Entah, tiba-tiba saya teringat Purwanto dan istrinya, Azizah. Dan entah pula, masih ingatkah mereka kepada saya?
Sudah jamak, kebanyakan orang, siapa pun itu, wajarnya selalu memetakan dan kemudian menetapkan rangkaian capaian masa depan. Yang bujang, akan memilah-milah calon pasangan dan kemudian menikah dengannya. Menetapkan karir kerjanya. Menjaring koneksi sahabat dan handai tolan untuk mendukung stabilitas ekonomi.Yang berkesempatan sekolah tinggi, segera menunjukkan loyalitasnya sebagai karyawan. Menampilkan dedikasi yang mengundang decak kagum atasan. Dan meneguhkan status sosialnya di tengah lingkungan ia tinggal.
Kebanyakan demikian. Kebanyakan akan berebut kesempatan, bersaing agar tidak kedahuluan terbit fajar. Mengalokasikan umur dengan target sistematis dan terukur. Bahwa lahir, tumbuh menjadi anak, meremaja, bersekolah, berkuliah, bekerja di kota, punya rumah berantai di mana-mana, rekening tak pernah kosong, status sosialnya terpandang, karir anak-anaknya juga meroket, lantas menua, mati khusnul khotimah, dan klimaksnya masuk surga.
Sebuah gambaran linier terkait rentang hidup yang diidamkan. Gambaran sukses yang hampir semua mendambakan. Impian karir di muka bumi, yang seakan tanpa campur tangan Tuhan yang Maha Kehendak. Cita-cita yang serba fisikal, dan seolah tanpa misteri.
Namun, memang demikianlah kebanyakan. Demikianlah yang wajar. Demikianlah, bersiap untuk menjemput sukses meniti karir. Meluaskan jaringan usaha bisnis. Mempunyai anak dan membesarkan dengan juga memastikan masa depan si anak cerah. Lagi-lagi, seolah tiada campur tangan Tuhan.
Di tengah kelaziman itu, suatu sore, Kamis 4 Juni 2015, saya mendapati pasangan muda yang tak biasa. Pasangan suami-istri tinggal di pedesaan lereng Gunung Ungaran, yang meretas hidup penuh sahaja. Rumah tempat mereka berteduh, amat sangat sederhana. Masuk lengkong kecil, bertanah liat tanpa ada pengerasan, baik paving blok, batu kerikil terlebih beton maupun aspal. Pasangan muda, Purwanto dan Azizah Muslikhatun, bergiat sebagai aktivis Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
Purwanto, pemuda asli desa Sumowono, lahir 10 Maret 1983, lulus dari SMA Negeri 1 Ambarawa tahun 2006, menikahi Azizah yang juga satu almamater, SMA Negeri 1 Ambarawa, lulus 2011. Buah hati mereka yang sulung, perempuan, Radhwa Hasna Farida, hanya berusia 40 hari, sebelum kemudian dipanggil Tuhan.
Untuk mengenang Radhwa, bertanggal 7 April 2013, mereka bikin TBM Radhwa. Radhwa, bahasa Arab, artinya rida, bahwa keberadaan ruang baca itu sedianya mendapatkan restu Tuhan, dalam hal apa pun, yang telah, sedang dan yang akan. TBM Radhwa, semula bertempat di ruang tamu. Seiring perkembangan dan perhatian masyarakat sekitar, Purwanto memanfaatkan lahan depan rumahnya 3 X 4 sebagai wahana belajar. Ia bikin teras rumah yang juga sederhana, berdinding kirei bambu, beralas papan kayu. Di serambi itulah, anak-anak tetangga sekitar rumah, saban hari menyerbu. Pinjam dan baca buku gratis.
Oleh desakan masyarakat, anak-anak bisa belajar dan memperoleh bimbingan yang memadai, Purwanto perluas lini kegiatan TBM, yang tidak sekadar layanan pinjam dan baca buku gratis. Purwanto buka bimbingan belajar untuk anak usia dini, sekolah dasar, menengah pertama dan tingkat lanjutan atas.
Perhatian masyarakat terhadap usaha Purwanto terus mengalir. Tanpa tertulis, mereka mewajibkan anak-anak mereka untuk bermain ke TBM Radhwa. “Orang-orang tua di sini merasa nyaman dan tenang, Mas.” kata Azizah. “Mereka tidak lagi disergap rasa was-was sekira anak-anak main di sini. Ya, ketimbang main di terminal, atau pasar, Mas.”
Benar, TBM Radhwa persis berada di belakang pasar dan terminal Sumowono. Tersembunyi di pojok gang, jalan Sukoharjo No. 59, dusun Sawah Gondang, desa Sumowono, kecamatan Sumowono. Namun, berkat layanan bimbingan belajar, mereka bisa mengumpulkan buku sebanyak 2.351 eksemplar. Juga pengadaan seperangkat komputer, plus wifi internet.
Purwanto rajin ke pameran buku murah dan memborongnya untuk menambah bahan bacaan. Purwanto membebaskan anak-anak mengoperasikan komputer, dan berselancar internet tanpa pungutan sepeser pun alias gratis.
Padahal TBM Radhwa ini, TBM mandiri yang bukan di bawah naungan yayasan, bukan milik sebuah PKBM. TBM yang telah mematahkan anggapan bahwa yang mandiri, hanya akan eksis dengan mengandalkan donor bantuan. Ternyata tidak. Purwanto dapat menghidupi dan senantiasa memperbarui koleksi bacaan berkat layanan bimbingan belajar.
Sore yang mengharu biru. Saya benar-benar dibikin haru sekaligus bangga. Haru oleh penampilan TBM Radhwa yang jauh dari kesan “wah”, sangat-sangat sederhana. Purwanto dan Azizah menjalani keseharian dengan bersahaja.
Melihat Radhwa, serasa melihat idealitas TBM dan itu nyata. TBM yang melayani full 24 jam. Setiap hari buka tanpa jeda istirahat. Saya berani pastikan, pemilik sekaligus pengelola Radhwa itu—pinjam istilah Bung Wien Muldian—sebagai buku hidup, sebagai perpustakaan hidup. Keduanya menjadi rujukan pengetahuan dan informasi masyarakat sekitar. Sebagaimana sore itu, saya lihat langsung bagaimana seorang Azizah, yang sabar menemani adik-adik SD, belajar mengerjakan PR sekolah.
Ya, pemilik sekaligus pengelola harian itu, telah sanggup mendongkrak kesejahteraan sosial-ekonomi bersama TBM. Mendapatkan keuntungan materi, yang tak jauh dari aktivitas bersama buku, menghargai dan mengagungkan buku.
Sore itu, saya disuguhi spirit penggiat TBM yang tidak hobi mengumbar keluhan. Spirit aktivis literasi yang bersahaja, dan tak mengiba prihatin. Purwanto, juga tampak di istrinya, bangga dengan meja-meja belajarnya, dengan lantai papan kayunya, dengan rak-rak bukunya. Ia tak mengeluh dengan kondisi beranda belajar yang belum berdinding tembok kokoh.
Sungguh, sekali lagi, sederhana banget tampilan fisik taman bacanya, tapi gema literasinya sangat berasa dan merasuki jiwa masyarakat sekitar. Purwanto, dan Azizah, benar-benar mengundang decak kagum. Mereka berdua bak dongeng, di tengah kewajaran orang-orang berlomba demi taraf hidup diri sendiri, demi masa tua, dan demi gedung rumah tingkat yang terus menjulang, Purwanto sekaligus Azizah bersama bocah, adik Radhwa, berani hidup yang tidak biasa.
Dan, hari ini, saya masih terjerat oleh kenangan sore itu. Oleh kebersahajaan mereka. Namun, masihkah kedua penggiat TBM itu mengingat saya? Masihkah sederhana menyelimuti TBM Radhwa? Masihkah sebagai TBM mandiri? Entahlah!
Ungaran, 21/12/2021
0 Comments