'Kenapa Tuhan harus turun menjadi manusia, supaya manusia bisa naik ke tingkat ketuhanan.” Senandung Natal dari Budhy Munawar Rachman (di beranda facebook-nya, dua atau tiga tahun yang lalu kalau tak salah) ini sungguh memesona,
Saya tak bosan-bosan mengutip ungkapan indah dari Budhy itu. Sebuah ungkapan yang langsung mengingatkan saya kepada sajak Muhammad Zuhri yang terukir apik dalam Secawan Cinta, halaman 481.
Dari jamah nafsu insan
Sabda menjadi manusia
Lewat kemurnian Muhammad
Dari jamah budaya insan
Manusia menjadi Sabda
Potongan sajak itu, peranan Nabi Muhammad Saw. diibaratkan, bahkan secara simbolis sama, dengan peranan Perawan Maria, yang menjadi “landasan” bagi penerimaan sabda. Perawan Maria suci dari dosa dan dari segi fisik tetap perawan, melahirkan Isa al-Masih. Sedang Nabi Muhammad Saw. adalah seorang ummi, buta huruf, sehingga murni dari cacat pengetahuan manusiawi atau pengetahuan yang diperoleh secara manusiawi, menerima dan kemudian mengajarkan ayat-ayat al-Quran kepada umat manusia.
Sekali lagi, sebagaimana pula ditandaskan Frithjof Schuon dalam Mencari Titik Temu Agama-Agama, Maria adalah bunda yang perawan. Pun Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasalam, seorang buta huruf dan yang cuma diilhami oleh Tuhan serta tidak menerima apa pun dari manusia. Nah, beliau-beliau itu perantara Tuhan untuk kehadiran sekaligus kebenaran: Isa al-Masih/Yesus Kristus dan Al-Qur’an al-Karim.
Nabi Muhammad Saw., nabi yang tidak bisa membaca dan menulis, menunjukkan kesucian wadah. Sebuah halaman kosong, yang tak sesuatu pun selain Pena Allah yang bergerak, yang mengisi. Dalam riwayat, sewaktu kecil, berumur empat atau lima tahun, beliau didatangi dua malaikat yang membelah dada beliau dan dengan salju, beliau dibersihkan dari “dosa asal” yang berwujud noda hitam yang mengeram dalam hati. “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu,” kata Jibril (Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, hal. 79).
Konsep kesucian wadah, konsep tanpa noda, juga yang dikenakan pada Maria. Sehingga logis, sang perawan suci itu tercekam tatkala harus mengandung dan melahirkan Isa al-Masih. Nabi Muhammad Saw. pun mengalami perasaan serupa, untuk kali pertama menerima wahyu, surah al-Alaq ayat 1-5, di Gua Hira, 10 Agustus 610. Saat itu Muhammad Saw. berusia 39 tahun, 3 bulan, 29 hari.
Selanjutnya, sang Perawan Maria menjelma sebagai “Bunda Maria Yang Berbelas Kasih”, sebagai “Bunda Penolong Kita Yang Abadi”. Dan, Nabi Muhammad Saw. adalah “Kunci Rahmat Allah”, “Pelipur Duka”, “Penyembuh”, “Pelenyap Dosa”, dan “Ciptaan Tuhan Terindah”.
Sekira kita kontekskan, betapa kehidupan ini sesungguhnya “Perawan” dan “Bunda”. Bahwa di satu sisi, kehidupan tidak ditentukan oleh apa pun juga selain Tuhan. Bahwa di sisi lain, kehidupan melahirkan alam semesta yang berwujud ini. Betapa Maria adalah “Bunda yang Perawan”. Dan, Muhammad Saw. adalah “sosok murni”, karena hanya diilhami oleh Tuhan serta tidak menerima asupan pengetahuan selain dari Dia Yang Mahatahu.
Sungguh, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasalam adalah sosok murni. Terekam dalam sejarah, Abdullah, ayah Muhammad, meninggal sebelum sang murni itu dilahirkan. Berikut, ketika berusia enam tahun, sang ibu, Aminah, juga meninggal, sehingga praktis dalam usia teramat belia, Muhammad tumbuh tanpa kehadiran ayah-ibu. Beberapa tahun kemudian, persisnya tatkala Muhammad berusia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari, kakek beliau, Abdul Muththalib menyusul berpulang ke haribaan Tuhan. Maka, betapa Muhammad tak menempuh proses pendidikan sebagaimana wajar manusia. Beliau bertumbuh kembang tidak dalam rengkuhan keluarga inti.
Kemudian, Muhammad Saw. juga simbol “ibu”, karena kemampuan beliau sebagai perantara Tuhan. Beliau adalah simbol hamba sekaligus wakil Tuhan. Hadir di depan Tuhan, mewakili umat manusia. Hadir di depan sesama, mewakili Allah.
Maka, jika dilukis di atas segitiga, Muhammad Saw. merupakan perwujudan dari kedamaian, kemurahan hati, dan kekuatan. Kedamaian sebagai titik puncaknya, sedang kemurahan hati dan kekuatan sebagai kedua titik alasnya.
Kedamaian adalah penyaksian segala sesuatu di dalam Allah dan penyaksian Allah di balik segala sesuatu. Dan kita dapat memperoleh kedamaian hati jika mengetahui bahwa “Allah sajalah yang ada” sedang dunia beserta segala masalahnya adalah “tidak riil”.
Kita juga dapat memperoleh kedamaian hati karena menyadari bahwa “segala sesuatu dikehendaki Allah”. Bahwa kehendak Allah berlaku terhadap segala sesuatu. Bahwa segala sesuatu melambangkan Allah. Bahwa tiada sesuatu pun yang berada di luar Allah.
Itulah kebenaran. Kebenaran mengimanen dalam kehadiran, dan kehadiran mentransenden ke kebenaran. Bahwa Tuhan turun menjadi manusia adalah imanensi, aktual pada Isa al-Masih. Selanjutnya, manusia naik ke tingkat ketuhanan adalah transendensi. Upaya yang ditempuh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. terbang ke puncak pohon bidara, Sidratul Muntaha, yang kemudian beliau turun kembali buat menggenapi transendensi dengan transformasi. Menegakkan kemuliaan di muka bumi: kekuatan terhadap diri sendiri dan kemurahan hati terhadap orang lain. (Baca juga: Falsafah Proses)
Syahdan, di Hari Natal umat Kristiani ini, saya hanya bisa mengelaborasi bahwa kesucian Maria yang mengandung dan melahirkan Yesus Kristus adalah sabda menjadi manusia. Kemudian, Muhammad yang lahir dari kalangan terhormat tapi relatif miskin, dan sanggup menanggung pesan suci dari Allah, adalah manusia menjadi sabda.
Begitulah, sekadar elaborasi, dan selebihnya: damai Natal beserta kita semua dengan segala berkat dan kebahagiaan!
Ungaran, 25/12/2020; 24/12/2021
0 Comments