Puasa #19
Air. Kita bergantung pada air. Nah, pernah suatu ketika, air di kompleks perumahan saya tak mengalir. Sumber air di Gunung Ungaran menipis. Dan, beberapa hari itu air di tempat penampungan di rumah saya tak bertambah. Cadangan air berkurang.
“Air menghidupi. Tak ada air, mustahil lahir kehidupan,” kata orang bijak. Memang demikian adanya. Beberapa hari pada saat itu saya menghemat air. Saya mengubah jadwal mandi dan mencuci pakaian. Benar-benar terasa, air segar dan menyuburkan tanaman. Kita memasak air untuk minum. Air membersihkan badan, bisa pula untuk mencuci motor, mobil, dan sebagainya. Pendek kata, air sedemikian vital untuk menopang keseharian kita.“Air dingin, tapi di sini malah panas,” keluh seorang tetangga. Dan, seluruh penghuni kompleks membenarkan. Bukan mendinginkan, air justru bikin panas hati dan sumpek pikiran. Air tak lagi menyuburkan tanaman. Ya, beberapa tetangga memutuskan tak menyiram tanaman, lantaran sungkan. Mereka tak tega pada tetangga lain yang kehabisan air. Tanaman pun berpuasa. Gara-gara air pula, antartetangga bisa jothakan, saling mendiamkan. Mereka tidak tegur sapa. Di luar kompleks, air memang menyegarkan. Namun di dalam kompleks kami, yang terletak persis di lereng Gunung Ungaran, persoalan air malah acap mengundang keributan.
Saya masih ingat, terhitung delapan tahun permasalahan air tak kunjung terselesaikan. Terasa menggantung dan tak tuntas. Selama itu pula, saya hanya berdiam diri. Urusan lain saya berusaha aktif, tapi tidak dengan soal air. Air yang cair malah membuat saya pasif, memilih diam. Saya merapal mantra ilmu ethok-ethok, ketika berhadapan dengan tetangga. Ilmu pura-pura. Berpura-pura tak ada masalah, padahal bermasalah. Saya mengumbar raut muka bahagia, padahal setengah mati menahan jerit tangis. Saya berpura-pura cukup, padahal sama-sama kekurangan air. Suatu kebiasaan memberi informasi tentang keadaan yang tidak sebenarnya.
Entahlah! Apakah kepura-puraan itu wujud kepengecutan atau demi keselarasan bertetangga? Menghindari keterusterangan sebagai bentuk keminderan atau demi kerukunan lingkungan? Lagi-lagi saya hanya bisa berujar, entah! Toh kenyataannya saya memang pasif. Saya tak sanggup berterus terang pada tetangga lingkungan, baik dalam obrolan santai maupun di forum rapat RT. Saya tak bernyali. Saya hanya sanggup sekilas berkeluh kesah pada anak-istri. Saya hanya bisa menggoreskan catatan di status Facebook. Selebihnya, saya memilih menangis sepuas-puasnya atas kehendak-Nya. Saya menumpahkan emosi dan makian pada-Nya. Saya menantang Dia. Saya menagih janji-Nya, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kukabulkan bagimu” [Al-Mu’min: 60].
Terkabulkah? Setidaknya usai saya bersedu-sedan di pangkuan-Nya, tensi itu mengendur. Rasa kurang dan tidak puas mengerut. Kemarahan pun mereda, seiring usapan air wudu. Air yang mengalir ke bak mandi bisa jadi sama dengan yang sudah-sudah. Namun situasi hati berbeda. Kenyataan air itu tetap, tetapi keadaan hati itulah yang turun-naik, tak stabil. Terkadang tenang dan tak jarang pula kisruh, keruh dan ingin marah-marah pada tetangga. Tidak legawa atas “kelebihan” orang lain. Dari situlah, saya sedikit menangkap maksud ayat “Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya” [Ar-Ra’du: 11].
Nasib itu keadaan, yaitu kondisi di dalam. Kondisi hati dalam menilai kenyataan. Jadi kira-kira perintah-Nya, “Ubahlah penilaianmu terhadap kenyataan! Jangan kau perkeruh situasi hatimu!” Karena kenyataan adalah peristiwa yang tidak bisa ditarik lagi sejak keluar, layaknya kata yang terucap. Seumur-umur tidak bisa ditarik kembali. Sementara keadaan itu tidak nyata. Ia berada dalam hati dan pikiran. Debit air yang sedikit, terlebih kini Gunung Ungaran tak lagi hijau, pohon-pohon pengikat air berkurang, adalah kenyataan. Adapun yang belum nyata atau sebagai keadaan adalah cita-cita atau rencana kita menghijaukan Gunung Ungaran. Yang masih berupa keadaan adalah keinginan kita menggalang kebersamaan memprotes pemodal. Keinginan kita menghentikan perusakan lahan hutan. Dan, keinginan kita menanam pepohonan di Gunung Ungaran.
Nah, kandungan air di kompleks perumahan menipis. Itu kenyataan. Tak elok pula kita berlarut-larut menggerutu soal cadangan air yang menipis. Karena, sekali lagi, itu kenyataan. Bukan keadaan. Dan, kita bisa mencipta kenyataan dengan merealisasikan keadaan. Kita merumuskan rencana: mempertahankan lahan hijau, menggali sumur artetis, memperbarui saluran pipa, dan menambal kebocoran tandon-tandon. Dalam ranah pribadi, sebagai sesama penghuni kompleks perumahan, mesti berbagi dan berhemat. Penghuni yang memiliki tandon besar kudu merelakan cadangan airnya berkurang. Sementara yang kekurangan tidak lantas bermanja-manja, tidak gampang mengumbar keprihatinan.
Kemudian kita sama-sama mengetahui air senantiasa mengalir ke bawah. Seolah menjadi pertanda keagungan seseorang yang sanggup mengintegrasikan diri kepada yang di bawah. Pertanda seseorang yang ikhlas mengulurkan bantuan kepada yang lemah. Seseorang yang memiliki kelebihan sanggup mengentaskan kanan-kiri dari rasa kurang. Air menjadi simbol kebermaknaan pertemuan dua individu. Akhirnya jelas, air memang dan sungguh mendinginkan. Air menghidupi. Air adalah sarana kehidupan, bukan pemicu keributan.
Dan alhamdulillah, kini air di kompleks perumahan tempat saya berinteraksi sosial sudah bebas dari kendala. Artinya, sumur artetis sudah digali, saluran pipa sudah diperbarui, dan kebocoran-kebocoran di sana sini sudah diatasi.
Demikian, Wa Allah A’lam.
Ungaran, 21/04/2022
0 Comments