Benar-Benar Gerah

Muhammad tak henti-henti memikirkan peringatan Waraqah. Dan Khadijah dengan penuh pengertian selalu menghiburnya. Ia mendudukkan diri sebagai makmum pada kepemimpinan spiritual Muhammad.

Selang beberapa waktu kemudian, kekalutan yang menyelimuti Muhammad itu pun memudar. Dengan semangat dan hati lapang ia sambut seruan wahyu yang diterimanya. Ia sadar, lima ayat pertama surah Al-‘Alaq yang diterimanya di gua Hira merupakan “takdir”-nya sebagai nabi. 

Ia tak bisa mengelak, apalagi sebelumnya dengan kesadaran penuh telah memutuskan untuk menepi ke gua Hira. Walau tak dinyana, akhir dari situ ia malahan berhadapan dengan Jibril, dan menyematkan predikat baru itu kepadanya.

Selanjutnya, selama berbulan-bulan pertama kenabian, turunlah ayat demi ayat atau surah-surah dari Dzat yang serbamaha. Tujuh ayat pertama surah Al-Mudatsir, diterima tatkala Muhammad sedang beristirahat di rumah. Ayat-ayat yang memindahkannya dari kenabian kepada kerasulan. Sehingga, Muhammad telah menjadi seorang rasul. 

Bahwa akhirnya ia tidak sekadar berhenti pada seruan untuk kebaikan diri sendiri dan keluarga, tapi harus membawa risalahnya kepada masyarakat luas, kepada seluruh umat manusia. Ia harus menyampaikan peringatan Ilahi ke khalayak luas.

Dalam menyampaikan peringatan, terlebih dahulu ia harus menyucikan diri, meninggalkan segala perbuatan keji, dan tidak terburu-buru meminta supaya wahyu segera turun, atau meminta wahyu yang banyak. Serta, ia harus bersabar dalam menyiarkan perintah-Nya.

Nah, lagi-lagi Khadijah sanggup bertindak sebagai pendamping yang cerdas lagi mulia. Ia turut meletakkan pondasi kokoh di keluarga. Zaid dan Ali, yang memang sedari awal tidak dianggap sebagai orang lain, tapi bagian dari keluarga, mendapatkan pengajaran membaca dan menulis darinya. 

Sehingga Ali, sedari dini, tepatnya semenjak berusia 10 tahun, telah menjadi juru tulis sang Rasul. Ali telah menghimpun setiap untaian wahyu yang dibacakan Muhammad, baik di tengah keluarga maupun para pengikut. 

Kemudian turun surah Adh-Dhuha, berupa perhatian dan perintah kepada Muhammad untuk bersikap baik dan lembut kepada yatim piatu dan orang yang meminta-minta. 

Surah Asy-Syarh, surah yang mengingatkan Rasul Muhammad bagaimana Tuhan telah melapangkan dadanya dengan petunjuk. Bahwa Tuhan telah menghilangkan beban-beban kebodohan yang melingkari sukunya. Telah menghilangkan rasa ketakutan yang melanda dirinya di awal kerasulan. Mengganti kesulitan dengan kemudahan, bahwa seusai kesulitan pasti akan datang kemudahan. 

Oleh karenanya, sedianya Muhammad senantiasa hanya mengharap kepada-Nya. Dan memang begitu adanya, Muhammad beserta Khadijah dan putri-putri, dan anak angkat mereka, sadar akan Allah dan hanya bergantung sepenuhnya kepada-Nya. 

Setelah kukuh dalam keluarga dan kerabat dekat, Muhammad mulai berbicara kepada orang-orang yang bersedia mendengar ajarannya. Dr. Husain Mu’nis mencatat bahwa yang pertama-tama mempercayai ajarannya di luar keluarga adalah, pertama, para pemuda. Kebanyakan mereka berusia antara 15 sampai 25 tahun, atau hingga 40 tahun.

Pada waktu itu, dalam tradisi Makkah, anak sulung adalah milik dan kebanggaan orangtua. Sementara yang nomor dua dan seterusnya hidup dalam kekosongan. Sosok seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, atau Thalhah bin Ubaidillah, adalah bukan anak sulung. 

Maka, dalam rengkuhan ajaran Muhammadlah kaum muda ini menemukan wahana baru. Mereka bisa menyalurkan energi yang selama ini “menganggur” atau terbuang sia-sia. Sebelum bertemu dengan ajaran Muhammad, umumnya mereka menghabiskan waktu untuk berburu, menunggang kuda, dst. 

Kedua, kalangan orang-orang lemah, kaum miskin, dan para budak. Bilal, Khabab, dan Amir bin Rabiah adalah contohnya. Kalangan masyarakat yang keberadaannya hampir tidak pernah dianggap oleh orang-orang Makkah.

Ketiga, kelompok pencari kebenaran. Mereka ini bukan dari kalangan muda atau pun kaum miskin atau budak. Orang seperti Utsman bin Mazhum dan Zaid bin Nufail adalah kaum hanif, yang merindukan kebenaran, dan segera bergabung dengan Muhammad.  

Sementara, orang-orang berharta dan kaum bangsawan Quraisy, merasa tidak nyaman melihat sekelompok muda dan orang miskin dan budak-budak kasar duduk di sekitar Muhammad di samping Ka’bah. Mereka khusyuk menyimak Muhammad membacakan ayat-ayat puitis yang kedengaran janggal di telinga orang-orang besar itu.

Terlebih saat surah Al-Lail dibacakan, mengisyarakatkan tentang peringatan dan ancaman kepada orang-orang yang pelit, yang suka meremehkan, dan sombong. Bangsawan Quraisy mulai gerah dengan gerakan yang dibawa Muhammad ini.

Muhammad yang sebelumnya dikenal baik, santun, dan berhati mulia yang tidak pernah merugikan mereka dalam hal apa pun, semenjak turun dari gua Hira serasa berubah jadi penghalang. Kaum bangsawan dan hartawan Quraisy itu merasa tersudut. Mereka benar-benar gerah.

Baca juga: Dalam Kebimbangan

Post a Comment

0 Comments