Puasa #1
Minggu, hari pertama Puasa Ramadhan 1443 H. Tak ada perlakuan istimewa yang saya jalani, selain urusan mental. Sebab, bagaimanapun ibadah satu ini bersierat dengan perkara mental. Memang, selama berpuasa raga kita akan berasa lemah. Tapi jauh dari itu, lemahnya fisik acap tak serta merta berkaitan dengan kewarasan mental sang “aku”, sang sadar, sang diri.
Padahal, setahu saya, Islam sedemikian perhatian dengan pembangunan jiwa. Badan tetap perlu, tapi tidak mencukupi. Rukun Islam memang bertopang pada fisik, tapi output dari penyelenggaraan rukun itu adalah kesadaran akan Tuhan dalam hati, di lisan, dan perilaku sehari-hari. Artinya ia menyoal keimanan, yakni menghayati perintah-Nya dan menerima ketentuan-Nya.Dengan demikian, di tengah kegigihan mengarungi gelombang kehidupan, kita tidak akan salah kiblat. Bahwa kita mengerti betul siapa di balik kenyataan. Tangan siapa di balik setiap fenomena. Bahwa Allah hadir di mana-mana. Bahwa kita dapat menemukan-Nya setiap saat dan di semua tempat.
Syekh Ibnu Athaillah menuturkan, misalnya, seseorang masuk ke sebuah rumah yang gelap. Tiba-tiba seseorang memukulnya. Ketika lampu dinyalakan, ia melihat bahwa yang memukulnya adalah gurunya, ayahnya, atau atasannya. Setelah mengetahui siapa yang memukulnya, tentu ia akan bersabar atas apa yang menimpanya.
Itulah kiranya tujuan Rukun Islam: menghadirkan pemahaman tentang Allah. Dan puasa terlebih lagi, benar-benar sarana teknis dari Tuhan untuk berlatih sabar mengerjakan perintah-Nya, dan menerima segenap ketentuan-Nya.
Puasa menuntun kita, kurang-lebih 14 jam untuk berhenti menuruti keinginan diri sendiri. Dan kita mafhum, “keinginan” itu berhubungan dengan hal-hal duniawi, terkait jasmani. Dengan berpuasa kita berlatih mencukupkan diri hanya kepada perintah dan ketentuan-Nya semata. Lebih lanjut, kita akan senantiasa berkesadaran bahwa Allah akan mencukupi, menolong, menjaga, dan membela dalam menghadapi segala sesuatu.
Nah, pemahaman yang demikian niscaya menyingkap rahasia penghambaan, betapa mesti bersabar dan bersyukur atas segala yang menyelimuti kita. Karena toh semua itu terjadi, tak lain tidak bukan berkat rencana Dia Sang Mahakarsa.
Syekh Ibnu Athaillah juga menuturkan, suatu ketika Rasulullah Saw. melihat seorang wanita bersama anaknya. Beliau bersabda, “Mungkinkah ia melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?”
Para sahabat menjawab, “Tentu saja tidak, Wahai Rasulullah.”
“Allah lebih menyayangi hamba-Nya yang beriman daripada wanita itu kepada anaknya,” ujar Rasulullah Saw.
Dari situ jelas, apa yang menimpa kita itu adalah wujud kasih sayang Allah kepada hamba. Ibarat seorang ayah yang kadang harus membawa anaknya ke puskesmas untuk vaksin, itu karena sang ayah sayang pada keselamatan si anak. Atau si ayah memaksa anaknya untuk minum obat yang rasanya sangat pahit, juga demi kebaikan sang anak.
Sama seperti seorang ibu yang saking cintanya, tak akan membiarkan anaknya makan sembarangan. Ia akan mengatur pola makan, pola tidur, pola main, dan seterusnya. Dan tentu saja, saat yang demikian, si anak tidak diperkenankan mengikuti pilihannya sendiri. Ia harus menurut apa kata ayahnya, apa kata ibunya.
Pun seorang hamba, yang sudah melejit tingkat pemahamannya tentang Allah, tentu tidak diperkenankan melakukan segalanya sesuai ambisinya sendiri. Ia mesti menjalani hidup selaras dengan ketentuan-Nya, sesuai dengan perintah-Nya.
Puasa, lagi-lagi, merupakan sarana yang dituntun Tuhan buat kebaikan hidup kita di muka bumi. Bahwa sedianya kita bisa sepenuhnya menerima kenyataan. Ingat, istilah “kenyataan” itu adalah segala sesuatu selain Allah sebagai wujud pernampakan-Nya. “Kami tunjukkan mereka bukti-bukti Kami di segala penjuru, juga yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS 41: 53).
Sehingga, menerima kenyataan sama artinya menerima-Nya. Sama artinya pula tidak ikut mengatur sesuai kepentingan kita sendiri. “Tuhanmu yang menciptakan sesuai dengan kehendak dan pilihan-Nya, tiada pilihan bagi mereka untuk mengambil sekehendaknya.” (QS 28: 68).
Seturut Syekh Ibnu Athaillah bahwa penggalan “Tuhanmu yang menciptakan sesuai dengan kehendak dan pilihan-Nya” menandaskan sedianya kita ikhlas mendapati kenyataan. Kita tidak perlu repot turut mengatur kenyataan. Sebab, jika Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki, berarti Dia pun mengatur sesuai dengan kehendak-Nya. Maka konsekuensi logis, yang tidak mewujudkan tak berhak mengatur.
Kemudian penggalan “tiada pilihan bagi mereka untuk mengambil sekehendaknya” kira-kira berarti, kita tidak layak memilih dan merasa lebih berhak daripada Allah. Ingat, bahwa sejatinya kita hanyalah hamba, yang sama sekali tak punya hak rububiyah.
“Apakah manusia bakal mendapat yang diharap? Di tangan Allah persoalan akhirat juga masalah dunia.” (QS 53: 24-25).
Kalam yang menegaskan bahwa Tuhan tidak menguasakan kita untuk pasti mendapatkan setiap damba. Bahwa semua yang kita peroleh ini murni perkenan-Nya, bukan dari usaha kita. Sehingga, ungkapan “usaha tak mengkhianati hasil” mesti diarahkan kepada rida Tuhan. Kalau tidak, kita akan terperosok dalam kemusyrikan: berkat ketekunan kitalah, niscaya hasil dalam genggaman. Tidak demikian.
Karena, ya, hanya milik Allah semuanya ini. “Di tangan-Nya kehidupan akhirat dan dunia.” Sungguh, betapa akhirnya, dan memang demikian kenyataannya, kita tidak punya hak apa pun atas keduanya. Kita tak selayaknya memilih yang kita tidak memilikinya. Tidak sepatutnya turut mengatur di kerajaan milik Allah.
Dan puasa, sekali lagi, menuntun kita untuk sadar diri. Betapa diri ini sebetulnya hanyalah seorang hamba yang sama sekali tak berhak menuntut kepemilikan atas kedua negeri itu. Dengan kata lain, cukuplah menggarap apa-apa yang dilekatkan ke pundak kita, yakni fokus pada internal kita atau semesta diri. Usah menuntut (apalagi kemaruk) untuk memiliki dunia eksternal. Serahkan saja pada kehendak-nya: akan mengurangkan atau melebihkan semesta milik.
Demikian, Wa Allah A’lam.
Ungaran, 03/04/2022
0 Comments