Entah, kisah Syekh Datuk Abdul Jalil dan dukuh Lemahbang begitu melekat dalam benak saya. Masih jelas di pelupuk mata rumah-rumah di Lemahbang, di Kecamatan Miri, Sragen, dan juga paparan almarhum K.H. Agus Sunyoto di sebuah mauidhoh hasanah.
Tersebutlah, Syekh Datuk Abdul Jalil menyusun formula doa sebagai pegangan pengikutnya di Lemahbang. Suatu formula amalan doa, mulai dari surat al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas, ayat-ayat al-Baqarah, ayat kursi, dan seterusnya, untuk menghindari pengaruh jahat bangsa Jin. Amalan doa yang kemudian dikenal sebagai tahlilan.
Syekh Datuk Abdul Jalil, yang juga akrab disebut Syekh Lemahbang atau Syekh Siti Jenar, merujuk kitab Bidayah wan Nihayah, Tarikh Ibnu Katsir, bahwa Jin dicipta sebelum manusia. Namun, seiring waktu, Jin senantiasa berbuat berbagai kerusakan di muka bumi, dan kerap menumpahkan darah. Lantas Tuhan mengutus tentara dari langit mengusir bangsa Jin, yang akhirnya berdiaspora ke pulau-pulau di tengah laut. Dari situlah, sang syekh berkeyakinan bahwa semua pulau-pulau di Nusantara ini dihuni oleh bangsa Jin. Kemudian Syekh Siti Jenar menyusun amalan tahlilan itu.
Saat yang sama Sunan Kalijaga, yang mengikuti perjalanan Syekh Datuk Abdul Jalil, turut membenarkan isi kitab Bidayah Wan Nihayah, mencatat bahwa di Pulau Jawa ini terdapat 197 kerajaan Jin. Sehingga kondisi orang-orang Jawa saat itu, sebagaimana catatan Antonio Pigafetta, 1522, seorang Italia yang pernah singgah di Jawa, dikenal arogan serta gemar mengamuk seperti kesurupan.
Memang, penduduk sepanjang pantai utara Jawa telah memeluk Islam, tapi tetap saja gemar mengamuk dan terjangkit kesurupan massal. Sementara di desa-desa Lemahbang terhindar dari keranjingan amuk dan kesurupan massal, lantaran terbentengi oleh amalan yang diajarkan Syekh Siti Jenar.
Lambat laun amaliah desa Lemahbang menular ke desa-desa lain. Di langgar-langgar berkumpul banyak orang, bersama membaca tahlillan. Moda ungkap doa, yang saya baru ngeh, ternyata disusun oleh Syekh Datuk Abdul Jalil alias Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemahbang. Lantas, oleh Sunan Kalijaga, amalan tersebut meluas ke pelosok-pelosok dan dikaitkan dengan peristiwa kematian.
Ya, berhadapan dengan fenomena kematian, awalnya cukup dibacakan doa. Namun kemudian Sunan Kalijaga menambah dengan tahlilan. Kenapa? Tiada lain dikarenakan ajaran Syekh Datuk Abdul Jalil dalam menyambut dan menafakuri kematian terlampau sulit dijalankan.
Menurut Syekh Siti Jenar, orang yang datang dan pulang ke Tuhan itu mesti berkondisi suci seperti bayi. Tidak boleh lagi mengingat dunia. Tidak boleh mengingat kesenangan-kesenangan semasa hidup. Ingat keluarga, dan seterusnya, dan sebagainya. Singkatnya, harus pasrah total kepada Tuhan, “wa laa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.” Dan hal itu berat bagi masyarakat, baik dalam maupun di luar Lemahbang.
Maka, oleh Sunan Kalijaga disederhanakan. Bahwa tidak semua orang bisa berkondisi suci dan pasrah sebagaimana bayi, tatkala pulang ke haribaan Tuhan seperti yang dituntut Syekh Datuk Abdul Jalil. Sunan Kalijaga menyederhanakannya dengan memaparkan ajaran martabat tujuh tentang sangkan paran dumadi. Manusia lahir ke muka bumi melalui tujuh tahap.
Tahap pertama ahadiah, Tuhan yang esa, sang pengayom, dan kita belum berkeadaan. Kedua, tahap wahdah, kita sudah berkeadaan, tapi masih dalam kondisi global. Masih berupa calon manusia. Ketiga, tahap wahidiah, sudah terpasalkan. Setiap bagian-bagiannya telah berkarakter, seperti calon kaki kiri, calon tangan kanan, dan seterusnya.
Keempat, tahap roh, tahap tenaga untuk eksis. Sebuah kekuatan untuk menyempurnakan karakter-karakter yang telah terpasalkan. Kelima, tahap mitsal, imajinasi atau kerangka model. Bahwa setiap sesuatu ada muatan, kemudian diberi roh, dan diimajinasikan akan dibentuk seperti apa. Jadi kerangka wujud kita mengada di alam rahim itu, setelah ada roh. Keenam, tahap ajsam, alam fisik. Dan terakhir, ketujuh, tahap insan kamil.
Jadi, konsep manusia datang dari Tuhan, inna lillahi, bahwa bayi lahir menjadi insan kamil itu bermula dari Tuhan, Sang Pemilik ide. Bahwa tahapan dari ide global, ide terpasalkan, isi kandungan (roh), desain, dan jasad, itu melalui tujuh tahap, yang masing-masing tahap lamanya 40 hari. Berarti tujuh tahap memakan waktu 280 hari, atau 9 bulan 10 hari. Itulah proses menjadi bayi sempurna.
Demikian pula tatkala kembali ke Tuhan, wa inna ilaihi rajiun, juga melewati tujuh alam: alam kubur, alam barzakh, dan seterusnya hingga alam ahadiah. Manusia melewati alam kubur selama 3.000 tahun, yang untuk waktu dunia lamanya 3 hari. Selanjutnya meniti alam barzakh selama 7.000 tahun, atau 7 hari untuk waktu dunia. Terus menyisir alam selanjutnya, hingga manunggal ke ahadiah-an Tuhan.
Namun, kebanyakan manusia sedemikian terikat kuat oleh gemerlap dunia, maka dalam menyusuri tahap-tahap setelah kematian itu teramat sengsara. Roh untuk kembali ke ahadiah Tuhan itu susah. Oleh karena itu, keluarganya, anak-istrinya, saudara, serta tetangga, menurut Sunan Kalijaga, harus membantunya dengan doa supaya lancar. Melewati alam kubur, 3 hari, diperingati dengan berdoa, dengan formula tahlilan. Kemudian 7 harinya, 40 hari, 100 hari, setahun, dua tahun, dan ke-1.000 hari.
Begitu, tujuh tahap kembalinya sang roh, sang aku atau sang sadar kepada Tuhan. Terus, kenapa para keluarga harus membantunya dengan kiriman doa?
Masih menurut Sunan Kalijaga, melewati tahap demi tahap itu tidaklah gampang. Dalam kubur, orang itu bak tenggelam dalam air, untuk bernafas saja susah. Untuk makan sulit. Sunan Kalijaga melukiskan bahwa di alam kubur itu banyak orang sengsara, lantaran keluarganya tidak mendoakan. Bahwa si ahli kubur hanya memperoleh semacam nafas baru atau makanan dari doa orang-orang Islam yang tanpa sengaja berdoa untuk dia.
Bisa dibayangkan, sekira umat Islam membaca doa “...minal muslimina wal muslimati....”, akan sampai ke ahli kubur semacam makanan atau nafas baru. Dan, itu pun terbagi pula ke banyak orang yang mati. Sehingga, betapa penting berdoa khusus, atau baca tahlilan, dari pihak keluarga kepada ahli kubur. Yakni, bisa memperingan beban ahli kubur untuk bernapas, untuk mendapat asupan makan.
Walhasil, menghikayatkan Lemahbang itu sama artinya dengan mengungkap warisan ajaran Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar tentang tahlilan. Betapa formula doa itu, yang menjadi amalan penduduk Lemahbang saban hari, dan kemudian juga sarana melancarkan perjalanan roh ke Tuhan setelah berlepas dari jasad manusia, kini masihlah relevan. Formula doa, yang tidak saja sekadar untuk kirim doa pada arwah leluhur, tetapi berkepentingan sebagai perisai diri dari pengaruh negatif bangsa Jin. Untuk menjaga dari makhluk Tuhan yang akan mencelakakan kita. Bahkan K.H. Agus Sunyoto menandaskan, kampung-kampung yang rutin setia melafalkan tahlilan, insyaallah akan terhindar dari perubahan-perubahan yang merugikan masyarakat.
Maka, tahlilan merupakan sarana teknis untuk keselamatan dan keseimbangan hidup di dunia. Sarana membentengi keluarga dan seisi kampung, dan terus meluas vibrasinya, dari mala wabah pandemi, bencana alam, dan sejenisnya.
Sungguh hari ini, ingatan saya kepada Lemahbang, kepada Syekh Siti Jenar, itu menemu wujud dari kabar yang tersiar dari Lampung. Dari perhelatan muktamar ke-34 NU itu, kisah yang pernah disampaikan K.H. Agus Sunyoto ini terasa hidup kembali. Walau jelas, jasad wadak beliau tidak ikut hadir mengharu muktamar. Walau riset-riset sejarah beliau, seperti Atlas Walisongo, barangkali tidak menjadi bahasan penting di sana. Walau kajian serius tentang tahlilan juga belum dianggap perlu.
Ungaran, 23/12/2021
0 Comments