Catatan penting buat kita, para orangtua. Hal ini saya peroleh dari diskusi-diskusi kecil para praktisi pendidikan Charlotte Mason, terutama dari seorang Ellen Kristi. Bahwa sedianya kita, orangtua, untuk memberi diri sendiri dan anak-anak tiga hal: sesuatu untuk dicintai, sesuatu untuk dikerjakan, dan sesuatu untuk dipikirkan.
Entah siapa pun kita, pasti butuh seseorang atau sesuatu untuk dicintai. Berikutnya, sesuatu untuk dikerjakan. Maksud dikerjakan di sini, sesuatu yang berharga untuk dikerjakan. Sebab seorang anak yang habis waktunya hanya untuk menatap layar gawai, itu tidak benar-benar sedang mengerjakan sesuatu yang berharga.Berbeda misal, seorang anak mengerjakan sesuatu dan ia senang mengerjakannya, pasti di purna pekerjaan ia berusaha menunjukkan hasilnya pada kita. Paling tidak ia akan bilang, “Bun, lihat apa yang sudah kubuat ini!”
Kemudian sesuatu untuk dipikirkan. Bahwa berpikir mustahil dikerjakan tanpa adanya sesuatu untuk dipikirkan. Entah merenungkan sebuah ide, merasakan indahnya musik, atau menikmati pemandangan dan segala pernik di alam terbuka.
Nah, tentang apa yang dipikirkan ini, praktisi Charlotte Mason biasa mengisi cakrawala pemikiran anak dengan buku-buku yang melampaui buku-buku teks sekolahan. Sebab anak-anak yang dibesarkan tanpa diberi ide-ide yang melampaui buku teks pelajaran sekolah, biasanya akan tumbuh dengan dua gagasan saja: bekerja keras dan bersenang-senang setelah selesai bekerja
Charlotte Mason, seperti disitir Ellen Kristi, sering bilang bahwa ide-ide yang layak tertanam dalam diri anak terdapat dalam buku-buku “sungguhan”, atau biasa disebut living books. Sebuah buku utuh, bukan ringkasan ala buku teks mata pelajaran sekolah. Dan kitalah sebagai orangtua yang bertanggung jawab mengondisikan anak-anak mencicipi yang terbaik yang tersaji dari gagasan-gagasan besar umat manusia, yang tertuang dalam kitab-kitab utama.
Sekali lagi, Charlotte Mason, sebagaimana diungkapkan Ellen Kristi, menekankan, air di hilir tak akan pernah lebih tinggi dari hulunya. Jika tidak ada sumber ide yang membawa pikiran anak melesat tinggi, secara otomatis ia akan merunduk turun, dan makin lama makin rendah, sampai datang ide-ide baru yang mengajaknya terbang ke atas. Charlotte mengatakan, “Anak-anak harus memperoleh buku-buku berkualitas living books.”
Dari situlah, saya mengelus dada, terutama kepada pemerintah. Gerakan pustaka, Gerakan Literasi Nasional, hingga Festival Literasi yang rutin terselenggara tiap tahun, sama sekali tak menyentuh pentingnya pustaka hidup. Pentingnya bahan bacaan yang menggugah ide. Bahan bacaan yang mengaktifkan benak pembaca. Pelbagai hajatan yang disponsori pemerintah itu hanya berhenti pada ritual pameran capaian literasi, yang sama sekali tak menyentuh esensi membaca.
Pemerintah saat ini, sepanjang yang saya tahu, belum menginisiasi keberadaan buku-buku bacaan naratif. Ada memang, sedikit upaya dari Badan Bahasa, tapi masih terjerat pada teks yang seolah ramah anak. Selebihnya adalah bertumpuk buku teks pelajaran sekolah, termasuk modul-modul pelajaran kesetaraan, yang hanya menyajikan fakta-fakta kering dan informasi-informasi yang harus dihafalkan. Tiada satu cerita pun yang menarik. Pesan-pesan moral menggurui banyak, tapi narasi yang menggugah tidak ada.
Ellen mengkritik, sekolah umumnya mahir membuat benak anak-anak berolah raga, yakni menghafal, berhitung, menalar, aneka latihan dan drill akademis. Namun abai akan asupan yang memantik pikiran anak. Bahwa olahraga itu bagus, tapi hanya jika kebutuhan nutrisi anak telah terpenuhi. Terlalu banyak olahraga dengan terlalu sedikit asupan hanya membuat anak kelelahan, hal ini berlaku baik secara fisik maupun mental.
Padahal sebetulnya asupan mental itu gampang kita peroleh dan kita sajikan di hadapan anak-anak, yakni ide-ide yang tertera dalam buku-buku beraroma living books. Buku-buku bacaan anak, yang justru pada tahun-tahun 60-an dan 70-an hingga 80-an masih beredar di pasaran. Hanya sayang, sekali lagi pemangku kebijakan belum menganggap penting kehadiran buku-buku tersebut. Para pemangku masih menganggap anak-anak kita bodoh, anak-anak yang masih harus digurui cara membunyikan huruf-huruf. Cara bermoral, cara menalar. Sayang seribu sayang, akhirnya.
Sungguh, bukan anak yang salah kalau dia besar menjadi orang yang tidak suka membaca. Anak-anak yang sehat jasmani pasti merasa lapar, pasti mencari makanan. Begitu pula anak-anak yang sehat pikiran, sehat mental, pasti punya rasa ingin tahu yang besar, pasti suka belajar. Maka, ketika anak membaca hanya kalau bacaan itu akan keluar dalam ujian, kita perlu waspada. Berarti pikiran anak itu sakit, karena nafsu belajarnya hilang, keinginan belajarnya padam. Hanya akan kebut semalam suntuk baca buku teks pelajaran buat bahan mengisi jawaban soal ujian.
Kemudian, selain dari pemangku kebijakan yang kurang mendukung maraknya living books, juga masih langkanya penulis cerita anak yang berwawasan living. Saya masih mendapati penulis-penulis yang cenderung menganggap remeh kapasitas benak anak untuk mencerna ide-ide besar. Mereka menjelas-jelaskan pesan moral, dan menurunkan diksi yang seolah ramah anak. Seolah anak-anak kita itu terlalu dungu untuk memahami kalimat-kalimat sastrawi yang berbobot. Saya mengoleksi buku-buku bacaan anak, justru yang karya terjemahan, macam Black Beauty karya Anna Sewell, Seri Rumah Kecil karya Laura Ingalls Wilder, The Jungle Book karya Rudyard Kipling, Animal Farm karya George Orwell, dan sejenisnya.
Ditambah lagi, fenomena gerakan-gerakan komunitas dan masyarakat yang mengusung jargon literasi. Yang dewasa ini kian marak, makin gayeng, masih terjebak pada pendistribusian asal bahan bacaan, sukses sudah kegiatan literasi mereka. Tidak salah memang, saya salut dengan mereka yang gigih mendistribusikan bacaan-bacaan hingga pucuk gunung dan kedalaman suku. Namun, betapa asyik jika bacaan yang terdistribusi itu selaras dengan kebutuhan calon pembaca. Jika sasarannya adalah anak, mustahilkah apabila buku-buku sastra sejenis karya Louisa May Alcott yang terdistribusi?
Terus terang, saya masih miris mengingat anak-anak sekarang jauh dari karya-karya sastra bermutu living books. Namun, ya, saya tetap harus bergerak. Paling tidak pada diri anak saya. Pertama-tama, anak cinta membaca. Hal ini, bukan cuma mampu membunyikan kata-kata yang tercetak, tapi juga mampu menjadikan pemikiran dan pengalaman para ningrat nurani dan hebat sepanjang masa yang tertulis itu sebagai miliknya sendiri.
Itu sebabnya Charlotte Mason meminta narasi atas buku-buku berkualitas dari para peserta didik. Anak-anak, usai membaca living books, belajar menggali sendiri ide-ide yang terkait dengan bacaan dalam kata-kata mereka sendiri.
Jadi, kegiatan rutin yang kami selenggarakan di rumah adalah mengawasi anak untuk wajib baca living books, minimal 15 menit, kemudian menarasikannya.
Begitu.
Ungaran, 06/12/2021
Baca juga: Bikin Reading Group
0 Comments