Khadijah tidak heran atau meragukan penuturan suaminya. Meski Muhammad masih diliputi pikiran tak menentu, dengan penuh kepercayaan Khadijah menenangkan sang suami bahwa yang datang kepadanya itu bukanlah jin.
“Alangkah indah kata-kata ini, Suamiku! Belum pernah kudengar seperti ini sebelum ini!” jujur Khadijah.
Dan memang, sedari awal memutuskan ke gua Hira, Khadijah telah merasakan adanya sesuatu yang bakal menimpa suaminya. Tapi ia yakin bahwa itu sepenuhnya bukan dari jin. Suaminya mustahil terasuki jin. Apalagi yang diterima suaminya merupakan pesan puitis yang sarat makna.
Kemudian guna lebih meyakinkan, pada Minggu sore, Khadijah mengantar Muhammad menemui Waraqah, seorang hanif, yang tinggal di sebuah bukit terpencil di luar kota Makkah. Gubuknya jauh dari mana-mana.
Dengan bertopang tongkat kayu, Waraqah keluar dari gubuknya menyambut Khadijah dan Muhammad. Ia mempersilakan mereka duduk di tempat yang teduh.
Terhadap sepupunya itu, sekali lagi Khadijah bukan untuk menanyakan apakah hal yang dialami suaminya mungkin terjadi, melainkan untuk lebih memperjelas apa yang dirasakannya.
Waraqah, yang paling senior di antara para hanif, menandaskan bahwa Muhammad sedang tidak berkhayal. Ketakutannya akan gangguan jin justru merupakan alasan paling kuat untuk berkeyakinan bahwa Muhammad bukanlah mistikus. Sebab lazimnya seorang mistikus berkarib dengan jin.
Sedang Muhammad masih tetap seorang manusia biasa, yang peduli dengan kesulitan orang lain, sebagaimana penegasan Khadijah sebelum bertemu Waraqah, “Tuhan akan menyelamatkanmu, Sayangku. Tuhan tidak akan memerosokkanmu, karena engkau tulus, engkau baik hati. Engkau tanggap dengan kesusahan orang lain.”
Ditambah saat itu, begitu mendengar lima ayat surah Al-‘Alaq dibacakan suaminya, keyakinan Khadijah yang tenang itu semakin menguat. “Demi Dia yang di tangannyalah jiwaku berada,” katanya, “aku berharap semoga engkaulah nabi bagi masyarakat ini.”
Dan ternyata tanggapan sepupunya itu tidak kurang dari apa yang Khadijah harapkan. “Muhammad, apa yang muncul di hadapanmu itu adalah roh agung yang muncul di hadapan Musa pada masa lampau. Jadi engkau benar-benar nabi umat ini. Aduhai, seandainya aku masih muda dan kuat, dan andai saja aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu?”
Muhammad bertanya heran, “Apakah mereka akan mengusirku?”
“Ya, setiap kali seseorang membawa apa yang kaubawa, pastilah dia dimusuhi. Apabila masamu itu kualami, niscaya aku akan menolongmu sekuat tenaga.” jawab Waraqah.
Waraqah memperingatkan Muhammad bahwa para nabi dan rasul kerap mendapatkan hujatan bahkan pengusiran dari masyarakat. Karena apa yang diserunya itu kelak akan bertentangan dengan status quo. Dan memang benar begitu adanya.
Khadijah dan Muhammad berpamitan meninggalkan gubuk Waraqah. Dan, Khadijahlah yang kemudian berjalan dengan langkah berat. Ia paham akan apa yang diemban suaminya. Memang dia belum punya bayangan akan sesulit apa nantinya. Namun, ia bisa membayangkan bahwa kengerian pengalaman suaminya di gua Hira itu belumlah cukup dibanding dengan tugas selanjutnya.
Ungkapan Waraqah bahwa umatnya nanti akan mengusir suaminya, cukup menggelisahkannya. Ia tak henti membayangkan apa yang diperjuangkan suaminya akan begitu lama dan penuh onak duri yang mengadang.
Dan Khadijah sadar betul, ia tak akan lama mendampingi Muhammad. Usianya yang sungguh terpaut itu semakin mendesaknya untuk pantang lelah terus menjadi pelipur sang suami.
Ia terbayang, Muhammad akan menjadi orang luar lagi, sebagaimana dulu diabaikan karena tumbuhdewasa sebagai yatim piatu dan miskin. Bahkan ia akan jadi yang terusir. Bukan sekadar diabaikan tetapi dihinakan dan dicemooh, kehormatannya ditolak, martabatnya dilanggar.
Sungguh, Khadijah tak tega membayangkannya, tapi ia juga berikrar dalam hati, tidak akan sejengkal pun berjarak dengan suami tercinta. “Aku akan selalu mendukung dan mendampingimu dengan seluruh dayaku, Kekasih!” lirihnya, setengah berbisik pada Muhammad yang berjalan di sampingnya.
Muhammad tak tahu persis apa yang dibayangkan istrinya. Tetapi ia menduga bahwa istrinya tengah memikirkan tugas baru yang bakal mengadangnya. Tugas kenabian yang sama sekali tak tebersit di benaknya.
Muhammad tersenyum mengangguk. Ia benar-benar bahagia melihat pancaran kebersihan hati istrinya, juga kecantikannya yang serasa pantang pudar.
Ungaran, 1 Mei 2024
Baca juga: Dalam Kebimbangan
0 Comments