Syukurlah, saya hidup di zaman euforia reformasi. Beda dengan Orde Baru, kini rakyat bebas berpolitik, bebas bersuara, bebas menyuarakan hak. Hak, konon dari kata haqq, punya dua makna: berarti hak, dan berarti kebenaran.
Apalagi, hak bersuara atau berpendapat dikukuhkan UUD ’45, artinya siapa pun hingga negara tak diperbolehkan membatalkan atau menghilangkan hak dari diri seseorang. Bukankah Tuhan pun tidak akan mencabut sebuah hak, kecuali si pemangku hak itu membatalkan atau melepaskan haknya?Demikian, betapa “hak” itu sangat suci. Tak boleh diremehkan.
Nah, terkait euforia, seakan baru kemarin sore kita berdemokrasi. Kebebasan berbicara, menulis dan berserikat, tiba-tiba menjadi suatu yang menggembirakan, gampang terjangkau, murah. Beda banget dengan kisah-kisah menyesakkan dari rezim orde baru.
Kini, saking murahnya: silang sengkarut gagasan, pendapat, tulisan, saling dukung dan tuding, serta saling caci sontak mengemuka bebas. Segalanya langsung tersiar.
Terlepas dari itu, sekali lagi saya patut bersyukur, hidup di tengah kurun waktu yang “semrawut”. Hari-hari ini, kita berkesempatan untuk memyenandungkan energi positif. Kita bebas mendendang bait-bait yang memuji keagungan-Nya demi lestari bumi ini. Kita juga bisa turut mengadang laju ekstremisme. Sebab, tanah yang kita pijak ini beda dengan negara-negara maju yang tak memiliki latar majemuk. Nusantara jelas berlatar maritim Sriwijaya dan konsep darussalam Majapahit, negeri yang bersesanti Bhinneka Tunggal Ika.
Syukur saya hidup di tengah gelombang demokratisasi yang marak. Merasakan betul hari-hari ini Pancasila turun-naik antara perlu dan tidak. Tapi diam-diam falsafah nilainya terus digali. Gagasan pluralisme mengalir tak terbendung, meskipun dari sana sini kelompok yang getol menampik tak sedikit.
Sebut saja MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an), misalnya, satu dari sekian kelompok muslim yang cenderung antipluralisme. Sebuah kelompok pengajian berbentuk yayasan dan berpusat di Solo. Lebih dari setahun (2009–2010), saya aktif mengikuti pengajiannya di kantor pusat, depan Keraton Mangkunegaran, Solo.
Dari kelompok itu, saya mendapati konsep puritan yang literalisme, antirasionalisme, dan antipluralisme. Terekam jelas dalam benak, saya sodorkan wacana tasawuf, dan langsung divonis sesat. Saya goda lagi dengan mengajukan konsep filosofi Rukun Islam dan Rukun Iman, disebutnya agama (Islam) itu tak serumit filsafat yang kebarat-baratan. Terakhir, tatkala saya menyebut teman-teman Nasrani sebagai “saudara”, mereka langsung berceramah bahwa sebagai muslim mesti tegas dan jelas membenci bahkan memusuhi nonmuslim.
Kelompok itu melarang jamaahnya untuk terlebih dahulu memberi ucapan salam/selamat kepada nonmuslim. Dan sekiranya membalas ucapan salam dari nonmuslim, semestinya tak mendoakan keselamatan atau kedamaian bagi si non itu.
Betapa eksklusif mereka. Menguasai otoritas “perintah Tuhan” dengan cara intoleransi dan menebar kebencian pada “yang lain”. Mereka gemar menabuh genderang antipluralisme. Sehingga, di tengah kelompok itu, keindahan dan keluhuran Islam serasa omong kosong. Beda sekira kita duduk bersama dengan Nahdlatul Ulama, berasa adem.
Betapa jauh, di tengah jamaah Nahdlatul Ulama, saya menangkap nilai, Tuhan menghadirkan manusia tak sekadar berada, tapi tertuntut tanggung jawab memberadabkan bumi. Memberadabkan sama artinya tak menyebarnya kekerasan, kebencian, balas dendam dan intoleransi. Memberadabkan berarti tak merusak keindahan warna-warni ciptaan Tuhan. Tidak melukai perasaan sesama. Tak menyakiti nalar sehat yang lain. Memberadabkan bumi adalah mewujudkan nilai kebertuhanan, menyebarluaskan sikap welas asih, juga menjaga tradisi luhur.
Namun, gerakan-gerakan puritan, macam MTA dan sejenisnya itu, justru kerap menyikapi segala sesuatu dengan logika superioritas. Merasa lebih unggul yang disertai sikap arogansi, perasaan selalu benar ketika berhadapan dengan “yang lain”.
“Yang lain” itu adalah Barat, nonmuslim, para pengusung pluralisme, hingga bahkan kaum perempuan muslim itu sendiri. Benar, mereka mendudukkan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Sebagai pelengkap saja, yang tidak perlu berperan dan tampil di ruang publik.
Dalam berhadapan dengan teks kitab, kelompok itu membesar-besarkan peran teks ketimbang nalar logis. Seakan makna teks itu sudah sedemikian jelas dan gamblang, sehingga subjektivitas manusia dalam menafsirkan teks tidaklah relevan. Seakan nalar tidak sanggup mengimplementasikan perintah Tuhan.
Kemudian, mereka sedemikian bersemangat mengutubkan umat manusia. Di satu sisi ada kutub Islam yang merepresentasikan kebaikan mutlak, dan di sisi lain ada kutub non-Islam yang merepresentasikan kejahatan. Menurut mereka, kutub Islam hanya wajib peduli, berinteraksi, dan berteman dengan sesama kutub. Kalau pun terpaksa meminta bantuan kepada kutub sebelah, sebatas untuk tujuan “memberikan contoh baik”.
Umat Islam tidak boleh bersahabat dengan Nasrani, dan yang lain, kata mereka. Sebab, kelompok kebaikan itu harus tidak mencintai kelompok kejahatan. Kelompok kebaikan harus mendominasi kelompok kejahatan.
Tersebut pula dari kelompok itu, satu-satunya Islam yang benar adalah Islam yang bercorak budaya Arab Saudi. Hanya ada satu Islam sejati, yakni yang mendasarkan diri kepada kata demi kata kitab suci secara literal. Sementara segala upaya rasionalisasi, upaya pendalaman makna, upaya memasuki lorong esoteris, lorong hikmah, adalah upaya pengaburan kesejatian Islam.
Syahdan, pluralisme nyata terkendala oleh gerakan puritanisme. Padahal mereka itu minoritas, tapi lantang menampik konsep Islam rahmat yang diusung Nahdlatul Ulama. Belum lagi soal cita-cita peradaban yang dikehendaki Nahdlatul Ulama. Soal terwujudnya tatanan dunia yang harmonis dan adil, serta penghormatan terhadap kesetaraan martabat di antara sesama manusia.
Sungguh, betapa masih jauh upaya meneguhkan Islam rahmat! Islam yang menjunjung tinggi rasa persaudaraan antarsesama, terutama kepada korban kemaruk kapitalisme.
Miri, 11/01/2022
0 Comments