Puasa #3
Sachiko Murata mengungkapkan ada dua moda untuk memahami Tuhan: tanzih dan tasybih. Tanzih memahamkan kita bahwa Tuhan sebagai yang tak bisa teraih. Tuhan adalah kejauhan dan ketakterbandingan. Tuhan adalah Sang Mutlak yang impersonal, yang bersih dari segala gambaran imajinasi.
“Tak ada sesuatu pun serupa dengan-Nya,” (Asy-Syura: 11).“Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Tak Terjangkau, jauh di atas apa yang mereka sifatkan,” (As-Shaffat: 180).
Bahwa Allah Mahakuasa, Maha Tak Terjangkau, Maha Pemaksa, Mahabesar, Mahatinggi, Mahaagung, Maharaja, Maha Pencipta, Maha Pemarah, Maha Penghancur, dan Maha Penyiksa.
Tanzih menempatkan Tuhan sebagai keagungan, kebesaran, kekuasaan, kontrol, dan maskulinitas. Sementara manusia dan seluruh makhluk adalah hamba-hamba-Nya. Dan berhadapan dengan Sang Tak Terhingga, Sang Maharaja, tentu saja para hamba harus pasrah sepenuhnya pada kehendak-Nya.
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56).
Kemudian tasybih, sebagai pendekatan bahwa Tuhan harus bisa “diserupakan”. Sachiko menuturkan bahwa Tuhan adalah keserupaan. Kita bisa dengan tepat mengenal dan mengetahui diri-Nya dalam sifat-sifat manusia. “Barangsiapa mengenali diri, niscaya mengenal Tuhan.”
Tasybih merupakan pandangan, Tuhan berada di mana-mana. “Ke mana pun kamu menghadapkan wajah, di situlah Wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115).
Sebaliknya dengan tanzih, tasybih mengantar kita pada nama-nama Allah Yang Mahaindah, Mahadekat, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Pemberi Hidup, Mahalembut, dan Mahakasih. Intinya, “keserupaan dan kedekatan Tuhan” itu tampak dalam keindahan, kelembutan, anugerah, dan rahmat-Nya yang meliputi segenap ciptaan.
“Dia selalu bersamamu di mana saja kamu berada.” (Al-Hadid: 4), karena “Kami lebih dekat kepada manusia ketimbang urat lehernya sendiri.” (Qaaf: 16).
Maka dalam tasybih, manusia berfungsi sebagai wakil Allah di muka bumi. Sebab, memang hanya manusia yang dicipta dalam citra Allah. Ia memiliki kualitas Allah dan ciptaan. Ia bisa memberadabkan bumi dalam keindahan dan penuh rahmat. Pun sebaliknya, manusia sanggup membikin kerusakan hingga Setan geleng-geleng keheranan.
Walhasil, dari dua istilah itu kita dapati dua pendekatan. Pertama, manusia adalah hamba Allah. Manusia harus memenuhi seruan dan ketentuan Allah, karena sebagai hamba tidak berhak menentang perintah majikan, Allah. Seorang hamba tak memiliki dirinya lantaran dirinya telah dimiliki oleh tuannya. Nah, pada dimensi ini manusia menempuh waktu, perjalanan ke dalam, atau safari internal atau mikraj, dan disimbolkan sebagai perjalanan di malam hari yang gulita.
Kedua, manusia adalah wakil Allah. Sebagai wakil, manusia tidak punya pilihan lain kecuali mengemban tanggung jawab atas dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Ia harus bersaksi bahwa Allah ada dan selalu hadir melayani kebutuhan hamba-hamba-Nya. Ia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak, selayaknya seorang wakil yang seturut dengan yang diwakili. Di sini, manusia mengarungi ruang, safari eksternal atau isra’, yang disimbolkan sebagai siang hari yang terang.
Dalam perspektif tasawuf yang saya pahami, Islam lebih mengetengahkan wajah tasybih ketimbang tanzih. Yaitu bagaimana mengualitaskan diri sesuai dan pas dengan kualitas Tuhan, dan menempatkan makhluk-makhluk-Nya sebagai tanda-tanda Allah yang sudah pasti baik. Maka, goal kita di muka bumi ini adalah hamemayu hayuning bawana, memperindah dunia yang sudah indah. Tujuan hidup seorang mukmin adalah mencipta harmoni di muka bumi pada umumnya dan dalam masyarakat manusia pada khususnya. “Aku dan segala sesuatu adalah satu.” ungkap Sachiko Murata.
Lagian memang, segala ciptaan di alam semesta itu merefleksikan sifat-sifat Allah. Dan manusia selaku puncak eksistensi makhluk, berperan sebagai jembatan perantara, antara Allah dengan makhluk-makhuk-Nya, antara Tuhan dan para hamba.
Feminis yang juga istri William C. Chitick itu lebih lanjut menjelaskan, dalam diri Allah, segenap kualitas ini ada dalam kesatuan yang tak terbedakan, sementara dalam kosmos mereka hadir dalam kemajemukan yang terpisah-pisah. Hanya dalam diri manusialah kualitas-kualitas itu hadir dalam kedua cara: kesatuan yang tak terbedakan dan kemajemukan yang terpisah-pisah. Manusia menjadi titik temu semua kualitas Allah dan ciptaan. Karenanya, wajarlah jika manusia yang menerima amanat menjadi wakil Tuhan di tengah semesta raya.
Sekali lagi, tasawuf yang saya peroleh dari perjumpaan dengan seorang guru sufi di pantai utara Jawa, Muhammad Zuhri, yang ini juga terkonfirmasi oleh Sachiko Murata dalam buku The Tao of Islam, menempatkan fungsi keterwakilan ini sebagai keadaan manusia paling tinggi dan luhur.
Namun, peran keterwakilan ini mustahil kita sandang jika tak terbukti menghamba. Kita tak sepenuh hati dan pikiran menempuh pengabdian atau transendensi seutuh hidup kepada-Nya. Jadi, untuk bisa mewakili Allah, konsekuensi logisnya adalah dipilih dari para hamba-Nya yang benar-benar patuh menghamba. Hanya hamba yang demikian itu yang pantas mengemban misi untuk bertindak atas nama-Nya di muka bumi.
Lantas, mana yang utama: peran hamba atau fungsi wakil? Tanzih atau tasybih? Jawabnya jelas, keduanya tak terpisah. Ibnu Arabi, seperti yang dikutip Sachiko, mengatakan, “Manusia mempunyai dua transkripsi: transkripsi lahiriah dan transkripsi batiniah. Transkripsi lahiriah sama dengan makrokosmos secara keseluruhan, sementara transkripsi batiniah sama dengan Allah.”
Bahwa dimensi lahiriah itu berkaitan dengan peran penghambaan, dimensi batiniah bertalian dengan ketuhanan dan keterwakilan. Bahwa yang lahiriah menempatkan Tuhan di ranah kejauhan dan ketakterbandingan, yang batiniah menunjukkan kedekatan dan keserupaan Allah.
Demikian, Wa Allah A’lam.
Ungaran, 05/04/2022
0 Comments