Puasa #21
Tak bisa tidak, menatap kenyataan ini kita mesti memuji-Nya. Karena segala sesuatu mengada dalam kondisi sebaik-baiknya. Dalam keadaan sebagus-bagusnya. Mereka hadir dari amrullah, perintah Allah. “Sesungguhnya amr Allah, tatkala Ia menghendaki sesuatu, cukup Ia perintahkan: Jadilah, maka jadilah sesuatu itu.” (Yasin: 82).
Dari realita itu, salah satunya yang memiliki kualitas tertinggi, yakni manusia diangkat oleh Allah menjadi wakil-Nya di muka bumi. Manusia memiliki kualitas serba paling karena tidak hanya hadir sebagai realita, tetapi berkonstruksi rumit yang tidak ada pada makhluk lain. Konstruksi itu berupa otak yang berada dalam tubuh manusia.Anugerah berupa otak inilah yang mengantar manusia pantas menerima “amanat”, di mana langit, bumi, dan gunung-gunung menolaknya. Otak yang berdaya intelek dan berkehendak bebas telah memuluskan manusia untuk berperan sebagai khalifatullah.
Dalam memerankan kekhalifahan, manusia sebetulnya terikat kepada iradah rububiyah-Nya, kehendak untuk melindungi dan mengembangkan semesta. Sebagaimana pernah diteladankan Nabi Saw. dalam mengemban identitas khalifah: menegakkan rahmat untuk semesta alam (Al-Anbiya: 107).
Namun, kebanyakan manusia ternyata iradah nafsiyah, kehendak diri, lebih kuat mendominasi iradah rububiyah, sehingga larut dalam kelaliman. Kebanyakan manusia cenderung menggunakan wewenang tanpa mengindahkan tanggung jawab keberadaban.
"Mereka mempunyai hati yang tiada digunakan untuk mengerti, mereka punya mata yang tiada digunakan untuk melihat dan mereka punya telinga yang tiada digunakan untuk mendengar. Seperti binatanglah mereka, bahkan lebih sesat lagi. Mereka tergolong orang yang lalai (terhadap amanat yang dipikulnya).” (Al-A'raf: 179).
Pertarungan dua kehendak antara iradah rububiyah dan iradah nafsiyah. Dua kepentingan, roh hayati dan roh idhafi. Roh hayati merupakan kekuatan yang melatari iradah nafsiyah. Kekuatan yang menumbuhkembangkan, yang lahir seiring hadirnya realita. Ia ada karena amrullah. Ia adalah roh ciptaan, yang akan selalu beregenerasi dan selalu ingin abadi di bumi.
Sementara roh idhafi bukan ciptaan, melainkan Diri Tuhan yang ditiupkan ke dalam tubuh manusia. “Aku sungguh akan menciptakan manusia dari tanah kering dari lumpur hitam, Ketika Aku menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan roh dari Aku ke dalamnya, …” (Al Hjir: 28-29). Maka, roh idhafi itu adalah roh titipan, yang melandasi iradah rububiyah, yang bersifat ingin kembali kepada Tuhan.
Percaturan dua kecenderungan yang melatari peran khalifatullah, wakil Tuhan di tengah semesta raya, itulah yang mesti kita pilih: kehendak mana yang kita menangkan.
Nah, kembali pada hakikat kenyataan, sebagaimana dalam surah al-Fatihah, seusai bacaan basmalah, kenyataan adalah pagelaran hamdallah. Sebuah pagelaran puji Tuhan.
Bahwa alam semesta ini tampil dalam keadaan baik yang unik. Keindahan yang unik, dan kesempurnaan yang unik. Bahwa di sana sini kita bakal kesulitan menemu cacat-cacat. Bahwa Tuhan sedemikian sempurna mengurus semesta.
Nah, karena realita itu lahir dari Perintah Tuhan, maka sudah otomatis di balik realita mengandung perintah-Nya. Maka, selaku wakil-Nya, kita wajib merespon perintah-Nya bukan fokus pada realitanya.
Lagian, sifat perintah Allah yang tampil di balik kenyataan yang kita hadapi itu teramat tunggal dan tak berulang. Itulah kenapa, sekiranya kita tidak segera merespon saat Ia datang di kesadaran, niscaya pergi dan tidak balik lagi. Betapa sayang akhirnya, jika kita absen dari kesempatan bersemuka dengan perintah Tuhan.
Walhasil, jelas sudah, di atas muka bumi ini ke mana sejatinya kita harus berlabuh. Di saat kita masih berkesempatan menghirup udara, walau usia terus merambat surut. Ya, tak bisa tidak, kita mesti berhenti pada titian yang lebih menjanjikan bekal masa depan, bekal menghadap-Nya. Kita tidak bisa terus-terusan menjadi pribadi yang kabur kanginan, tidak memiliki kejelasan titik pijak. Tidak mengerti arah titik tuju.
Mengutip ungkapan Simbah Ibnu Athaillah, sudah saatnya kita berhenti dari mengatur segala urusan yang sudah jadi ketetapan Tuhan. Tugas kita cukuplah khusyuk selaku hamba, yakni mempertinggi kesadaran serta pengetahuan tentang kehendak-Nya. Sehingga, tepatlah sikap dan lantunan doa-doa kita kepada-Nya.
Ya, lantunan “ihdinashshirathalmustaqim” adalah sadar bahwa kita memasrahkan segala kepada kehendak-Nya. Sehingga, “iyyaka nasta’in” kita itu demi meneguhkan “iyyaka na’budu”, bukan demi mengatasi ketakutan-ketakutan duniawi.
Demi “iyyaka na’budu” bukan untuk pemenuhan keinginan-keinginan. Bukan lantaran takut miskin, takut bangkrut, takut tidak populer, takut tidak memperoleh tanda jempol, atau tidak memperoleh perhatian dari orang lain. Atau entah apa lagi yang pokoknya serba bayangan-bayangan dunia.
Kira-kira begitu. Wa Allah A’lam.
Ungaran, 23/04/2022
0 Comments