Terlebih hari-hari ini, seusai 14 Februari 2024, saya asyik menyuntuki tetralogi Bumi Manusia. Dan, salah satu daya tarik buku ini adalah penulisnya, Pramoedya Ananta Toer, yang sedemikian gigih mempertahankan ideologi hidupnya. Ia merupakan simbol perlawanan yang pantang menyerah.
Saya mengenal karya tetralogi Pram ini bermula dari pertanyaan iseng saya kepada seorang guru mengaji, Muhammad Zuhri: siapa pengarang Indonesia yang paling ia sukai. Pak Muh, sapaan akrab Muhammad Zuhri, menjawab, “Pramoedya Ananta Toer. Karya tetraloginya telah diterjemahkan dalam banyak bahasa.”
Semula saya kaget. Kenapa Pramoedya? Bukankah ia seorang Lekra, ateis, tak berperikemanusiaan, dan menghalalkan tindakan biadab? Begitulah yang terpatri dalam benak saya saat itu. Embusan sesat warisan Orde Baru tentang Pram masih saya pelihara hingga akhir 2004. Namun Pak Muh, almarhum guru mengaji, malah merekomendasikan karya Pramoedya menjadi teman bersanding, menjadi bacaan utama, sebelum melirik karya sastra lain.
Tanpa banyak pertimbangan, saya buru karya tetralogi Pram, dan ketemu Bumi Manusia. Usai menamatkan buku pertama tetralogi Pulau Buru, Bumi Manusia, pelan tapi pasti, stigma setan terhadap Pram yang lama mengeram pun melenyap. Dengan tingkat kemampuan memahami yang pas-pasan saat itu, saya balik bertanya pada diri sendiri: kalimat mana yang menunjukkan Pram seorang ateis, tak punya rasa kemanusiaan, dan tak beradab? Kenapa pada 1981 jaksa agung negeri ini melarang Bumi Manusia? Kisah cinta Minke dan Annelies yang dituturkan Pram, tak seronok atau sevulgar kisah kasih yang dituturkan Ayu Utami atau Eka Kurniawan, atau esai Emha Ainun Nadjib.
Lantas kini, saat embusan politik periode Jokowi di ujung jalan yang tak menentu, saya baca ulang tetralogi Bumi Manusia. Masih dengan kesimpulan yang sama: Pramoedya adalah pejuang kemanusiaan yang menyuguhkan nilai keadaban. Ia sangat menjunjung etika, isu yang hari-hari ini ramai dipercakapkan.
Dari tetralogi Buru ini makin gamblang saya dapatkan pergulatan batin Minke di tengah tradisi leluhur Jawa yang feodal dan budaya Eropa yang membebaskan. Bupati, sebagai raja kecil di Jawa, menuntut rakyat takzim, yang tanpa sadar nyaris mirip hari ini. Rakyat yang laksana budak mesti berjalan tidak dengan sepenuh kaki, tetapi setengah kaki dengan bantuan kedua belah tangan. Ya, merangkak pelan, lantas menyembah dan mencium kaki sang raja. Kesopanan ala feodal yang bertolak belakang dengan tradisi Eropa.
“Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak diperintah, tidak memerintah, Bunda,” ucap Minke pada sang ibu." (Bumi Manusia, hal.138).
“Orang Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran. Orang harus berani mengalah, Gus. Nyanyian itu pun mungkin kau sudah tak tahu lagi barangkali.
“Sahaya masih ingat, Bunda. Kitab-kitab Jawa masih sahaya bacai. Tapi itulah nyanyian keliru dari orang Jawa yang keliru. Yang berani mengalah terinjak-injak, Bunda.” (Bumi Manusia, hal.141).
Minke merasa produk bumi manusia akhir abad kesembilan belas, kelahiran zaman modern. Dan bagi dia, Jawa hanyalah pojokan dalam keseluruhan bumi manusia. Ia pribumi asli, yang pada kurun masa itu tak punya nilai di hadapan orang kulit putih, Eropa. Namun ia mencintai dan sangat dicintai Annelies, putri kesayangan Nyai Ontosoroh. Ia berkemampuan di atas rata-rata kaum muda kulit putih: berbahasa Belanda fasih, berpikir terbuka, pintar menulis, dan bertingkah laku tak beda dari pemuda terpelajar Eropa.
Minke melenggang dengan modal mantra dari Jean Marais, sahabat berbangsaan Prancis: seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah yang mengantar dia untuk menyelami lebih dalam kehidupan misterius Nyai Ontosoroh.
Sang nyai merupakan wanita pribumi yang juga fasih berbahasa Belanda, memimpin perusahaan dengan banyak karyawan, tetapi berkehidupan pribadi kelam. Nyai Ontosoroh, guru sekaligus mertua Minke, adalah budak seorang Belanda, Herman Mellema. Robert Mellema dan Annelies Mellema adalah hasil hubungan tidak sah mereka. Minke merasuk lebih dalam ke kehidupan nyai itu, lantas menikah dengan Annelies.
Dari situlah petaka yang kemudian menggugah kesadaran Minke dimulai. Perang kolonial yang berlangsung saat itu tak lain adalah kehendak modal di Eropa. Bukan untuk kepentingan politik, melainkan ekonomi pemodal semata. Pemodallah yang berkuasa, bahkan mahakuasa, yang menentukan kasta umat manusia: kulit putih, cokelat, mata sipit, Eropa, pribumi, dan Tionghoa.
Keyakinan yang semula Minke rawat adalah Belanda berbeda dari nenek moyang pribumi. Belanda tak pernah merampas istri orang, sedangkan leluhur Jawa, terutama para raja, memiliki kebiasaan beristri banyak dan bahkan merampas istri orang lain. Namun, akhirnya keyakinan itu jebol, tak sanggup dia mempertahankan. Annelies, atas nama wanita berdarah Eropa dan masih gadis di bawah umur, dirampas dari Minke oleh pengadilan Amsterdam di Belanda sana. Bahkan Nyai Ontosoroh tak berhak mendaku Annelies sebagai anak kandung.
Ya, atas nama hukum Eropa, pribumi adalah kelas rendah yang mesti kalah dan terinjak. Minke adalah pribumi yang terinjak dan bersama Nyai Ontosoroh melawan kekuasaan modal Eropa. Kesadaran Minke, yang menganggap sakit tradisi leluhur, terenyak oleh perbuatan kaum terpelajar Eropa yang melecehkan nilai keadilan. Eropa yang maju ternyata lebih tak beradab yang mempermainkan dan menginjak harga diri serta dan merampas hak hidup penduduk pribumi. Dan, Minke memilih: melawan. Berbareng dengan Nyai Ontosoroh, Panji Darman, Darsam, Dokter Martinet, dan Jean Marais, serta kawan-kawan liberal Eropa—Miriam, Sarah, dan Herbert—dia terus menggalang perlawanan.
Tetapi takdir belum berpihak. Minke terpaksa kandas tak sanggup mempertahankan Annelies sebagai istri. Annelies diboyong ke Nederland. Ia dijemput paksa oleh sepasukan maresose dari bilik kamarnya. Sekali lagi, Minke melawan tapi kalah. Nyai Ontosoroh menggeram, menatap kepergian iring-iringan serdadu berkuda yang membawa Annelies, menjauh dari pelataran rumahnya.
Racikan Pramoedya Ananta Toer ini memaparkan kepedihan umat manusia yang dirampas hak dan harga dirinya. Ia menuturkan kehidupan di muka bumi yang sarat gejolak, bukan surga yang damai dan penuh kenyamanan. Pendeknya, Pramoedya lewat Minke, seolah mengabarkan bahwa kebebasan—apa pun itu, termasuk kebebasan berpendapat—mesti diperjuangkan. Ia tak hadir begitu saja dari langit tanpa daya upaya.
Sungguh, seusai Pemilu 2024 saya baca lagi Bumi Manusia, dan Anak Semua Bangsa, saat saya mesti menerima kekalahan dengan pasrah dan pedih sekaligus. Saya mungkin terlalu baper, tapi bagaimana lagi, pasangan calon yang saya dukung tersiar kalah.
Memang pikiran boleh berkata lain. Namun kalau menyangkut hati, soalnya agak berbeda. Ia adalah sembilu, dengan torehan yang cukup mendalam. Maka, saya butuh kawan bersanding yang berasa mau mengerti perasaan. Dan itu ada pada Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Pramoedya sedemikian apik berkisah bahwa Annelies Mellema, istri Minke, dipaksa menyerah kalah untuk pergi ke Nederland. Maurits Mellema, saudara tiri Annelies, berhasil menunjukkan kuasa kulit putih atas pribumi. Ia menendang telak Minke dan Nyai Ontosoroh, menyerah dan melepas Annelies meninggalkan tanah Hindia. Berlayar dalam kawalan maresose dan akhirnya meninggal tanpa uluran bantuan dari yang mendaku wali sah, Amelia Mellema-Hammers.
Annelies mati, yang lantas mengukuhkan keahliwarisan Maurits Mellema atas seluruh harta Herman Mellema di Hindia, Wonokromo. Ya, menurut hukum, Maurits Mellema merupakan pemilik semua yang Nyai Ontosoroh rintis dan kembangkan bersama Herman Mellema.
Benar-benar Pramoedya Ananta Toer membuka cakrawala pandang saya soal ketidakberdayaan Minke dan Nyai Ontosoroh dalam melawan hasil keputusan Pengadilan Amsterdam. Hal yang persis saya rasakan tatkala menyimak angka-angka Quick Count atau pun Real Count. Ya, memang harus kalah tapi berusaha tak menyerah.
Atas dorongan semangat dari Nyai Ontosoroh, Minke berangsur sadar adanya pertentangan antara kolonial dengan pribumi. Pergulatan batinnya, pribumi yang feodal, bodoh dan tak berdaya berhadapan dengan kolonial Belanda yang sebaliknya dari kehidupan pribumi.
Persahabatan dengan Jean Marais dan Kommer, pelan-pelan meneguhkan kesadaran Minke. Minke mahir berbahasa Belanda, yang sungguh mengagumkan. Namun serasa kurang, ketika tak sanggup menulis dalam bahasa Melayu. Padahal bahasa Melayu dimengerti dan dibaca di setiap kota besar dan kecil di seluruh Hindia.
“Tahu Tuan, mereka, entah berbangsa apa, yang tidak menulis dalam bahasanya sendiri kebanyakan orang yang mencari pemuasan kebutuhan dirinya, tidak mau mengenal kebutuhan bangsa yang menghidupinya, karena kebanyakan memang tidak mengenal bangsanya sendiri?” ucap Jean Marais menuding Minke (Anak Semua Bangsa, hal. 159).
Ucapan menyakitkan yang kemudian juga dibenarkan Kommer, menantang Minke untuk lebih mengenal kehidupan pribumi. Menyakitkan karena tantangan itu berasal dari orang-orang bukan pribumi: Indo dan Perancis. Minke seorang muda dan harapan pribumi menyadari kekurangan.
Liburan ke Tulangan bersama Nyai Ontosoroh, lantas sepenuh waktu Minke gunakan untuk mengenal nasib negerinya sendiri. Ia masuk ke pedalaman Jawa dan melihat langsung kehidupan Trunodongso, yang tinggal di tengah ladang tebu.
Melihat langsung Trunodongso, petani yang dihisap tenaga dan dirampas tanahnya, bikin Minke meradang. Betapa selama ini ia tidak benar-benar mengetahui situasi dan kondisi yang melilit negerinya. Langsung ia mainkan pena, menulis ketidakberesan yang mendera Trunodongso. Trunodongso hendak diusir dari ladang dan sawahnya. Petani kecil yang saban hari diancam dan dimaki, tidak saja oleh Kolonial Belanda, Eropa, tapi juga menghadapi penguasa pribumi: punggawa desa, Pangreh Praja, dan para priyayi pabrik.
“Waktu orangtua sahaya masih hidup, tumpukan padi mengepung rumah kami. Ayam banyak dan itik pun banyak. Beberapa tahun sebelum orangtua sahaya meninggal, pabrik mulai mendesak sawah. Bapak sahaya menolak. Kemudian datang lurah, kemudian Ndoro Seten (asisten wedana). Bapak sahaya tetap menolak. Saluran sier (saluran tertier atau ketiga dari saluran induk) kemudian ditutup. Tak ada air lagi. Bapak sahaya....” jelas Trunodongso pada Minke (Anak Semua Bangsa, hal. 251).
Minke tulis seluruh pengalamannya bersama Trunodongso dalam bentuk cerita. Karya tulis terbaik yang mengungkap nasib pribumi, dan ia rancang untuk dimuat di koran S.N.v/d D, milik Maarten Nijman. Namun ternyata, Minke keliru. Minke tak menduga, pemimpin redaksi itu malahan menolak karya terbaiknya.
Kenapa menolak? Betul, Minke belum sepenuhnya mengetahui hubungan tulisan terbaiknya dengan penolakan Nijman. Baru kemudian jelas setelah Kommer menerangkan keterkaitan Nijman dengan perusahaan gula. Koran Nijman merupakan koran gula, dibiayai perusahaan-perusahaan gula, dan untuk melindungi kepentingan gula. Dan Trunodongso salah satu korban perampasan tanah dan sawah ke tangan pabrik gula. Lebih menyakitkan lagi, terutama buat Nyai Ontosoroh, ternyata mendiang suami, Herman Mellema terlibat pula dalam persekongkolan lintah darat yang menipu uang sewa tanah atas petani-petani buta huruf itu.
S.N.v/d D adalah surat kabar gula dari semula telah berhasil memanfaatkan kepintaran menulis Minke untuk pertahankan kepentingan gula. Minke baru menyadari setelah menulis cerita nasib Trunodongso. Tulisan bernada protes terhadap ketidakadilan yang mendera beribu Trunodongso ditolak Nijman.
Persinggungan dengan Khouw Ah Soe, pemberontak muda Tionghoa lantas menambah wawasan Minke tentang kekuasaan modal. Lebih gamblang setelah bertemu Ter Haar, rekan jurnalis asal Belanda dari golongan liberal, menyebutkan: jaman modern adalah jaman kemenangan modal.
“... Biar begitu kemanusiaan tanpa pengetahuan tentang duduk soal kehidupannya sendiri, di Hindia ini, bisa tersasar. Yang dinamakan jaman modern, Tuan Tollenaar (nama pena Minke—Max Tollenaar), adalah jaman kemenangan modal. Setiap orang di jaman modern diperintah oleh modal besar, juga pendidikan yang Tuan tempuh di H.B.S. disesuaikan dengan kebutuhannya, bukan kebutuhan Tuan pribadi. Begitu juga suratkabarnya. Semua diatur oleh dia, kesusilaan, juga hukum, juga kebenaran dan pengetahuan.” (Anak Semua Bangsa, hal. 394).
Minke menggerutu, menyadari kebodohan yang tak segera menyadari kekuasaan modal. Dan “...yang dikatakan modal lebih daripada hanya uang... Produksi, dagang, tetesan keringat, angkutan, hubungan, saluran—dan tak ada satu orang pun dapat bebas dari kekuasaan, pengaruh, dan perintahnya. Dan, Tuan Minke, cara berpikir, cita-cita, dibenarkan atau tidak, direstui atau tidak olehnya juga.” (Anak Semua Bangsa, hal. 395).
Alhasil, saya merasakan Pramoedya Ananta Toer, dengan tokoh Minke, hendak menahbiskan diri bahwa menulis bukan semata demi pundi-pundi harta. Menulis adalah mengisi hidup yang berani lantang menentang ketidakberesan.
Ungaran, 18 Februari 2024
0 Comments