Di tengah zaman yang mulai malas berpikir, di tengah kelaziman orang-orang yang lebih suka browsing dan googling ini. Di mana sebetulnya posisi literasi digital?
Saya akan pakai analisa F. Budi Hardiman dalam menelisik literasi digital. Memang ia tak persis membincang literasi saat berpidato di Universitas Pelita Harapan, Banten. Ia memapar Tugas Filsafat di era Komunikasi Digital.Sebagaimana keyakinan F. Budi Hardiman bahwa selama manusia berpikir, selama itu filsafat masih hidup, bahkan layak dilahirkan kembali. Pun literasi, yang dari maknanya sebagai kemampuan mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup, sudah pasti dibutuhkan. Namun saat ini, di era digital, apakah manusia masih berpikir? Atau apa arti kecakapan hidup di era sekarang ini?
Budi Hardiman menyebut, zaman sekarang dilabeli dengan berbagai nama: revolusi industri 4.0, postmodernisme, dan era komunikasi digital. Di mana titik temu ketiganya adalah luapan informasi yang diakibatkan oleh pemakaian teknologi komunikasi digital. Saking meluapnya, saya melihat masih banyak yang kebingungan mengolah informasi, apalagi digunakan untuk kecakapan hidup.
Saat ini, ketika sebagian besar dari kita menundukkan kepala, bukan untuk merenung atau berpikir tentang persoalan hidup, melainkan melihat layar ponsel. Seolah isi Whatsapp, Tik-tok, Twitter, itu lebih riil ketimbang kenyataan di hadapan kita. Lebih berharga daripada berempati kepada pedagang kakilima yang menjerit kehabisan minyak goreng.
Acap kita menjadi gagap melihat kenyataan. Memang dengan ponsel di tangan, siapa saja bisa dan bebas mengungkapkan unek-uneknya. Tidak ada lagi hierarki yang membatasi orang bicara. Setiap kita bisa mengumbar kata ke segala penjuru tanpa sekat. Tetapi persis pada saat ini pula, ketika akses langsung dalam genggaman, justru cita-cita hidup harmoni terancam lumpuh. Alih-alih mengupayakan saling pemahaman, kerap kali media-media sosial menjadi sarana penyebaran hoaks, berita palsu atau horor vaksin.
Sekali lagi memang, dengan telepon genggam, serasa demokratisasi sosial itu nyata. Setiap individu memperoleh kebebasan berpendapat. Bahkan setiap kita mendadak pakar, mengerti banyak hal. Mendadak sebagai Tuhan Yang Maha Penentu. Namun, benarkah demikian?
Literasi yang dari dasarnya merupakan kemampuan menulis dan membaca, mengisyaratkan kemampuan berpikir. Sebab mustahil membaca atau menulis tanpa berpikir. Berpikir adalah mempersoalkan. Pada zaman Yunani kuno, mempersoalkan mitos sebagai realitas semu. Di zaman modern, mempersoalkan ideologi, atau keyakinan sebagai bentuk lain mitos. Kemudian saat ini, dalam revolusi digital, ketika luapan informasi mangacaukan persepsi, kedalaman berpikir seperti tak diperlukan.
Para pengguna gawai tampak tak lagi peduli bahwa mereka telah menjadi tawanan layar. Mereka menikmati realitas dalam gawai sebagai kenyataan. Padahal belum tentu realitas dalam gawai itu fakta. Terus bagaimana literasi digitalnya? Jika toh kemampaun memahami fakta berbasis digital ternyata sama dangkalnya dengan yang menjadi tawanan layar gawai.
F. Budi Hardiman, dalam konteks filsafat, menjawab dengan tegas bahwa filsafat tetap harus menjalankan tugas klasiknya. Yakni mengajak berpikir untuk menemukan kebenaran, memaknai keindahan, dan menilai kebaikan. Tugas itu serasa sangat tepat juga buat para penggiat literasi, apalagi saat ini, tatkala komunikasi digital serasa tak terelakkan. Terutama di negeri ini, di mana pengguna internet termasuk yang terbesar di muka bumi. Sungguh, serasa tugas yang mendesak.
Bahwa tatkala kita menyalakan ponsel, dan terlibat saling sadap informasi, jelas isi dunia digital hanya fakta-fakta yang dibicarakan, artinya tak sepenuhnya fakta dunia riil. Namun, orang-orang banyak yang lebih percaya dengan informasi yang tersiar di gawai, ketimbang obrolan langsung. Seolah yang di gawai itu lebih riil. Lebih dalam, padahal permukaan dan dangkal.
Hal itu menjadikan kebenaran tidak lagi dicari dengan refleksi diri dalam benak, pada daya cerap, atau dalam lubuk hati paling dalam. Tetapi cukup dengan menyentuh layar, niscaya Google, Youtube, dan platform-platform media sosial siap mengarahkan jawaban. Kecakapan akal untuk mengolah pengetahuan tidak lagi herois sebagaimana dahulu pada abad pencerahan Eropa, abad ke-17, atau era keemasan Islam abad ke-12.
Memang di satu sisi, digitalisasi itu meringankan kerja fisik kita. Ber-online tak mengandaikan kehadiran tubuh, bodyless. Kita bisa berkomunikasi di sana sekaligus di sini, dengan tubuh entah di mana. Kita tidak saling merasakan secara langsung tindakan ragawi. Maka, tak aneh pula, ber-online ria itu minim komitmen. Kita kehilangan berada dalam situasi.
Lagi pula, berselancar di gawai, perbedaan lokal dan global pun langsung menghilang. Era digital mengandaikan hidup di tengah belantara global. Bahwa setiap tindakan berpotensi global. Namun, akibat ketidakberpikiran, atau kurang berpikir secara mendalam, para pengguna gawai, seperti buru-buru berbagi informasi yang mendahului kesadaran, justru acap kali membahayakan orang atau kelompok lain.
Dari situlah, saya menangkap literasi digital penting didengungkan. Bukan sekadar untuk menuntaskan proyek bahwa masyarakat kita telah melek digital. Bukan sekadar untuk banyak-banyakan grup Whatsapp, berapa kali diskusi via Zoom, atau seberapa sering bikin konten Youtube. Tidak demikian. Jauh mendasar adalah untuk menyingkap ambivalensi komunikasi digital.
Literasi digital tidak sekadar urusan mengelola informasi berbasis internet, tetapi bagaimana memuliakan wajah kemanusiaan, seperti kreativitas, kebebasan, dan moralitas. Literasi digital, sebagaimana filsafat, harus menyediakan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang sejauhmana teknologi digital dapat mendegradasi kemanusiaan hingga ke taraf mesin.
Bahwa dengan teknologi digital, kita menjadi manusia kosmopolitan, manusia yang terbuka kemungkinan terbentuknya kewargaan global. Namun, ancaman yang mengadang juga nyata. Yakni kecakapan hidup menjadi sekadar proses ‘teknis’ seperti browsing dan googling.
Maka, literasi digital juga berarti upaya mewaspadai anggapan kebanyakan bahwa teknologi digital itu sebagai wujud kebenaran. Literasi digital sedianya turut menjadi upaya reflektif yang menyingkap perubahan antropologis, epistemologis, dan estetis yang diakibatkan oleh interaksi manusia dengan dunia digital. Sehingga jelas, apakah kita masih manusia tatkala bersanding dengan telepon genggam? Apakah masih sebagai kebenaran, kebaikan dan keindahan jika orisinialitas dan artifisialitas sulit dibedakan?
Sehingga akhirnya penting pula diupayakan penegakan etika bermedia sosial. UU ITE jangan tebang pilih. Bahwa saling menghina, berbohong, dan mengancam di media-media sosial hanya akan menghasilkan rasa kehilangan dunia. Saking pentingnya etika, maka etika berkomunikasi digital harus diberikan sejak dini.
Dengan demikian, kecakapan hidup di era digital, literasi digital, tidak berhenti sebagai slogan, tetapi benar-benar menjadi wahana untuk menyebar kebenaran, menyingkap keindahan, dan berbagi kebaikan. Begitu kira-kira!
Ungaran, 18/03/2022
0 Comments