Suatu sore menjelang magrib, remaja laki-laki itu, 16 tahun, ditemani sang ibu angkat, Nyai Pinatih, menunggu Sunan Ampel di gazebo samping masjid Pesantren Ampeldenta. Jaka Samudra, atau Raden Paku, nama remaja itu, hendak mendaftar sebagai santri Sunan Ampel. Sang sunan lagi tak di pesantren. Mereka menunggu.
Yang ditunggu pun datang. Sebuah pedati yang ditumpang Sunan Ampel bersama dua istri, Dewi Candrawati dan Dewi Karimah, berhenti tepat depan masjid. Jaka Samudra sigap beranjak dari tempat duduknya, mendekat sang Sunan. Ia menjulurkan kedua tangannya, meraih jemari kanan Sunan Ampel dan menciumnya dengan penuh takzim. Hal yang sama juga tertuju pada Dewi Candrawati dan Dewi Karimah. Pun demikian Nyai Pinatih, mengikuti persis yang dilakukan Jaka Samudra.“Kita magriban dulu ya! Kita bicara nanti usai magrib!” ajak Sunan Ampel pada dua tamunya itu.
“Sendika, Kanjeng Sunan.” sahut ibu dan anak itu penuh patuh.
Kemudian, setelah magrib, Nyai Pinatih dan Jaka Samudra duduk lesehan di atas tikar pandan di hadapan Sunan Ampel di ruang tamu yang artistik, bagian rumah Sunan Ampel yang berada di samping masjid.
“Mangga, silakan dinikmati!” ramah sang sunan.
Ya, di hadapan mereka tersaji teh panas dalam gelas dari tanah liat dan potongan gula aren. Juga beberapa potong wajik ketan dan jadah yang diramu parutan kelapa.
“Nyai dan Cah Bagus ini dari mana?” tanya Sunan Ampel.
“Begini, Kanjeng,” jawab Nyai Pinatih. “Nama saya Pinatih dari Tandhes. Dan ini Jaka Samutra, putra semata wayang saya. Dalem hendak meminta izin agar putra saya ini diperkenankan belajar di sini. Bagaimana, Kanjeng Sunan?”
Sunan Ampel menoleh ke arah Jaka Samudra, lantas kembali ke Nyai Pinatih dan menjawab, “Cah Bagusmu itu bisa langsung bergabung dengan santri-santri yang lain, Nyai.”
Sontak melonjak gembira mereka berdua. Jaka Samudra lantas mendekat dan meraih tangan Sunan Ampel. Lagi-lagi mencium penuh hormat. Hatinya riang bukan kepalang, hasrat berguru kepada pendiri Pesantren Ampel itu terkabul.
Pesantren Ampel itu sendiri telah berdiri setahun lebih tua dari usia Jaka Samudra, 17 tahun. Di situ para santri akan diajak untuk selalu bangun di penghujung akhir malam, salat malam bersama-sama. Kemudian lanjut salat subuh dan membaca wirid-wirid hingga ufuk timur menguning. Lantas, bersih-bersih lingkungan pesantren, dan ditutup dengan salat duha. Setelah itu acara bebas.
Sunan Ampel, pendiri sekaligus pengasuh pesantren, adalah putra Maulana Ibrahim Asmaraqandi dan Dewi Candrawulan. Nama kecil Sunan Ampel ialah Raden Rahmat. Sedang Dewi Candrawulan merupakan putri Raja Kuntara, Raja Cempa. Dewi Candrawulan bersaudara (adik) kandung Darawati Murdaningrum atau Dewi Andarawati, yang dinikahkan dengan Pangeran Kertabhumi, yang ketika menjadi raja Majapahit bergelar Brawijaya V. Dengan kata lain, Raden Rahmat merupakan kemenakan Dewi Andarawati dan Brawijaya V.
Adapun Jaka Samudra sebetulnya putra Maulana Ishak, ulama dari Pasai, yang menikah dengan Dewi Sekardadu, putri Adipati Blambangan, Menak Sembuyu, yang masih keturunan langsung Hayam Wuruk. Karena ada sedikit sengketa, Maulana Ishak terusir dari Blambangan dan kembali ke Pasai. Dewi Sekardadu yang hamil tua dan ditemani Nyai Pinatih, janda Ki Patih Semboja, hendak menyusul sang suami. Namun di tengah perjalanan, di atas kapal, ternyata bayi yang dikandung Dewi Sekardadu meronta pengin keluar. Dan lahirlah Jaka Samudra, tapi sayang dengan taruhan nyawa Dewi Sekardadu. Rara Sekardadu tak tertolong. Jaka Samudra akhirnya dalam pengasuhan Nyai Pinatih dan kemudian hidup menetap di Tandhes, Gresik Lama.
Hari-hari Jaka Samudra kemudian bergelimang dengan tradisi pesantren yang dikembangkan Sunan Ampel. Sunan Ampel penuh welas asih mendidik para santri tanpa membedakan satu dengan yang lain, termasuk kepada Makdum Ibrahim dan Syarifuddin, dua putra Sunan Ampel, yang berusia jauh lebih muda dari Jaka Samudra, 10 dan 8 tahun.
Jaka Samudra, selaku keturunan kelima Prabu Hayam Wuruk dengan nama bangsawan Raden Paku, mengimbanginya dengan tekun belajar, mulai dari tafsir, hadis, akidah, fiqih, sejarah, kesenian dan beladiri. Tak ketinggalan kegiatan rutin pagi hari usai jamaah dan ritual wirid, ia bersama rekan selalu menjaga kebersihan pesantren. Sehingga pohon-pohon tanjung yang berpadu dengan pohon sawo nan rindang tak sempat menjadikan halaman pesantren kumuh. Tak sejengkal tanah yang tersentuh daun kering dalam waktu lama.
Waktu terus berjalan, belum genap 20 tahun usia Raden Paku, Sunan Ampel kemudian menikahkannya dengan Dewi Murtasiyah, putri sang sunan dengan Dewi Karimah. Saat itu usia Dewi Murtasiyah sekitar 16 tahun. Usia yang teramat muda untuk ukuran saat ini buat mengarungi bahtera hidup. Tapi tempo itu memang sudah biasa orangtua menikahkan putra-putri jelang atau di bawah 20 tahun.
Untuk sementara waktu, pasangan baru itu masih menetap di Pesantren Ampeldenta, meski berbeda rumah dengan sang mertua, Sunan Ampel. Lagian Raden Paku, berkat ketekunannya, kerap mendampingi bahkan menggantikan tugas-tugas penting Sunan Ampel. Sunan Ampel merasa tugasnya bertambah ringan selagi ada Raden Paku.
Apalagi sepulang dari tanah Melayu, Pasai, menimba pengetahuan dari sang ayah kandung, Maulana Ishak, pengalaman dan ilmu Raden Paku kian mumpuni. Terutama di bidang ilmu fiqih. Tanpa sungkan Sunan Ampel belajar fikih kepada sang menantu. Hanya sayang, ketertarikan dan ketekunan mendalami ilmu fiqih tidak terdapat pada Makdum Ibrahim (kelak bergelar Sunan Bonang). Justru sang adik, Syarifuddin (kelak sebagai Sunan Drajat) yang tertarik. Adik kandung Ibrahim ini rupanya memiliki kecocokan paham dengan sang kakak ipar. Sementara Ibrahim lebih menikmati ilmu-ilmu hikmah (yang di kemudian hari diteruskan oleh muridnya, Raden Syahid alias Sunan Kalijaga).
Hingga suatu hari, menjelang Raden Paku berusia 40 tahun, Sunan Ampel menganggap pengabdian Raden Paku di Pesantren Ampeldenta sudah saatnya purna. “Sudah masanya, Nakmas,” kata Sunan Ampel.
“Masanya apa, Rama?”
“Kamu sudah masanya mandiri. Mendirikan pesantren baru. Perjuanganmu membantuku di Ampel sudah cukup. Pesantren ini sudah cukup besar dan kuat. Perjuanganmu berbagi ilmu ke negeri-negeri tetangga juga kurasa sudah cukup. Kamu harus memikirkan dirimu sendiri.”
Begitulah, singkat kisah, mulai tahun 1482 Raden Paku beserta keluarga dan beberapa santri Ampeldenta, yang sengaja diminta oleh Sunan Ampel untuk menemani perjalanan putri dan menantunya, menetap di Bukit Giri. Di situ Raden Paku mendirikan Pesantren Giri. Dan lambat laun nama Raden Paku surut, orang-orang yang mendiami Bukit Giri lebih nyaman menyebutnya dengan panggilan Sunan Giri.
Dan semenjak Sunan Ampel wafat, Sunan Giri yang menggantikannya menjadi ketua Dewan Wali. Semua, para penyeru Islam saat itu, sepakat. Termasuk Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunungjati yang berseberangan paham dengan tulus menjadikan Sunan Giri sebagai pemimpin mereka.
Ya, kelegawaan hati yang luar biasa ditunjukan para penyeru kebenaran tempo itu. Ketulusan yang saya comot dari novel Giri karya Yudhi AW, dan saya periksa autentisitas silsilah para priayi agung itu dari Sejarah Para Wali karya KH. Bisri Musthofa.
Hemmmm sungguh, selalu saja bikin merak hati setiap kali baca mereka. Sehingga, sore ini (di tengah santer wacana peralihan dari Kiai Said ke Kiai Yahya dalam perhelatan Muktamar ke-34 NU di Bandar Lampung) saya berasa turut gelisah seperti yang tengah menggelayuti Raden Paku menunggu Sunan Ampel pada sore itu.
Ungaran, 22/12/2021
0 Comments