di bawah terik musim panas, seperti halnya yang dialami Sumayyah, Yasir, dan Ammar.
Namun, semua itu tidak memalingkan para sahabat dari ajaran Muhammad. Tak secuil pun mereka berpaling. Mereka kukuh terhadap Muhammad.
Begitulah, memasuki tahun kedua kenabian, Muhammad dan sahabat-sahabat biasa berada di rumah Al-Arqam hampir sepanjang hari. Mereka bermarkas di sana. Mereka duduk dalam posisi melingkar di mana budak dan wanita bisa duduk sejajar dengan para pedagang pria.
Baca juga: Benar-Benar Gerah
0 Comments